Chapter 5 Part 2

999 72 8
                                    

Aku dan Robbie tiba di ruang kesehatan tak lama setelah itu. Di dalamnya kami tidak menemukan siapa pun, ternyata guru yang bertugas sedang tidak ada di tempat. Maka tanpa menawarkan diri terlebih dulu, ia langsung saja mengambil perlengkapan P3K yang tersimpan di lemari dan merawat lukaku. Aku dan dia diam tidak berkata. Ia fokus merawat lukaku dan aku hanya tertunduk. Aku bisa merasakan ia adalah orang yang cekatan dalam merawat luka.

Sekitar 5 menit kemudian, ia sudah selesai mengobatiku dan mengembalikan kembali perlengkapan P3K ke lemari. Aku hanya menatapnya. Setelah selesai, ia kembali duduk lagi di hadapanku, dalam diam.

Aneh. Suasana kami menjadi sangat canggung. Padahal dulunya kami selalu tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Kami selalu cerewet berduaan bercerita ini itu. Sekarang sudah berbeda. Aku seperti melihat orang asing yang duduk di hadapanku.

"Kenapa kamu melakukannya?"

"Apa?" Aku tidak menangkap suaranya, terlalu mendadak.

"Kenapa kamu melakukannya?" Ia mengulang lebih pelan. "Kenapa ... kamu menghancurkan barang-barang Mirna?"

Kalau imajinasiku menjadi kenyataan, mungkin sekarang aku sudah gosong disambar oleh petir kekagetanku. "Apa katamu tadi? Aku menghancurkan barang-barang Mirna? Aku?"

Matanya tertunduk lesuh ke arahku. "Ya. Kalau bukan kamu siapa lagi?"

Sekali lagi, petir itu menyambarku, petir kekecewaan. "Roni! Aku sudah mengatakannya, kalau aku bukan pelakunya! Benar-benar bukan aku! Kenapa kamu tidak bisa mempercayaiku?"

"Aku ingin percaya padamu, aku ingin!" serunya tiba-tiba dengan wajah yang garang. "Aku ingin selalu mempercayaimu. Aku tidak yakin kamu yang melakukan semua itu. Amel yang kukenal tidak mungkin melakukan semua itu. Aku percaya."

Tanpa sadar, hatiku terasa lega dan mengendur dari cengkraman. "Robbie ..."

"Tapi tidak," timpalnya. "Aku sudah berpikir berhari-hari, tapi tetap saja tidak. Aku tidak bisa mempercayaimu. Selain mereka bertiga, tidak ada lagi yang memiliki kunci kamar itu, dan waktu itu hanya kamu sendiri yang menghilang, tidak dengan mereka yang sedang di kelas masing-masing. Dan sesuai yang Mirna ucapkan, kamarmu itu penuh dengan bekas-bekas darah yang sama dengan seragammu, tanganmu. Jadi selain kamu, aku tidak bisa memikirkan kemungkinan yang lain lagi."

"Robbie! Kenapa kamu berkata begitu? Kenapa kau tidak percaya padaku? Aku benar-benar tidak bersalah!"

Ia diam untuk beberapa saat, lalu kembali menatapku. "Kamu berubah, Mel."

"Apa?"

"Amel yang kukenal selalu bertanggung jawab atas perbuatannya, selalu jujur. Walaupun merasa tersinggung, selalu simpan rasa sedih itu di dalam hati, tidak melampiaskannya keluar begitu s—"

"Sudah cukup!!" Aku bangkit berdiri dengan cepat, aku tidak tahan lagi! "Kamu yang berubah, Ron! Kamu tidak lagi mempercayaiku, kamu yang berubah!"

Tak ingin mendengar alasan apapun lagi darinya, dengan langkah yang lebar aku langsung keluar dari ruang kesehatan itu, berlari menuju asrama, menuju kamar dan mengurung diri di dalam sana.

Aku menangis dengan memilukan. Ini terlalu kejam. Tidak ada lagi yang mempercayaiku, bahkan itu Robbie sekalipun. Orang yang kuyakini selalu membelaku, ternyata sudah balik menuduhku. Padahal aku benar-benar tidak bersalah. Aku bahkan tidak tahu kenapa semua ini bisa terjadi. Apapun yang kuucapkan tidak ada yang peduli. Tidak ada lagi yang memihakku...

Aku memihakmu.

Lagi. Suara itu lagi. Aku sudah tahu itu bukan halusinasi. Aku sudah mengerti semuanya. Aku menatap diriku yang satu lagi di balik cermin dengan geram.

Kenapa kamu menangis, Amel? Bukankah seharusnya kamu senang karena aku sudah membalaskan dendammu?

"Diam!" seruku dengan suara yang serak dan berat. Aku ingin memukul sesuatu, kesal! "Aku tahu. Aku tahu semuanya. Aku sudah mengerti. Semua itu, semua hal itu adalah perbuatanmu, bukan? Kamu yang melakukannya, bukan?!"

Lho? Bukankah itu adalah permintaanmu sendiri? Bukankah kamu kesal selalu direndahkan oleh mereka, oleh Mirna? Aku hanya mengabulkan permintaanmu, membuatmu senang, bahagia. Itu saja.

"Aku tidak pernah memiliki keinginan seperti itu dan tidak pernah memintamu untuk melakukan semua itu! Apa kau tahu? Gara-garamu, aku dituduh dan aku dipaksa untuk ganti rugi atas apa yang telah kamu perbuat. Itu yang kamu sebut dengan kebahagiaan?!"

Bayanganku itu tertawa dengan riang dan keras. Kita adalah orang yang sama, Amel. Kamu adalah aku, dan aku adalah kamu. Kamulah yang telah melahirkanku. Semua rasa kesal, dendam, iri hati, cemburu, kesepian, semua perasaan yang telah kamu pendam dalam-dalam itu telah menciptakan diriku. Dengan kamu sebagai penciptaku, sebagai orang yang kusayang, aku akan selalu mengabdimu. Aku akan selalu menjagamu, Amel.

"Tidak, kita bukan orang yang sama. Kamu hanya memiliki wajah yang sama denganku. Kamu yang mengontrolku! 9 tahun yang lalu, kamu juga yang membuatku membakar rumah, membunuh kedua orang tuaku. Kamu yang memaksaku, mengontrol diriku!" seruku dengan lantang, tanpa menyadari dari mana pernyataan ini kudapatkan. Padahal sampai detik terakhir tadinya, aku tidak pernah berpikir seperti ini dan aku terkejut sendiri setelah aku siap berkata.

Namun tidak dengan bayanganku. Ia tampak santai meskipun aku menuduhnya akan kejadian yang sudah lama kulupakan. Aku tidak mengontrolmu. Aku hanya mewakili dirimu melakukan hal yang ingin kamu lakukan, tapi yang takut kamu lakukan.

Aku mengerutkan keningku dalam. Aku bisa merasakan keringat dingin mengalir. "Aku? Hal yang ingin kulakukan? Aku ingin membunuh orang tuaku?"

Bayanganku mengangguk. Perasaan bencimu kepada kedua orang tuamu sudah sangat besar, sampai kamu sendiri pun tidak mengetahuinya. Kamu memang tidak berpikir untuk membunuh mereka, tetapi kamu selalu berharap agar mereka menghilang dari dunia ini, kan? Jadi aku hanya mengabulkan permintaanmu, menghilangkan mereka dari dunia ini.

Tanpa sadar, tubuhku mulai bergetar hebat. Apa yang dikatakannya sama persis dengan pikiranku. Dia ... memang aku. Tapi aku tidak bisa mengakuinya. Terlalu susah! "Bo, bohong."

Bukan aku yang bohong, tapi kamu. Kamu tidak pernah jujur kepada dirimu sendiri.

"Tidak, itu tidak benar."

Dulunya kamu selalu iri kepada anak-anak yang memiliki keluarga yang sempurna, bukan ? Kamu merasa iri dengan anak-anak yang bisa sekolah, iri dengan mereka yang bisa pakai bagus dan makan enak.

"Tidak, jangan dilanjutkan lagi. Aku mohon."

Sekarang setelah memiliki semua itu, kamu tetap iri. Iri dengan mereka yang kaya, dengan mereka yang memiliki kekuasaan. Yang bisa melakukan apa-apa.

"Tidak, aku tidak mau dengar lagi, tidak!"

Kamu iri dengan semuanya.

"TIDAKKK!!!!"

Dalam sekejap, kursi yang ada di sebelahku sudah melayang ke cermin besar itu. Karena lemparan kursi yang begitu kuat, cermin itu langsung pecah berkeping-keping, menimbulkan suara yang memekakkan telingaku. Setelah suara pecahan yang begitu nyaring itu menghilang, suara bayanganku juga ikut menghilang. Aku tidak lagi melihat sosok diriku yang satu lagi dari serpihan-serpihan kaca itu. Hanya ada pantulan yang sama dengan diriku.

Ada beberapa serpihan yang melayang ke arahku dan menggores ke beberapa bagian tubuhku. Begitu menyadari adanya darah yang mengalir dari luka goresan di lengan dan kakiku, air mataku langsung menetes. Air mata ini mengalir bukan karena rasa sakit, tapi rasa takut yang sudah tidak terdefinisi menyerang diriku.

Aku berkelainan jiwa.

***********************************************************************************************



Desire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang