Chapter 9 part 2

797 56 0
                                    

Sebuah senyuman terhias di wajahku. Aku menatap pantulan diriku di cermin. Diriku, dirinya, Amel. Aku mengecup bibirku di cermin.

"Amel, Amelku sayang. Tenanglah, sebentar lagi kamu pasti akan terbebas dari sini. Aku berjanji akan mengeluarkanmu dari sini, dengan cara apapun."

Aku melangkah ke depan pintu besi sialan itu dan kutatapi, kuamati. Sekali tatap aku langsung menyadarinya dan tersenyum. Mau ini pintu besi atau tidak, besi yang mengait dan mengunci pintu ini tetaplah sama kecil. Aku tersenyum. Dalam sekejap aku pun mulai mendobrak-dobrak.

5 kali dobrak, pintu itu masih bergeming. Aku sudah ngos-ngosan. Ternyata sakit sekali. Aku berhenti sebentar untuk mengatur napas. Setelah siap, kubidik kira-kira di mana lubang kunci itu berada di luar itu. Begitu yakin di sana, tepat beberapa senti di kenop pintu sesuai dengan perkiraanku, dengan sekuat tenaga kutendang pintu itu dan terbuka!

Aku keluar dari balik pintu WC itu dan tersenyum dengan lebar. Ternyata mudah sekali. Bukan tantanganku. "Tidak menyenangkan," gumamku sambil menyeringai. Merasa kaku karena habis mengeluarkan tenaga ekstra, dengan tanpa sadar aku mulai menarik-narik tubuhku. Seiring dengan aktivitasku ini, aku melihat sosok dua orang itu, orang yang begitu kulihat langsung membuat darahku berdesir.

"Sepertinya akan menyenangkan."

***

Aku membuka mataku. Aku sedang berdiri di depan gerbang sekolah. Aku tidak lagi berada di dalam toilet. Napasku tersenggal-senggal, badanku juga bermandikan keringat. Aku mengamati kedua tanganku, merah dan berpasir. Seragamku juga lumayan kotor, selain bekas tetesan darah ada banyak bekas tergesek tanah hingga hitam. Aku mengerutkan keningku.

Apa sebenarnya yang telah kamu lakukan?

"Amel!"

Aku tersentak. Dengan cepat aku menoleh dan kudapati Robbie yang memanggilku tadi. Aku menghela napas lega. "Ada apa?" tanyaku santai.

Bukannya menjawab, ia malah mengamatiku dari kepala hingga kaki dengan raut yang aneh dan kebingungan, kemudian kembali ke wajahku setelah itu. "Ke mana saja kamu, Amel?!"

Aku tersentak lagi. Bukan karena suaranya, tapi ketidakmampuanku untuk menjawabnya. Aku takut ia mulai menebak-nebak. "A, aku ..."

Beruntung, Robbie itu orangnya sangat tidak sabaran. Ia yang terlihat mengkhawatirkanku setengah mati langsung saja memelukku dengan erat, tidak peduli tubuhku kotor dan tidak peduli juga dengan alasanku yang belum kusebutkan. Ucapanku terbukti sebab seraya memeluk ia berkata, "Aku sangat khawatir padamu, Mel! Aku mengira kamu akan diculik, dikurung, atau lain-lain sebagainya. Jangan menghilang lagi dari hadapanku, aku mohon!"

Aku tersenyum kecil. Salah satu yang dia takutkan itu terjadi padaku persis barusan, dan hal itu tidak mungkin akan kukatakan. Aku akan mengganggapnya angin berlalu saja, yang penting aku sudah bisa keluar, meski itu artinya aku sama sekali tidak tahu apa yang telah diriku yang satu lagi lakukan. Aku tidak mau mempedulikannya. Asalkan ada Robbie, dan ia mengkhawatirkanku, tulus. Aku tidak mau menghilang lagi, membuatnya cemas. Aku ingin ia tahu aku aman.

"Aku tidak apa-apa," ucapku pelan lalu balas memeluknya.

***********************************************************************************************

Desire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang