Chapter 1 Part 3

3.1K 205 15
                                    

Pagi ini, aku duduk sendirian di emperan toko. Hari ini hari Rabu, tidak ada tanggal merah dan aku tidak menghadiri sekolah. Bukannya aku tidak mau, tapi aku tidak bisa. Gara-gara kedua orang tuaku, aku sudah lama putus sekolah. Ya, tidak mampu membayar iuran sekolah, lebih tepatnya mereka tidak bersedia menghamburkan uang mereka di pendidikanku. Maka dari itu, aku selalu keluar sendirian, berharap-harap ada orang yang ingin menggantikan kedua orang tuaku untuk merawatku, atau setidaknya menculikku.

Rencana seperti biasa, menghabiskan waktu melamun di mana-mana, namun hari ini tidak. Tanpa sengaja aku melihat sekeluarga sedang berjalan melewatiku. Aku mengamati mereka. Mereka terdiri dari tiga orang, Ayah di kanan, Ibu di kiri dan tentu di tengah mereka berdua adalah anak perempuan mereka yang sekiranya seumuran denganku, sedang bergandengan tangan. Melihat kedekatan mereka, timbul lagi rasa itu di dalam hatiku.

Iri.

Aku tidak ingat kapan terakhir aku memiliki hubungan seperti mereka. ... Tidak. Salah, tidak ada memori seperti itu di benakku, nihil. Aku tidak pernah dekat dengan kedua orang tuaku.

Mataku tidak lepas dari keluarga itu. Aku melihat mereka memasuki sebuah toko, toko mainan. Penasaran, aku berjalan mendekati toko itu dan mengintip ke dalam.

Aku berdecak kagum. Mainan-mainan segala jenis di dalamnya berbaris rapi di rak. Seumur hidup ini aku baru pertama kali melihat mainan sebanyak itu. Ingin rasanya aku memeluk salah satu boneka yang ada di dalam, sayang itu hanya sebuah angan-angan.

Tak ingin berharap lebih lanjut, aku mengalihkan pandanganku kembali ke keluarga itu. Aku melihat kedua orang tua itu membelikan anaknya sebuah boneka beruang. Boneka itu sangat besar, bahkan mungkin melebihi ukuran anak perempuan itu. Selain itu ada juga dua boneka kecil yang sepertinya sudah memang pasangannya. Kulirik anak itu. Ia sekarang dengan ekspresi yang lugu, melebarkan senyumannya yang bahagia itu.

Aku menunduk dan menyandarkan diri ke jendela kaca itu. Aku tak sanggup lagi melihatnya. Aku terlalu iri dengan kebahagiaan sederhana mereka. Ingin sekali aku menangis di sana, namun niatku terkurung ketika aku mendengar suara deritan pintu.

Keluarga itu keluar dari toko. Tak ingin ketahuan mengintip, aku kabur dari tempatku dan bersembunyi di belakang tiang listrik. Aku kembali menatap mereka. Mereka memasuki sebuah mobil mewah yang terparkir melalui pintu yang berbeda. Aku tetap diam di tempat melihat kepergian mereka tanpa melakukan apa-apa, sampai aku melihat sesuatu.

Dari kantong besar yang ditenteng Ibunya itu, aku melihat sebuah lubang dan sepertinya tidak ada yang menyadarinya. Dari lubang tersebut, dengan tidak sengaja aku melihat sesuatu mencuat keluar dan jatuh ke tanah. Aku tersentak.

"Tunggu, ada barang yang jatuh!"

Dengan segera kupungut barang tersebut dan berusaha mengejar mobil yang sudah mulai berjalan itu. Awalnya memang pelan, tapi jalan tol yang sepi memberinya kesempatan untuk melaju cepat. Alhasil aku tidak bisa lagi mengejarnya.

Napasku tersengal-sengal. Sungguh, aku sudah lama tidak lari sekencang ini. Aku mengamati benda yang kupungut tadi, sebuah boneka beruang kecil, boneka pasangannya itu.

Seketika itu sebuah senyuman merekah di wajahku. Aku memungutnya, ini milikku. Boneka ini jadi milikku. Ini adalah hari keberuntunganku!

Dengan hati riang gembira aku berlari pulang ke rumah. Aku berlari cepat, lupa dengan perihal kecapean tadi. Aku terlalu bahagia untuk merasa capek.

"Aku pulang!"

Mama yang seperti biasa -wajah memerah dan tangan yang penuh dengan botol alkohol- menatapku dengan ogah-ogahan di balik sofa yang disandarnya. "Oh, kamu sudah pulang? Darimana saja kamu?"

Aku tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan yang sama darinya setiap hari. Aku sudah tidak sabar untuk menunjukkannya. Kudekati Mama yang sedang meneguk alkoholnya lalu kutunjukkan boneka hasil temuan terbesarku. "Mama, lihat, lihat! Lihat apa yang kutem-"

Belum juga aku selesai berkata, Mama sudah keburu membuang botol alkoholnya dan menarik rambutku kuat. "Dasar anak kurang ajar!"

Sesudah ucapannya yang menyakitkan itu, masih dengan sebelah tangan yang menarik rambutku, ia menggunakan tangan yang bebas lalu dilayangkan telapak tangannya ke wajahku.

Aku yang terhempas jauh karena tamparannya hanya bisa membelalak kedua mataku yang basah dengan bingung. "Ma ... Mama? Ke, kenapa Mama me, menamparku?"

Ia yang tadinya tampak bermalas-malasan sekarang sudah berdiri di hadapanku seraya berkacak pinggang. "Seharusnya Mama yang bertanya! Sejak kapan kamu jadi anak bandel begitu? Sudah berani mencuri, hah!"

Aku yang sudah terisak karena sakit hanya bergumam, "Tidak, Ma. Aku tidak mencuri. Aku memungu-"

"Jangan bohong!" Mama membuang botol alkoholnya tepat melewati kepalaku, menghasilkan suara pecah belah yang menyaringkan di belakangku. "Kamu kecil-kecil sudah pinter bohong, ya? Siapa yang mengajarmu? Ayo katakan siapa?! Pasti Papamu, bukan?" Mama menarik lagi rambutku yang sempat terputus beberapa helai barusan. "Jawab!"

Air mataku tidak bisa berhenti mengalir meski aku berusaha menahannya. "Mama, percaya padaku, Ma. Anakmu ini tidak mencuri, aku memungu-"

"Apa yang kau curi itu? Boneka?" Lagi-lagi sebelum aku selesai, Mama menyelahku, bahkan merebut boneka kecil itu dengan paksa. Ia menyeringai dengan sinis. "Hanya demi boneka kecil ini pun kamu mencuri? Heh, kamu kira Mama tidak bisa membelinya? Kalau mau, Mama bisa beli hampir ratusan lusin boneka semacam ini! Tapi kamu? Dengan cara mencuri kamu menghina Mamamu miskin, ya? Begitu?"

Aku menggeleng. Tangisanku sudah tidak bisa berhenti lagi. Aku takut. "Mama, aku mohon, percayalah padaku...."

"Apa? Kamu masih tidak ingin mengaku juga? Kalau begitu, Mama akan hancurkan boneka ini!" Setelah itu, langsung saja ia melepaskan tarikannya pada rambutku dan mulai menarik-narik tangan boneka tersebut.

Aku panik. Ketimbang menangis karena sakit, aku segera melesat ke arah Mama, mencegahnya menghancurkan satu-satunya mainan yang kupunya. "Mama, jangan ditarik, Ma! Aku mohon, aku minta maaf, Ma. Maafk-"

"Berisik!"

Aku tidak berhasil mencegahnya, lantas dialah yang mendorongku dengan kuat hingga aku terpelanting jauh ke ujung. Kalau hanya terjatuh menggesek lantai atau menabrak dinding, sakit yang kurasakan mungkin tidak seberapa. Tapi-

"KKYYAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!"

Aku tidak bisa berhenti berteriak. Sakit. Sakit. Ini sangat sakit, menyakitkan! Mata kiriku, aku merasa mata kiriku mengalirkan cairan yang hangat. Dengan sangat menyakitkan aku berusaha membuka kedua mataku untuk melihat, tapi tidak bisa. Mataku sangat sakit, sangat sakit! Meski susah , aku berusaha membuka salah satu mata, mata kananku. Dari sela-sela yang tampak, aku bisa melihat di tanganku, bajuku, wajahku, penuh dengan darah! Darah!

Sekali lagi aku meronta. Rontaan kali ini sangatlah kuat, serasa tenggorokanku ingin koyak. Namun tetap saja, rasa sakit ini tidak menghilang juga tidak peduli segila apapun rontaanku.

Dengan kedua mata yang tertutup kuat, Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Mama saat ini. Aku tidak yakin ia merasa khawatir ataupun bersalah. Sebab setelah aku berhenti berteriak lalu menangis pilu, aku bisa mendengar ia berkata,

"Ini adalah salahmu sendiri. Mama tidak melakukan apa-apa!"

*****************************************************************************

Huuf, end juga part ini.

lumayan panjang juga.

Untuk berikutnya aku berusaha untuk terus update, tapi untuk saat ini aku tidak ada dorongan/motivasi karena NO COMMENT + NO VOTE

Apa cerita ini terlalu membosankan? kalau iya mohon sarannya ya

ARIGATOU NEE~ ('^')/

Desire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang