Chapter 5 Part 3

988 78 7
                                    

Hari ini hari Minggu. Di hari libur internasional ini, aku biasanya selalu menghabiskan waktuku bersama dengan Robbie. Kami selalu berkeliaran di luar, agar bisa lebih kenal dengan kota ini. Tapi untuk sekarang, tidak ada lagi kegiatan seperti itu.

Sejak kejadian di ruang kesehatan itu, hubunganku dengan Robbie benar-benar merenggang. Aku tidak lagi duduk di sampingnya sebagaimana mestinya, lantas aku pindah duduk sendirian di ujung pojok belakang. Dulunya Robbie selalu mencari kesempatan agar bisa bersamaku, tapi sekarang dia tidak. Ia lebih memilih untuk sendirian di taman ketika ia tidak sedang diganggu oleh fansnya. Selain itu, ia juga sepertinya sudah berteman baru dengan seseorang. Namanya Indra. Ia adalah teman sebangku Robbie yang baru. Kalau tidak salah, ia adalah salah satu pengejarku dulu.

Begitu dekat dengan Indra, mereka berdua selalu bersama. Indra sudah menjadi sahabat baru Robbie, menggantikan diriku. Tidak seperti dulunya, Robbie sudah pandai bergaul dengan teman-teman sekelas. Ia bukan lagi Robbie penyendiri karena berbeda di panti dulu. Ia sudah terkenal. Dan ia sudah meninggalkanku, melupakanku. Kadang jika berpapasan denganku, ia tidak lagi menyapa ataupun sekadar melirik. Ia tetap jalan, menganggap aku adalah bayangan.

Tanpa adanya lindungan dari Robbie, statusku di sekolah semakin bertambah buruk. Semua fans Robbie tidak segan lagi mengangguku, atau lebih tepatnya terus mengangguku. Padahal semua orang sudah tahu aku tidak berhubungan lagi dengan Robbie dan mereka tetap mengerjaiku. Trio itu lebih kejam. Mau di sekolah, di kamar, di manapun jika bersama mereka, pasti ada saja bagian tubuhku yang memar. Aku selalu menangis setiap saat. Tapi kini aku sudah terbiasa. Tidak ada lagi air yang keluar dari mataku. Aku sudah mati rasa.

Namun semua itu tidak penting bagiku. Aku lebih mementingkan urusanku dengan diriku yang satu lagi. Sekarang bukan hanya satu-dua kali ia switching* denganku, tapi hampir setiap saat. Di dalam kelas waktu belajar, di cafeteria saat makan, ataupun di saat aku dikerjai. Dengan tanpa sadar ia berganti denganku, mengambil alihku dan berbuat onar. Selalu saja ada masalah yang timbul gara-garanya. Aku bertambah derita gara-garanya. Tidak hanya itu, ia selalu berkomunikasi padaku, memenuhi pikiranku dengan suaranya, membuyarkan konsentrasiku, dan proses belajarku menurun drastis.

Aku tidak bisa terus begini. Aku harus mencari solusinya. Aku sempat berpikir untuk menghubungi Kak Abel dan berkonsultasi padanya. Tapi setelah dipikir kembali, aku mengurungkan niatku. Aku sudah keluar dari panti asuhan, aku sudah mandiri. Aku tidak ingin menyusahkan mereka dan aku juga tidak mau ada yang tahu kalau aku sakit. Aku tidak ingin kedekatanku dengan anak panti menghilang ataupun dibenci gara-gara mereka tahu akan kondisiku. Ya, betul. Aku tidak boleh kasih tahu siapa pun. Tidak mataku, tidak pula penyakit baruku.

Maka dengan modal nekad, aku memutuskan mencari psikiater. Setelah mencari info di internet selama beberapa hari, akhirnya aku berhasil menemukan psikiater yang bisa kupercaya dari artikel-artikel yang ditulis tentang dirinya dan usaha yang dibukanya. Setelah yakin, aku pun mengontaknya dan berencana berkonsultasi dengannya hari ini.

Aku menatap gedung beralamat sama dengan secarik kertas yang ada di genggamanku, berupa sebuah ruko sederhana berlantai 3. Setelah mempersiapkan diri dengan matang, aku pun masuk ke dalam dan langsung menuju counter.

"Permisi, saya pasien yang sudah membuat janji jam 2 dengan Dokter Goh," ucapku pelan, tidak lupa menyebutkan nama dokternya karena ada sekitar 3 dokter di sini.

Wanita yang ada di balik counter itu mengangguk. "Baik, atas nama?"

"Meltya."

"Baiklah, silakan duduk di sana sebentar," ucapnya sopan seraya mempersilakanku duduk di sofa panjang itu kemudian masuk ke dalam balik pintu di samping counter itu. Sepertinya memberitahukan Dokter Goh atas kedatanganku.

Menuruti ucapan suster itu, aku duduk dengan tenang di sofa kemudian menyapu mataku ke segala sudut ruang ini. Ruang tunggu ini sejuk karena menggunakan AC, kontras dengan udara di luar karena cuaca sangat panas, apalagi matahari sekarang sungguh terik menghanguskan. Ada dua sofa panjang di ruang ini, satu di sudut kanan dan satu di kiri. Tengah ruang ini kosong, hanya memperlihatkan lantai keramik bermotif bunga besar. Mungkin sekitar 10 menit aku terus mengagumi ruangan ini sampai aku mendengar suara suster tadi memanggilku. Dengan langkah pelan aku menghampiri pintu tersebut dan membukanya. "Selamat siang," sapaku pelan seraya berjalan mendekati Dokter Goh yang sekarang duduknya sedang membelakangiku.

"Selamat siang," balasnya padaku sambil memutar ke arahku dan aku langsung tersentak kaget.

Aku tidak bisa mengedipkan mataku. Apa dia Dokter Goh yang konon katanya sudah membuka praktek selama 10 tahun? Wajahnya persegi, matanya besar dan bulat, rambut hitam lebat, tidak berkumis, tidak berjenggot. Wajahnya masih putih bersih dan masih terlihat sangat muda! Aku benar-benar syok.

"Kenapa bengong begitu? Ayo, silakan duduk."

Masih dengan mata yang tertuju ke wajahnya, aku duduk di hadapannya. "Hmm.. Anda benar dokter Goh, kan?"

Ia mengangkat sebelah alisnya. "Iya. Ada apa?"

"Berapa usia Anda?"

"27."

"Bohong!" seruku mendadak sampai bangkit berdiri. Tapi begitu melihat wajahnya yang sangat terkejut itu, aku buru-buru duduk kembali. "Maafkan kelancangan saya." Aduh, ini sangat memalukan!

Ia yang sempat terkejut itu sekarang terbahak dengan suara yang santai. "Tidak apa-apa. Aku memang selalu dianggap masih 20 tahun. Maklum saja kamu terkejut."

Oh, wajah babyface, ya, pikirku sambil menahan malu. Aku bisa merasakan wajahku memanas, sepertinya sudah merah padam.

"Ya sudah, sekarang kita mulai saja, ya?" Dari tempat duduknya di balik meja kantor ini, dia beralih ke sofa merah tunggal dan mendudukinya setelah menuntunku ke sofa hitam panjang berlengan satu. Sepertinya ini akan menjadi tempat berbaringku untuk beberapa hari kemudian. Ia membuka tutup bolpennya dan menulis namaku di tumpukan kertas pasien. "Sebutkan, apa masalahmu?"

Aku menarik napas. Sudah dimulai.

"Aku merasa... aku punya sosok yang satu lagi."

***********************************************************************************************

*Pertukaran posisi antara kepribadian satu dengan kepribadian lainnya dan biasanya proses pertukaran tidak disadari oleh kepribadian utama.

hello! miss the continue of this story? I hope yes, hehe

OK, so I will continue to post another 4 new parts, enjoy the story ^^

well, I try not to find picture from google about Dokter Goh's face, I'll let your mind imagine it :p (tidak ingin menghancurkan imagenya >,<)





Desire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang