11. Km -7,1

156 30 11
                                    

"Biar betul ko ni¹!" umpat Biyan begitu batuknya mereda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Biar betul ko ni¹!" umpat Biyan begitu batuknya mereda.

Vanya tak mengerti arti umpatan Biyan, tapi ia tahu, pemuda itu tak setuju. "'Kan lo pernah janji mau ngajak gue road trip."

"Van, KL-Genting tuh cuma satu jam. Jalanannya juga mulus gak kayak ...."

"Lo tuh kelamaan di luar negeri. Makanya kudet," pintas Vanya.

"Apaan tuh, kudet?"

"Kurang update. Sekarang udah ada tol Trans Jawa, Biyan."

Biyan mendengus. Ia lalu kembali meneruskan makannya. "Ngapain sih, jauh-jauh ke Bali? Gak ada tempat piknik yang lebih deket lagi apa?"

"Temen gue nikah di sana."

"Siapa? Gwen?"

"Bukan. Temen lama gue. Lo gak kenal." Vanya berdusta. Bila ia mengungkapkan yang sebenarnya, mungkin Biyan tak akan mau mengantar.

"Kapan?"

"Hari Minggu besok."

Uhuk. Biyan tersedak lagi. Lalu tanpa menunggu batuknya mereda, ia menjulurkan tangan ke wajah Vanya, menyentuh kening gadis itu dengan punggung tangan. "Lo masih waras 'kan, Van?"

"Apaan, sih?" Vanya menjauhkan tangan Biyan dari keningnya.

"Van, kalau majlis²-nya bulan depan, gue masih sanggup. Ini lima hari lagi!"

"Ayolah, Yan," desak Vanya sambil mengguncang lengan sahabatnya pelan.

"Siapa sih, temen lo itu? Spesial banget kayaknya, sampai lo maksa-maksa kayak gini."

"'Kan bisa sekalian healing, Yan. Mumpung di Bali."

"Hilang hiling hilang hiling." Biyan menggerutu.

"Kita patungan, deh. Fifty-fifty. Atau sixty-forty." Vanya belum menyerah.

"Gue pikir-pikir dulu." Biyan kembali menikmati es campurnya.

"Atau seventy-thirty bonus pijet tapi gak pake plus-plus."

Suasana di kedai itu senyap seketika, menyisakan suara kendaraan di luar. Saat netra Vanya dan Biyan menyapu sekitarnya, semua pengunjung di sana sedang balas menatap keduanya.

"Yang servis pijet pake plus-plus di mana, Mbak?" celetuk seorang bapak-bapak dari meja yang ditempati oleh tiga pria berusia sebaya. Celetukannya direspons tawa oleh seluruh pengunjung, termasuk si penjaja.

"Van, gue pikir-pikir dulu, ya," tegas Biyan dengan artikulasi lebih lambat setelah situasi dalam kedai berangsur normal.

Vanya mencebik. Ia perlu jawaban segera karena waktunya sangat sempit. Bila Biyan langsung menolak, setidaknya ia masih sempat mencari transportasi lain. Namun, ia tak pernah kekurangan ide.

✔The Road to MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang