Persiapan kami sudah siap. Barang-barang yang perlu kubawa sudah kukemas rapi di tasku. Total aku membawa 3 tas, 1 untuk pakaian, 1 untuk barang-barang lain, dan 1 lagi untuk tas tangan. Sedangkan Robbie hanya 2, yang terdiri dari tas pakaian dan ransel perjalanan yang tergantung di kedua pundaknya. Sekarang kami berdua sedang berdiri di depan panti menunggu bus. Hari ini, kami berdua akan berangkat ke kota.
Pak Juno melangkah mendekati kami berdua. "Apa persiapan kalian sudah beres?"
"Sudah," jawab kami berdua serentak dan Pak Juno hanya mengangguk. Tak lama setelah itu, muncul Kak Abel dari balik pintu dengan anak-anak dan pengasuh lainnya.
"Akhirnya tiba lagi saat untuk berpisah dengan salah satu penghuni panti ini," ucapnya pelan seraya berjalan mendekati kami berdua. "Robbie, Meltya, kalian akan memulai hidup baru di kota sana. Apa kalian siap?"
"Siap!" jawab kami berdua secara serentak lagi. Kak Abel yang mendengar jawaban kami yang begitu yakin, ia tersenyum dengan lebar lalu memeluk kami berdua dengan lengannya.
"Kami semua akan selalu merindukan kalian. Jaga diri kalian baik-baik, ya. Kalau bisa, kami pasti akan mengunjungi kalian. Kalian juga sering-seringlah datang ke sini. Kami semua selalu akan menerima kalian dengan tangan terbuka."
Aku ingin menangis. Aku tidak pernah suka berpisah. Aku mengangguk berkali-kali agar air mataku tidak menitik. Cukup lama ia memeluk kami sampai ia melepaskan pelukannya.
"Robbie, sebagai anak cowok, kamu harus menjaga Amel dengan baik lho! Aku tidak akan memaafkanmu kalau saja terjadi sesuatu padanya," pesan Kak Abel berusaha bersuara tegas kepada Robbie, tapi tetap terdengar seperti candaan bagiku.
Robbie tertawa sekilas sebelum menjawab, "Tenang saja, Kak. Aku yang bahkan rela ketinggalan sekolah 2 tahun demi setingkatan dengannya pasti akan menjaganya dengan baik. Kalau bisa, aku mau juga jadi bodyguard 24 jamnya. Dengan begitu aku bisa mandi bersam-"
"Hei!" potongku cepat kemudian meninju lengannya sekali. "Kuharap kamu tidak perlu memimpikannya karena aku tidak akan bakalan mau, dasar genit!"
Robbie hanya tertawa karena candaannya sendiri. Aku menghela napas lalu tanpa sengaja bertemu pandang dengan mata anak-anak yang berada di belakang Kak Abel. Masing-masing dari mereka matanya berkaca-kaca, bahkan sudah ada yang terisak. Tanpa sadar aku melangkah mendekari mereka. "Rina," panggilku pada salah seorang anak yang berdiri paling depan.
Merasa dipanggil, ia langsung melaju ke arahku dan memelukku dengan erat. "Kakak, kakak tidak usah pergi, boleh gak? Kakak di sini saja dengan kami, boleh gak? Aku tidak mau kakak pergi. Kakak tetap tinggal saja, ya?"
Seusai dia berkata, anak-anak lain pun jadi ikut mendekatiku, memelukku, dan memintaku untuk tetap tinggal dengan disertai isakan-isakan kecil.
Tidak. Kalau terus begini, lama-lama aku jadi ingin menangis juga. Aku tidak boleh goyah. Dengan pelan aku melepaskan pelukan mereka dariku.
"Anak-anak, Kak Amel dan Kak Roni harus pergi untuk melanjutkan sekolah, biar bisa kaya lalu beli makanan enak, pakaian bagus, dan semua yang kalian mau untuk kalian. Kalau kalian kangen bisa telepon kok. Kak Amel dan Kak Roni pasti akan sering datang mengunjungi kalian. Jadi selama Kakak gak ada, kalian jadilah anak yang baik, jangan menyusahkan Kakak yang lain. Belajar juga dengan rajin, dengan begitu kalian bisa menyusul Kakak pergi ke kota. Janji?"
"Janji!!" seru semua anak secara serentak padaku. Oleh karena ucapanku itu, aku tidak lagi melihat mata yang berkaca-kaca, melainkan mata yang berbinar-binar di wajah mereka semua. Aku tidak menyangka dapat memotivasi mereka dengan ucapanku, aku senang menyadarinya.
Aku memeluk mereka lagi semua untuk terakhir kalinya, kemudian Robbie pun mengikutiku melakukan hal yang sama. Bedanya, semua anak tidak menangis untuknya. Mereka hanya saling jewer-jewer dan cubit-cubitan. Aku tersenyum kecil melihatnya. Tidak lupa, setelah itu kami berdua juga memeluk teman-teman pengasuh lainnya sebagai tanda perpisahan.
Mereka semua menemani kami menunggu sambil berbincang-bincang sedikit. Kami sempat membahas untuk bekerja paruh waktu apa untuk biaya hidup di kota nanti. Itu belum kupikirkan sebenarnya.
Tak lama menunggu, sekitar 30 menit kemudian yang terasa hanya 10 menit karena serunya berbincang, bus yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Sekali lagi aku dan Robbie berpamitan dengan semuanya lalu masuk ke dalam bus. Tapi sebelumnya, Kak Abel memberikan sebuah pesan.
"Aku sudah mengonfirmasi ke pengurus sekolah sana kalau hari ini kalian akan langsung tinggal di sana. Jadi temui dia setelah kalian tiba."
"Baik," jawabku dan Robbie bersamaan.
Dengan duduk di bangku paling belakang, kami pun melambaikan tangan kepada mereka sampai sosok mereka semua menghilang di ujung sana. Aku menurunkan tanganku setelah itu dan Robbie yang duduk di sampingku langsung menyodorkan saputangannya untukku. Aku mengerutkan kening. "Untuk apa saputa-"
"Seka air matamu, sudah mengalir tuh."
"Tidak kok. Aku tidak mena-"
"Seka."
Belum juga aku sempat menimpalinya balik, tanpa melihat wajahku ia menempelkan saputangannya di wajahku lalu mengelapinya dengan kasar. Awalnya aku berontak agar ia berhenti karena sakit, namun begitu ia beneran berhenti, air matakulah yang mulai turun.
Padahal aku berusaha untuk menahannya, kalau bisa pun aku ingin menahan luapan perasaan ini. Tapi tidak bisa. Gara-gara perhatian Robbie, aku tidak bisa berpura-pura kuat lagi. Aku tidak bisa menahan lagi. Dalam sekali gerakan berikutnya, aku melesat memeluknya dengan erat dan terisak di dalam pelukannya.
"Hei, tidak perlu menangis seperti ini, kan? Kita hanya ke kota, lho, belum juga ke luar negeri. Kita masih bisa bertemu dengan mereka kok. Kalau kamu mau, seminggu sekali pulang juga boleh," jelasnya sambil menepuk-nepuk pundakku ringan.
"Tapi...tapi... aku merindukan mereka... aku kangen," ujarku dengan susah payah karena isakan yang tiada reda ini. Padahal baru beberapa menit yang lalu kami berpisah, tapi aku sudah merasakan rindu yang begitu dalam, begitu sesak.
Ia berganti mengusap-usap kepalaku. "Iya, aku tahu. Aku juga kangen pada mereka kok. Ini pertama kalinya kita keluar dari panti, tentu saja kita akan dengan mudah terserang rasa rindu. Tapi tidak apa-apa, masih ada aku di sini, bukan? Aku akan selalu bersamamu kok, jadi berhenti menangis, ya?"
Aku tahu ucapannya betul, sangat tepat. Hanya dengan keberadaan dirinya di sampingku, aku memang tidak memerlukan apa-apa lagi. Tapi tetap saja aku tidak bisa menghentikan tangisanku. Di sela tangisku, aku bisa mendengar Robbie mendesah pelan.
"Amel, berhenti menangis dong, banyak orang lagi lihat nih. Malu akh!"
"Aku tidak peduli! Ini gara-garamu aku menangis sekarang, Roni! Jadi masa bodoh, kamu harus menanggungnya!" Setelah seruan yang lumayan keras itu, aku kembali menangis lagi, bahkan kali ini lebih keras. Tidak peduli dengan pandangan orang lain, omelan Robbie, ataupun bajunya yang telah basah oleh air mataku dan ingus. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin menangis karena aku akan memulai kehidupan yang baru.
Robbie lagi-lagi mendesah lalu menepuk punggungku sekali.
"Ok, ok, menangislah, aku akan bertanggung jawab kok. Jadi masa bodoh dengan mereka semua, kamu cukup menangis saja sampai kamu tenang. Dan, namaku Robbie, Mel."
***************************************************************************************
tempat baru sudah menanti, tantangan baru pun mulai menanti
ayo semangat, Amel! Robbie akan selalu disampingmu, tapi...... *tit tit*
still secret, haha ^,^)/
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire (Complete)
Mystery / Thriller(Belum Revisi) Apakah kamu memiliki keinginan? Aku, kamu, semua orang tanpa terkecuali pasti memilikinya. Dan untuk mencapainya, tergantung lagi kepada niat dan kekuatan masing-masing. Sayangnya, aku tidak. Aku memiliki keinginan, tapi aku tidak m...