Chapter 2 Part 4

1.8K 129 3
                                    

Aku dan Robbie seperti pasangan kakak-adik. Ke mana ia pergi, aku selalu mengikutinya, begitu juga sebaliknya. Ke mana-mana kami berdua selalu lengket seperti magnet, susah untuk dipisah. Saking tidak ingin berpisah denganku, ia bahkan meminta kamarnya dipindah seruang denganku dan menempati kasur bagian bawahku. Tapi dia tidak pernah tidur di kasurnya, lantas selalu main terobos saja ke balik selimutku dan tidur disampingku sambil memelukku. Aku sempat sebal karena selain sempit berduaan, aku sering banget ditendang olehnya. Tapi gak pa-pa deh, soalnya pelukannya hangat.

Setiap saat kami selalu setia bersama, dan tak terasa waktu pun berlalu. Hari ini, tepat jatuh pada tanggal 8 September, hari ulang tahunku yang ke-17. Karena hari Minggu, semua anak-anak dan teman-teman di panti membuat pesta kejutan untukku. Aku sangat tahu kalau ini semua adalah ide Robbie. Tidak ada yang mengetahui ulang tahunku selain dia.

"Happy Birthday!" Semua orang berseru riang untukku setelah aku selesai meniup lilin. Selain itu aku juga mendengar suara tepukan tangan dan disertai juga dengan suara ledakan terompet. Aku tertawa keras saat seorang anak dengan sengaja menembak string* tepat di wajah Robbie. Ini pertama kalinya aku tertawa bersama dengan mereka semua.

"Selamat ulang tahun, sayang," ucap Kak Abel sambil memelukku dengan erat. "Kamu sudah dewasa juga sekarang."

Aku membalas pelukannya. "Semua itu berkat kasih sayang yang Ibu berikan padaku, sehingga aku bisa tumbuh dengan baik."

"Aduh, Mel. Bukankah sudah kuberitahu untuk memanggilku dengan 'Kak' saja? Aku masih tidak terbiasa dipanggil 'Ibu'," serunya seraya mendorongku ringan dengan wajah yang memerah.

Aku tersenyum menatapnya. Setelah Bu Tia pensiun, ia memilih Kak Abel untuk menjadi alih warisnya untuk meneruskan panti asuhan ini, lantas ia sudah sejak dulu menjanda tanpa anak. Kak Abel awalnya sempat menolak karena ia termasuk pengasuh junior, yang artinya banyak pengasuh lainnya yang lebih berpengalaman darinya. Namun karena keyakinan Bu Tia yang terus membujuknya, Kak Abel akhirnya bersedia juga.

Sejak Kak Abel menjadi pemilik panti, tempat ini benar-benar berkembang dengan baik. Banyak donator yang bersedia untuk dana jumlah banyak. Semua anak-anak sudah bisa menerima pendidikan dengan layak, beda dengan dulu karena yang bersekolah hanya anak-anak yang terpilih. Selain itu, Kak Abel yang selalu lajang itu akhirnya berhasil juga menemukan pacar baik yang menjadi suaminya sekarang.

Panjang umur, baru saja membahasnya, Pak Juno, suami Kak Abel langsung muncul dari balik pintu. "Halo sayang, halo Amel," sapanya ramah sambil melonggarkan dasinya. Lupa kuberitahu, ia adalah salah seorang pejabat tinggi yang selalu kukira adalah orang yang berhati dingin dan tahunya kerja saja. Untunglah aku salah dengan pernyataan itu. 

"Dari mana saja sih, kamu? Telat sekali!" Dapat kulihat Kak Abel sengaja ngambek pada suaminya. Aku diam-diam tersenyum.

Pak Juno yang tahu istrinya sengaja ngambek, ia pun ikut pura-pura sedih dan memeluk istrinya. "Maaf, sayang. Suamimu telat karena ada rapat mendadak, bukan kesengajaan kok."

Kak Abel mengangkat sebelah alisnya. "Apa benar? Kamu tidak membohongiku dan pergi cari perempuan lain, bukan?"

"Of course not, my dear! Hanya kamu satu-satunya perempuan untukku." Setelah ucapannya yang romantis itu, ia pun dengan pelan mengecupi pipi istrinya. Mungkin saja mereka akan melanjutkan keintiman mereka kalau saja Robbie yang sedaritadi menonton dari samping tidak berdeham keras.

"Mohon diingat kalau sekarang pesta ini sedang berlangsung dan banyak anak-anak di sini. Kalau Anda ingin melanjutkannya, mohon di tempat yang tidak dapat terlihat, ya?"

Dengan satu kalimat yang terdengar dingin itu, dalam sedetik mereka berdua sudah saling menjauhkan diri dan bertingkah malu-maluan seperti anak kecil. Aku benar-benar bisa sakit perut kalau aku terus menahan tawa seperti ini.

Desire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang