31. Km 1181,3

124 23 8
                                    

Mendapatkan giliran piket hari itu membuat Biyan menjadi yang paling akhir keluar dari kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mendapatkan giliran piket hari itu membuat Biyan menjadi yang paling akhir keluar dari kelas. Dan yang membuat kesal, siang itu hujan turun dengan derasnya. Untungnya mama selalu diam-diam memasukkan payung dalam tas anak sulungnya, walaupun ia tak suka. Buku-buku kelas 6 SD saja sudah melebihi kapasitas tas, apalagi ditambah benda yang menurutnya tak penting. Namun untuk hari ini ia merasa bersyukur, ia tak perlu berbasah-basah saat harus mencapai halte bus di depan sekolah, tempatnya mencegat angkot.

Mulanya ia ingin menunggu hingga hujan mereda. Namun seorang gadis beranjak remaja yang duduk sendirian di halte itu membuat niatnya terurungkan.

Di teras lobi, Biyan mengembangkan payung lipat berwarna merahnya. Lalu sambil berlari kecil, ia menyeberangi halaman sekolah hingga menapak di halte itu.

"Hei, Van," sapanya seraya melipat payung.

"Hei," balas Vanya.

"Nunggu apa? Dijemput?" tanya Biyan.

"Nunggu hujan berhenti."

"Emangnya lo gak bawa payung?"

Vanya menggeleng.

Bocah lelaki itu mendongak menatap langit. Dari warnanya yang putih, ia tahu, hujan belum akan berhenti dalam waktu dekat.

"Tapi kayaknya masih lama berhentinya, Van," ujarnya. "Nih, lo pake payung gue aja." Disodorkannya payung itu pada Vanya.

"Nanti lo pake apa?" Tangan Vanya belum bergerak menerima payung itu.

"Gue dijemput, kok," ujar Biyan.

Vanya tersenyum. "Makasih, ya. Besok gue kembaliin," janjinya seraya berdiri dari bangku semen itu.

Bila Biyan menunggu hingga gadis itu pergi, bukan berarti ia ingin memastikannya pergi dengan aman. Ia hanya tak ingin Vanya melihatnya pulang dengan angkot, bukan dijemput seperti yang dikatakannya tadi. Ia tahu, Vanya pasti akan menolak pinjaman payungnya bila tahu ia naik angkot, karena dari tempat angkot berhenti, Biyan masih harus berjalan kaki beberapa meter lagi sebelum mencapai rumah.

Namun harapan Biyan tak terkabul karena hujan masih saja turun dengan derasnya saat ia turun dari angkot. Akhirnya ia terpaksa berlari.

"Biyan kok basah kuyup? Payungnya mana?" tegur Widya begitu putranya muncul dari pintu belakang.

"Ketinggalan, Ma," dusta Biyan.

"Astaga. Kamu ini ceroboh banget. Ya udah, cepet mandi air hangat sana, biar gak sakit."

Sialnya, meski sudah melakukan berbagai pencegahan, tetap saja Biyan jatuh sakit hingga esok harinya ia harus absen. Vanya yang menyadari absennya Biyan karena payungnya ia pinjam, datang menjenguk.

"Lho, Vanya? Sama siapa ke sini?" Widya bereaksi heran ketika mendapati gadis itu berdiri sendirian di muka pintu rumahnya.

"Sendiri, Tante. Vanya mau ngembaliin payung Biyan," jawab Vanya.

✔The Road to MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang