8.Emosi

1.8K 216 18
                                    

Setelah kepergian Aji dan Riri sore itu. Adisya kini tengah berbaring di atas ranjangnya. Sesekali helaan nafas berat ia lakukan. Sebenarnya gadis itu tengah merasa bersalah kepada sang Bunda. Tapi, kebohongan yang dilakukannya tadi semata-semata agar sang Bunda tidak merasa khawatir. Ia beranjak dari sana lalu mendudukan diri di kursi yang terdapat meja rias itu. Tangan lentiknya meraba pipi juga sudut bibirnya sekilas. Melihat bagaimana bekas itu masih terpampang jelas di pipi mulusnya.

"Bekasnya kapan hilang ya?!" Gumam Adisya. Tapi, seketika lamunannya itu terhenti. Kala sebuah panggilan masuk bertuliskan nama 'Om Arga'. Dengan segera ia menutup pintu kamarnya rapat. Lalu mengangkat telepon itu.

"Hallo, Om?" Sapa Adisya sopan.

"..."

"Adisya ada waktu setelah ekskul, Om. Sorean paling!"

"..."

"Di dreamy's cafe gimana, Om?"

"..."

"Yaudah, nanti kabarin lagi aja ya, Om. Disya tutup teleponnya!"

Tut

Setelah sambungan itu terputus. Adisya kembali merebahkan dirinya di ranjang. Menatap langit-langit kamar yang baru beberapa minggu lalu ia hiasi stiker lucu. Menghembuskan nafas lelah kemudian sebelum akhirnya bergumam lagi.

"Gak jadi deh besok nyari, Revan!"

Baru setelah itu ia kembali meraih ponselnya. Mencari nama Riri disana sebelum akhirnya menghubungi temannya itu. Tepat pada dering ketiga telepon itu tersambung. Dari suaranya Adisya menebak bahwa temannya itu pasti sudah terlelap. Jadi, dengan segera Adisya mengutarakan tujuannya yaitu untuk membatalkan janji mencari Revan besok. Walaupun kentara sekali bahwa Riri sangat kebingungan tapi tak ayal gadis itu setuju juga. Setelah sambungan terputus Adisya kini membenarkan posisi tidurnya. Menarik selimut sebatas perut lalu mulai memejamkan matanya.

Keesokan paginya Adisya bangun dengan lebih segar. Hari ini ia beryukur karena Tiger tidak muncul didepan rumahnya. Tapi, ia malah mendapati sebuah mobil hitam terparkir apik disana. Matanya menelisik guna mencari tau siapa pemiliknya. Sampai akhirnya ia tersadar lalu menepuk dahinya pelan. Itu mobil yang mengantar Adisya kemarin. Yang berarti itu adalah mobil milik Aji.

"Hei, gitu banget liatnya!?" Sapa Aji yang baru saja keluar dari mobil.

"Loh, Kak Aji?!" Kaget Adisya.

"Iya, ini gue. Ayo naik kita berangkat bareng!" Ajak Aji sembari tersenyum manis. Ya, ternyata rumah Aji dan Adisya berada di komplek yang sama.

"Loh, aku baru mau pesan grab?!" Ujar Adisya sembari menunjukan sebuah aplikasi.

"Belum tapi kan? Yuk, bareng aja dijamin aman!" Bujuk Aji lembut.

Adisya terlihat berpikir sebelum akhirnya mengangguk. Terlalu tidak enak jika harus menolak tawaran orang yang telah menolongnya kemarin. "Yaudah deh ayo!"

Aji terlihat tersenyum ketika Adisya setuju. Ia membukakan pintu mobil untuk Adisya. Sampai-sampai gadis itu tertegun sesaat. Hal itu sama persis seperti yang sering dilakukan mendiang Ayahnya dulu. Apalagi tangan Aji yabg senantiasa memastikan kepala Adisya aman  tidak terantuk pintu. Setelah berhasil mengendalikan perasaannya Adisya mendudukan dirinya dikursi penumpang itu. Selama perjalan hanya ada obrolan ringan antara Adisya dan Aji. Apalagi ternyata Aji adalah sosok pemuda yang humoris. Seringkali candaan garingnya itu membuat Adisya tersenyum tipis atau bahkan tertawa. Sampai-sampai tidak terasa mereka sudah sampai diparkiran sekolah. Segera Aji turun buru-buru dari mobil itu. Kali ini ia membuka pintu mobil untuk Adisya juga kembali memastikan kepala gadis itu aman. Tak ayal segala perlakuan manis menjadi tontonan siswa-siwi lainnya. Bahkan ada yang terang-terangan mencibir Adisya karena berhasil dekat dengan dua siswa populer disekolah itu. Lagi, status Adisya sebagai pacar Tiger juga menjadi sorotan.

Tiger And His Soul MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang