Chapter 9 part 1

988 55 0
                                    

Keesokan harinya, Robbie menepati kata-katanya. Seharian penuh ia bersama denganku, ke mana pun aku pergi. Seperti biasanya, banyak cewek yang ingin datang mendekatinya. Kukira aku akan seperti biasanya dikucilkan oleh mereka dan Robbie dikerumuni oleh mereka. Tapi hari ini berbeda. Robbie berbeda dengan biasanya. Ia tidak lagi bersikap lemah lembut terhadap mereka yang datang dengan sengaja atau tidak sengaja. Bagi siapa saja yang mendekatinya ataupun berbicara padanya, ia akan memberikan wajah yang ganas, seperti siap untuk menerkamnya. Dan bagi yang tidak mempan dan terus berusaha untuk berbicara dengannya, Robbie akan tanpa belas kasihan membentak dan berteriak, membuat mereka buru-buru lari tunggang langgang. Aku terkejut melihat perubahan drastis Robbie.

"Kenapa kamu memarahi mereka?" tanyaku akhirnya ketika hanya tinggal kami berdua.

Ia yang sedang minum kopi dingin kesukaannya dengan wajah yang tidak bersalah menjawab, "Aku memarahi mereka? Enggak kok. Aku hanya mengusir mereka. Aku malas berhubungan lagi dengan siapa pun selain kamu."

Aku merasa merinding mendengar ucapannya. Kayaknya terlalu berlebihan deh. "Lantas kenapa kamu mengusir mereka? Mereka tidak melakukan kesalahan apa-apa kok. Hanya ingin ngobrol denganmu." Aku memang sudah tahu alasannya. Tapi aku ingin mendengarkan alasannya langsung dari mulutnya.

"Aku hanya ingin membalas perbuatan mereka kepadamu tempo hari. Kalau bisa pun aku ingin menghajar mereka seperti yang mereka lakukan padamu. Geram sekali melihat wajah mereka yang sok ­cute itu. Sayang sekali aku lelaki yang tidak memukul cewek. Ya, hanya bisa membentak deh."

Aku diam. Sebenarnya kalimat yang Robbie ucapkan itu sangat romantis, terkesan maskulin dan gentleman. Tapi entah kenapa, menurutku kalimat yang ia ucapkan itu justru terdengar sangat lucu, sehingga sekarang aku hanya bisa tertawa saking lucunya. Dan ia tentu tersinggung karena reaksiku.

"Hei, kenapa tertawa sih? Aku ini serius, tahu!" serunya dengan muka cemberutan. Aku semakin susah untuk berhenti tertawa.

"Maaf, maaf. Habis entah kenapa, lucu banget bagiku," ujarku setelah berhasil berhenti tertawa. Robbie malah tambah cemberutan.

"Akh, kamu tidak ada romantisnya!" ujarnya sebal. Aku buru-buru menepuk pundaknya. "Maaf deh, Ron. Aku bercanda saja kok," ucapku berusaha untuk dimaafkan, namun Robbie masih tetap cemberutan. Tahu ini akan terus berlanjut, aku mulai menggunakan jurus terampuhku. Dengan manjanya aku menempel di badannya dan memeluk lengannya, lalu dengan wajah yang sangat bersalah aku meminta maaf kepadanya.

"Maafkan aku ya, Ron?" Agar ia terpancing, tidak lupa kukecup pipinya. Alhasil, hanya dengan begitu, senyuman sudah merekah di wajahnya tak lama kemudian.

"Iya, iya, aku maafkan. Awas kalau kamu berani mengulanginya lagi," ujarnya menyerah kemudian mulai mengacak-acak rambutku. Kami berdua tertawa dengan senang setelah itu.

Tak lama duduk berduaan sambil saling bersandar, aku yang merasa sedikit kebelet pun memutuskan untuk bangkit. "Ron, aku ke WC sebentar, ya?"

"Perlu kutemani?" tanyanya refleks dan langsung kusentil jidatnya. Ia merintih. "Hei, kenapa aku disentil? Sakit akh!"

"Kamu sendiri, kenapa juga mau ikut aku ke WC pula? Nanti fansmu lihat, bagaimana? Kamu mau dibilang cowok mesum?" tanyaku.

Ia langsung teriak, "Enggak dong!"

Aku tersenyum. "Makanya, jangan pernah bilang mau temanin aku ke WC."

"Kan setidaknya aku berdiri di luar menunggu. Sejak awal memang itu maksudku kok, mana mungkin aku ingin ikut masuk? Aku kan takut kamu diapa-apakan sama cewek-cewek gila."

Aku menatapnya. Ia menyiratkan ekspresi yang sangat khawatir padaku. Aku menghela napas. "Roni, aku bukan gadis penakut. Kalau pun mereka menggangguku, aku tetap bisa melawan mereka. Dulunya aku selalu begitu kok."

Desire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang