Setelah menonton bersama dengannya, hubunganku dengan Dokter Goh bertambah dekat. Sekarang, selain bertemu saat konsultasi tentang keadaanku, kami juga sering ketemuan di luar, seperti makan siang, jalan-jalan, nonton, dan sebagainya. Selain itu, kami juga sering saling berhubungan, sekadar bertanya kabar, sekolah, pekerjaan, dan lain-lain yang bersifat umum. Tapi aku tidak pernah duluan bertanya kepadanya, melainkan selalu ia yang memulai percakapan duluan. Aku takut mengganggu. Waktu yang ia gunakan untuk menghubungiku selalu berbeda. Jadi aku sulit memperkirakan kapan ia senggang, kapan ia sibuk.
Dan hari ini, sepeti biasanya, setelah pulang sekolah aku langsung berangkat kerja. Hari ini giliranku bekerja di restoran fast food. Di sana semuanya harus serba cepat, dan aku mendapat posisi kasir.
Sejak mulai bekerja hingga saat ini, aku sekiranya sudah melayani 50-an orang hanya dalam jangka 3 jam hari ini. Pekerjaan di sini lebih melelahkan dibanding pekerjaan di tempat lain. Tapi demi hutang, mau tidak mau aku harus bekerja.
Saat ini, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, dan pelanggan masih terus berdatangan. Aku menghela napas. Memang ini nasibnya bekerja di restoran fast food yang letaknya strategis di tengah-tengah kota.
Aku melihat sekumpulan orang yang datang ke arahku. Untuk mempersiapkan diri, aku diam-diam meminum minuman yang biasanya kusiapkan di bawah counter. Tapi ketika membuka botol tersebut, dengan tidak sengaja aku menjatuhkan tutupnya, aku segera membungkuk untuk meraih tutup itu setelah selesai meminumnya lalu menyambut pelanggan yang telah tiba di hadapanku.
"Selamat siang. Apa pesana—"
"Amel?"
Aku membelalak mataku kemudian menguceknya. Aku pasti salah lihat.
"Sejak kapan kamu kerja di sini?"
Bohong, dia mengenaliku. Berarti ... aku memang tidak salah lihat. "Robbie ..."
Sejenak aku bisa melihat ekspresi yang sungguh kaget menghiasi wajahnya. Tapi seperti yang kukatakan, itu hanya sejenak dan selanjutnya wajahnya sudah berubah dingin, pura-pura tidak mengenaliku dan memesan makanannya dengan cepat, tanpa ada maksud ingin berbicara denganku. Setelah menerima pesanannya, ia langsung melangkah pergi dengan sahabatnya itu, Indra. Tanpa sadar, kedua alisku tertekuk ke dalam. Jantungku serasa ditusuk seribu jaru—, tidak seribu belati. Sangat sakit.
"Ternyata kamu bekerja di sini toh, monster?"
Aku diam dan menatap mereka dengan ketus. Tidak ada orang lain yang memanggilku dengan sebutan monster selain mereka.
"Tidak kusangka. Uang yang selama ini kamu bayar kepadaku ternyata adalah uang hasil jerih payahmu. Sempat aku mengira itu hasil curian lho. Aku salut padamu," ucap Mirna dengan angkuh dan lanjut terkekeh. Aku jadi ingin mencari kantong plastik untuk menampung muntahanku.
"Apa pesananMU?" tanyaku dengan menambah tekanan, muak. Aku tidak tahu kenapa aku bisa sesial ini dua kali bertemu mereka di tempat kerjaku.
"Aduh, kita ini pelanggan lho. Kamu harus sopan pada kami, ntar dipecat gimana? Kasihan lho!" kali ini timpal Eri yang sok manis. Aku tambah mual.
"Iya deh, kami tidak mau ganggu kerjamu lagi deh. Kami pesan tiga cheese burger set," lanjut Ressa sambil memainkan kukunya yang panjang kayak mak lampir itu, sengaja tidak ingin bertatapan dengan mataku yang sudah ingin mengeluarkan laser.
Tanpa menggubris mereka lagi, dengan secepat kilat aku menyiapkan makanan mereka dan menyebutkan sebaris angka sebagai bayaran makanan mereka tadi. Seperti orang-orang kaya lainnya, aku mengira Mirna yang membuka dompetnya akan menyerahkan kartu ATMnya untukku. Tapi bukannya begitu, ia malah mengambil 5 lembar uang seratus ribuan dan mencampakkannya dengan kuat tepat di wajahku. "Sisanya kamu ambil saja, yuk pergi," ucapnya pelan dan mereka bertiga berlalu pergi sambil terkekeh dengan ngeri.
Aku berdiri diam. Teman sepekerjaku yang menjadi kasir di sebelahku, orang yang mengantri di hadapannya dan juga di hadapanku, semuanya menatapku tanpa bersuara. Semuanya terlihat syok atas perbuatan trio itu kepadaku. Tak ingin menanggung malu, aku segera memungut uang-uang itu dan memasukkannya ke dalam tempat uang. "Anto, tolong panggil orang gantikan aku. Kepalaku pusing," pesanku singkat dan langsung berlalu dari sana, tidak ingin mempedulikan pelanggan lagi.
Dengan langkah yang lebar aku berjalan melewati dapur dan pergi ke belakang. Langsung saja, begitu tiba, aku menjatuhkan diriku duduk di balik pintu dan menangis tersedak-sedak di sana.
Ini keterlaluan! Aku sudah cukup dipermalukan di sekolah, tapi kenapa mereka masih juga mempermalukanku di luar? Apa mereka mau seluruh orang di dunia ini jijik denganku mereka baru puas? Ini terlalu tidak berkeprikemanusiaan! Tidak adil! Kejam! Apa semua orang kaya seperti itu?
"Kalau saja aku orang kaya. Kehidupanku pasti tidak seperti ini. Mereka pasti akan bertekuk lutut kepadaku ...."
Kalau begitu, buatlah mereka bertekuk lutut padamu.
DEG.
Buat mereka takut padamu.
DEG DEG.
Buat mereka MATI.
"KYYYAAAAAAA!!!!!!"
"Ada apa? Ada apa?" tanya salah seorang koki yang menghampiriku setelah mendengar jeritanku.
Aku menggeleng sambil tersenyum kecil. "Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya melihat kecoak tadi."
"Apa? Kecoak? Kecoaknya ada dimana?" Bukannya dianggap berlalu, si koki ini justru jadi tambah panik, karena keberadaan makhluk kecil yang kusebutkan itu tidak boleh ada di sini, harus segera dibasmi. Maka sebelum masalah ini lebih larut, aku buru-buru menimpali, "Gak apa-apa, kak. Kecoaknya tadi berjalan keluar kok. Gak ada di sini lagi."
"Oh, begitu toh," kata koki itu kemudian menghela napas lega. "Lain kali kalau lihat kecoak jangan teriak seperti itu, kaget tahu. Langsung dibunuh biar tidak merajalela di sini."
"Maaf. Aku terkejut soalnya," balasku sambil memamerkan gigiku. Koki itu kembali menghela napas lalu masuk kembali. Setelah kepergiannya, wajahku yang bloon tadi langsung berubah menjadi sedingin es.
"Bodoh. Kalaupun kecoak atau buaya yang keluar sekalipun, aku tidak akan berteriak."
****************************************************************************************
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire (Complete)
Mystery / Thriller(Belum Revisi) Apakah kamu memiliki keinginan? Aku, kamu, semua orang tanpa terkecuali pasti memilikinya. Dan untuk mencapainya, tergantung lagi kepada niat dan kekuatan masing-masing. Sayangnya, aku tidak. Aku memiliki keinginan, tapi aku tidak m...