Extra Chapter - Tigor Alexant Goh (Part 1)

38 2 0
                                    

“Maaf, sepertinya kita tidak cocok. Kita sudahi saja hubungan ini.”

Setelah ia siap berkata, tanpa memberikan diriku kesempatan untuk menimpalinya, ia sudah berdiri dan berjalan pergi tanpa menoleh sedikit pun. Aku yang ditinggal duduk sendirian di sini hanya bisa membuang napas.

Ditolak. Lagi. Hingga hari ini, aku sudah mengikuti 30 –dicatat rekor 30 kali- blind date dengan pasangan yang berbeda-beda. Dengan modal wajahku yang lumayan ganteng –ehem- dan memiliki isi ekstra di dompet, 30 pasangan tersebut semua berhasil kudekati dan menjadi pacarku. Namun hanya dalam jangka 1-2 bulan, tanpa kuketahui mengapa dan bagaimana, aku akan kembali lajang lagi dengan otomatisnya. Sebab ada yang menghilang tanpa jejak, ada yang selingkuh, dan ada juga yang minta putus tanpa alasan yang jelas, seperti hari ini.

Namaku Tigor Alexant Goh, anak tunggal mandiri –yatim piatu, tahun ini berusia 27 tahun, dan status lajang kembali sejak beberapa menit yang lalu. Pekerjaanku sebagai seorang psikiater yang sudah membuka praktek selama 10 tahun. Ok, ini bukan menyombongkan diri, tapi aku termasuk orang jenius ber-IQ di atas rata-rata sehingga aku berhasil menamatkan pendidikanku pada usia yang belia--17 tahun. Jadi meski tergolong muda, namun pengalamanku sudah boleh dibilang lumayan lama, dan tentunya, kondisi ekonomiku sudah lebih dari cukup untuk membina sebuah keluarga. Namun sayangnya, itu hanya sebuah angan-angan.

Setelah memacari semua pasangan blind date-ku dengan tujuan untuk meminangnya, ternyata tidak ada satu pun yang membuahkan hasil. Belum juga aku mulai untuk serius mengenal mereka lebih dekat, para wanita yang membingungkan itu sudah melarikan diri dariku, semuanya. Saking terbiasa dengan akhir seperti ini, aku selalu membuang napas dengan pasrah meratapi nasib sambil bertanya-tanya terhadap diriku sendiri.

Apa sebenarnya yang kurang dariku? Wajah dan fisik? Setelah bercermin selama 20-an tahun, aku sadar aku lebih dari standard. Kesehatan? Aku makan sehat juga berolahraga dengan teratur, jadi tidak masalah. Bahkan ‘adik’-ku pun kujamin masih sehatwalafiat. Sifat dan karakter? Hmm … aku cukup tahu diri dan bisa membedakan mana baik dan mana benar. Uang? Jika aku mau, aku bisa membeli rumah cash tanpa kredit. Tapi aku urungkan niatku, soalnya aku masih butuh biaya untuk kehidupan sehari-hariku. Jadi … apalagi?

Untuk kesekian kalinya, aku menghela napas lagi. Aku sungguh bingung. Apa mungkin jodohku memang belum tiba? Aku melirik jam tanganku, jam 2 siang. Aku bersandar dengan lesu ke kursiku.

Hari ini hari Sabtu. Dengan susah payah penuh perjuangan keras, aku berhasil mendapatkan hari libur sehari, mengesampingkan seluruh pekerjaan dan pasienku untuk ajak dating pacarku –maksudku, mantan pacar. Schedules romantis yang telah kususun demi membuat pasanganku semakin jatuh hati padaku pun tersia-siakan sudah. Aku beralih dari jam tanganku ke buku menu yang tidak tersentuh di mejaku. Moodku untuk makan sudah hilang.

“Apa aku pulang saja ya?” Sepertinya aku habiskan liburan ini di rumah saj—

“Tidak, jangan sembarangan, bodoh!”

Refleks aku menoleh ke arah datang seruan itu. Suara itu, kok terdengar tidak asing? Tidak menemukan pemilik suaranya, aku mulai menoleh sana-sini mencari tahu dengan penasaran. Dan alhasil, tak jauh dariku terlihat dua orang pelayan perempuan yang sedang berbincang seraya menunjuk-nunjuk ke meja ujung sana. Ada apa di sana?

Salah satu dari dua pelayan tersebut menarik perhatianku. Postur tubuhnya yang lumayan tinggi dengan rambut hitam lurus dan tebal yang panjang terasa sangat familiar bagiku, serasa pernah bertemu dengannya di mana. … Jangan-jangan?

Untuk menghilangkan rasa penasaranku, di saat ia terlihat begitu panik entah oleh apa, aku mengangkat tanganku dan memanggilnya,

“Pelayan.”

Desire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang