Setelah puas membuatku harus menjawab pertanyaan demi pertanyaan sampai muncrat-muncrat air ludah, mereka pun membubarkan diri. Masing-masing dari mereka kembali sibuk dengan aktivitas mereka yang sempat tertunda tadi, serasa sudah kehilangan daya tarik padaku. Ya baguslah. Aku memang dari awal tidak suka beramai-ramai.
Setelah memastikan sudah tidak ada lagi yang menganggapku penting -ingin bertanya lagi- aku pun beranjak pergi dari ruangan itu. Sebelumnya pemilik panti asuhan ini, Bu Tia, sudah menunjukkan di mana kamar yang akan kutempati. Letaknya ada di lantai 2 ruang paling belakang. Umumnya satu kamar dibagi untuk 4-8 orang. Karena setengah dari lantai 2 baru siap direnovasi, ruang-ruang tersebut masing kosong dan akulah yang akan menjadi penghuni pertama. Dengan kata lain, aku sendirian di kamar itu. Sangat bagus begitu. Aku suka suasana tenang. Pemilihan kamar ujung pun sebenarnya akulah yang minta.
Setelah menutup pintu kamar, sejurus kemudian aku langsung menghempaskan diriku di kasurku yang keras. Ruangan ini masih baru, jadi tentu saja perlengkapan di sini juga baru.
Kamar ini terdiri dari dua kasur bertingkat yang letaknya terpisah, menyisakan seruangan kecil di tengahnya untuk meletakkan meja di ujung. Lemari juga ada dua, masing-masing satu di sudut kasur. Jika dilihat dari bawah, mungkin kamar ini akan kelihatan sangat kecil dan sempit. Tapi karena aku mengambil kasur bagian atas, aku cuek-cuek saja.
Baru saja aku memutuskan untuk menutup mataku karena memang sudah masuk ke jam tidur siangku, suara ketukan pintu menggangguku.
"Masuk," ucapku ogah, juga merasa aneh. Ada juga anak yang sopan di sini, setelah melihat bagaimana keadaannya tadi waktu menyambutku.
Begitu mendengar suara deritan pintu, aku mengangkat tubuhku menyertai. Dapat kulihat seorang anak lelaki masuk melalui pintu itu. Aku menuruni tangga kasur ini. "Ada apa?" tanyaku kemudian setelah mendarat.
Bukannya menjawab, ia malah mengulurkan tangannya sambil tersenyum sampul. "Perkenalkan, aku Robbie."
Sebelum menyambut ulurannya, aku mengamatinya dulu sekilas. Tubuhnya lebih tinggi dariku, bisa kupastikan ia lebih besar dariku. Aku bisa melihat rambutnya berwarna coklat terang, meski cepaknya sangat pendek, hampir botak. Matanya juga dominan berwarna biru. Kulitnya lumayan putih untuk laki-laki. Walau ragu, aku lumayan yakin dia anak darah campuran. Kuterima uluran tangannya. "Amel," ucapku refleks.
"Iya, aku tahu," balasnya masih sambil tersenyum. Giginya putih, tapi tidak begitu rapi.
"Ada apa mencariku?" ulangku lagi kali ini lebih dingin. Dia tidak mau menjawab sih.
Ia memainkan dagunya sejenak. "Hmm, aku hanya ragu saja."
"Ragu apa?" tanyaku cepat. Sesaat terdiam, ia pun menunjuk mata kiriku di balik rambutku yang panjang itu.
"Apa kamu menyembunyikan sesuatu di balik itu?"
Aku merasa jantungku berhenti berdetak sesaat. Kenapa dia bisa tahu? "A, apa yang kamu katakan?" Aku berusaha untuk pura-pura tidak mengerti.
Tanpa ragu ataupun merasa salah sangka, ia langsung menyibak rambutku yang lebat ini ke atas dan seketika itu membelalak. "Kenapa dengan matamu?!"
Sial. Aku mengutuk diri sendiri untuk tidak mengenakan plester. "... Terluka," gumamku pelan menjawabnya. Aku tidak ingin ada yang tahu soal mataku. Aku jadi terlihat berbeda dengan yang lain.
"Terluka kenapa?" Ia terlihat sangat penasaran, entah itu rasa iba atau hanya tertarik sementara. "Sakit gak?" tanyanya lagi.
"Jangan tanya lagi!" Aku menutup mataku erat dengan rambut poniku yang panjang. Aku ingin menangis. "Kamu pasti merasa ngeri, kan? Kamu pasti takut melihat mataku yang seperti ini, kan? Mata yang buruk rupa, berbeda dengan yang lain, mata yang mer-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire (Complete)
Mystery / Thriller(Belum Revisi) Apakah kamu memiliki keinginan? Aku, kamu, semua orang tanpa terkecuali pasti memilikinya. Dan untuk mencapainya, tergantung lagi kepada niat dan kekuatan masing-masing. Sayangnya, aku tidak. Aku memiliki keinginan, tapi aku tidak m...