Chapter 4 Part 1

1.1K 83 5
                                    


Hari pertama setelah sekolah menjadi hari yang menyibukkan bagi semua orang. Karena letak sekolah ini lumayan jauh dari kota, mau rumahnya dekat atau tidak, semua yang menjadi murid di sini harus tinggal di asrama. Jadi seharian ini, seisi asrama perempuan dan pria dipenuhi dengan hiruk pikuk dan lalu lalang manusia yang sibuk pindah rumah. Aku yang memang tidak suka keramaian hanya mengurung diri di dalam kamar setelah siap makan siang di cafeteria tadi dan chatting-an dengan Robbie. Dari Robbielah aku tahu kalau di asrama pria juga ramai dengan orang.

"Halo!!"

Aku berteriak dengan lantang dan membuang ponselku ke sembarang arah. Aku terkejut, dikagetkan oleh suara keras yang muncul mendadak di ruangan yang sepi itu. Dengan cepat aku menoleh ke arah pintu, dan kudapati tiga orang yang masuk ke dalam ruang ini bersamaan.

Mereka pasti teman sekamarku, pikirku. Dengan pelan aku turun dari kasur bagian atas, tempat favoritku sejak di panti dan berjalan mendekati mereka. "Ha, halo," balasku terbata, rasa kaget ini masih belum hilang.

Cewek yang berdiri paling depan dari mereka bertiga, mengulurkan tangannya kepadaku. "Kamu pasti teman sekamar kami, kan? Perkenalkan, aku Mirna, X-E."

Aku menatapnya sekilas. Ia memiliki tinggi badan yang semampai, langsing, kulit yang putih, rambut yang panjang dan bergelombang besar. Benar-benar tipe tuan putri. Setelah siap mengamatinya, aku baru menerima uluran tangannya. "Aku Meltya, X-B. Aku biasa dipanggil Amel," balasku memperkenalkan diri, tidak lupa memberikan senyuman sampul yang manis.

Setelah bersalaman dengan Mirna, aku beralih bersalaman dengan dua orang lainnya.

"Namaku Ressa, X-A" ucap cewek yang paling pendek dari mereka bertiga, sekitar 150-an cm, rambut lurus yang panjang dikucir satu rendah. Wajahnya yang agak lonjong dan mata yang besar membuatnya terlihat imut.

"Aku Eirina, dipanggil Eri, sama dengan Ressa X-A. Salam kenal," kali ini ucap perempuan yang badannya agak berlemak sedikit, rambut panjang sebahu dan sama tinggi denganku. Aku tersenyum kepada mereka semua.

Tanpa mengulur waktu lagi, setelah selesai memperkenalkan diri, mereka mulai memasukkan barang-barang dan pakaian mereka ke dalam lemari yang tersedia. Takut menganggu, aku menyingkir ke pinggir dan melihat aktivitas mereka dalam diam. Setelah selesai memberesi barang-barang mereka, kini mereka mulai bertanya-tanya lebih lanjut tentang diri mereka, tak lupa, mereka juga menyertaiku. Kami berbincang cukup lama, tapi aku sendiri lebih banyak diam.

"Jadi, Amel, apa hubunganmu dengan Robbie?"

"Eh?" Aku agak tersentak. Padahal daritadi mereka hanya bertanya tentangku dan aku sama sekali tidak menyebut nama Robbie. Kenapa dia bisa mengenalnya? "Kamu kenal Robbie?" tanyaku penasaran.

Seusai pertanyaanku, mereka bertiga serentak terbahak dengan keras, membingungkanku. "Tentu saja kami kenal," jawab Eri dengan penuh wibawa dan keyakinan. "Dia merupakan salah satu cowok keren yang ada di tingkat X. Dengan wajahnya yang mirip orang bule itu, tidak mungkin tidak ada yang mengenalinya di sini."

Aku terkagum-kagum. Padahal ini baru hari pertama kami masuk sekolah, dan Robbie sudah menjadi salah satu cowok keren di sekolah? Ini tidak adil.

"Sejak datang sampai pulang, selalu terlihat dia menempel denganmu. Apa hubungan kalian berdua?" tanya Ressa mengulang pertanyaan yang belum kujawab tadi.

"Aku? Aku dan dia hanya teman kok. Mungkin seperti kakak dan adik," jawabku sesuai dengan apa yang kupikirkan.

"Benarkah? Kalau begitu, apa aku boleh mengejarnya?"

Aku terhenyak. "Apa?"

Mata Ressa tampak berbinar-binar. "Sejak awal bertemu dengannya di cafeteria tadi, aku sudah jatuh hati padanya. Dia terlihat sungguh gagah dan dewasa. Aku tidak bisa berpikir kalau dia seumuran dengan kita. Apa dia pernah tinggal kelas, Mel?"

Aku mencibir. Tuh kan, apa kataku? Memang tidak ada yang bisa percaya Robbie setingkatan dengan murid kelas X yang umumnya berumur 16. Aku saja lebih tua setahun kok. "Dia tidak tinggal kelas, hanya lambat masuk du—"

"Berarti dia memang lebih tua, bukan? Kalau begitu, dia targetku sekarang! Sejak dulu aku selalu ingin pacar yang lebih tua," potong Ressa dengan cepat, dengan mata yang tambah berbinar, bahkan sudah meneteskan air liur. Ukh, menjijikkan.

"Hei, siapa bilang kamu boleh mengejarnya? Kamu pendek begini tidak cocok dengannya yang tinggi dan gagah itu. Dia cocoknya denganku," ujar Eri yang menyombongkan dirinya sambil tertawa ala nyonya besar. Tambah mengerikan.

Ressa terlihat sangat kesal dan emosi atas ejekannya. "Apa kau bilang? Pendek? Masih mending aku pendek, tapi aku cantik dan imut, tidak sepertimu yang berbadan besar seperti badak!"

"Ap—"

"Diam!"

Sekali seruan dari Mirna, Ressa dan Eri langsung menciut nyalinya untuk bersuara. Aku dapat melihat aura ketakutan yang memancar keluar dari mereka berdua. "Kalian lancang sekali mengejar Robbie. Dengar, Robbie adalah milikku, dan kalian tidak akan kuperbolehkan mengincarnya, mengerti?"

"Baik!" jawab Ressa dan Eri secara bersamaan dan kaku. Aku mengerutkan keningku. Ada apa dengan mereka?

Mirna yang tadinya duduk bersama dengan kami membentuk lingkaran kini berdiri lalu berputar sekeliling. "Lihatlah tubuhku ini, sempurna. Wajah yang begitu cantik, tubuh yang begitu ideal, kekayaan yang begitu melimpah, status yang begitu tinggi. Ini sungguh sempurna! Laki-laki mana yang tidak jatuh hati padaku? Tidak akan ada meski itu Robbie, atau anak presiden sekalipun. Bagaimana menurut kalian?"

"Tentu saja iya!" jawab Eri yang bertingkah seperti bawahan. "Anda begitu cantik dan kaya, anak perusahaan besar yang terkenal ke seluruh negeri ini. Tidak ada yang bisa menandingi Anda, putri!"

"Benar katanya, tuan putri. Anda hanya perlu berjalan melewati Robbie, dan ia pastinya akan mengikuti Anda bak anjing yang tergoda. Dia pasti tidak akan bisa menahan melihat kecantikan Anda!"

"Hei, apa-apaan sih kalian?" Gila, mereka gila! Kenapa bisa mereka begitu merendahkan Robbie sampai sederajat dengan anjing? Aku tidak bisa terima! "Kenapa kalian mengejek-ejek Roni seenak udelmu? Roni tidak serendah it—"

PLAAAKK!!

Aku syok. Aku menyentuh bagian pipiku yang terasa perih. Kenapa aku ditampar? Aku salah apa?

"Siapa kamu berani meneriakiku? Tidak tahukah kamu bahwa aku adalah anak dari pemilik perusahaan ternama di dunia ini?" Tanpa pemberitahuan, dengan angkuhnya Mirna mencengkram kedua pipiku dengan satu tangan. "Melihatmu sebagai teman Robbie, untuk kali ini kumaafkan perbuatanmu itu. Awas kalau untuk berikutnya kamu berani macam-macam padaku. Ingat, mulai hari ini kau adalah budakku di kamar ini!"

Dengan kuat ia menghempasku hingga aku jatuh terduduk dan menabrak meja yang ada di belakang. Bukannya membantuku dan membelaku dari perbuatan yang tidak manusiawi ini, Ressa dan Eri justru menertawaiku dan memperlakukan Mirna bak ratu dunia. Setelah puas tertawa, mereka bertiga beranjak pergi dari kamar dan meninggalkanku sendirian.

Sial!! Kenapa bisa anak yang baru berusia 16 tahun itu sombong setinggi angkasa? Aku masih lebih tua darinya, dan seperti inikah ia memperlakukan orang yang lebih besar darinya? Seperti apa kedua orang tuanya mendidiknya? Seenaknya memukul orang, memperbudak lagi. Awalnya saat ia tersenyum lebar dan menyalamiku, kukira ia adalah anak baik-baik yang bisa kuajak berteman. Nyatanya itu hanya kamuflase! Anak orang kaya memang tidak boleh dipercaya! Terlalu meremehkan orang lain. Sampai matipun aku tidak percaya Robbie akan jatuh hati padanya.

Aku benci!

*********************************************************************************************

waaah, sifat asli mereka keluar secepat itu. Anak muda zaman sekarang mengerikan, haha.

It's been a while from my last update due to my school, I hope that the readers can enjoy the story so far ^^

(image from google, to show the arrogant style of Mirna :p)

Desire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang