Aku tersadar kembali. Aku masih ingat aku berhalusinasi di kamar melihat diriku yang seorang lagi setelah menangis. Aku yakin aku hanya terlalu lelah, sehingga melihat refleksi diriku di cermin bisa bergerak dan berbicara denganku—
"KKYYYYAAAAAA!!!!"
Teriakan itu membuyarkan lamunanku. Di hadapanku sekarang ada seorang perempuan yang melihatku dengan tatapan yang ngeri, takut. Bahkan badannya bergetar hebat.
"Da, darah, darah, dia berdarah!"
Oleh karena teriakannya yang kedua kalinya, orang-orang yang ada di balik gerbang sekolah tempatku berdiri kini pada berhamburan datang melihat keadaanku yang mengenaskan i— tunggu. Ini di gerbang sekolah? Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah aku berada di kamarku tadi? Kenapa bisa begini?
"Minggir! Semuanya minggir! Beri aku jalan!"
Aku mengenali suara yang berasal dari belakang itu. Sosok itu mendorong-dorong orang yang ada di depannya, menyelinap masuk ke dalam kerumunan ini dan menatapku dengan lekat, dengan serius. "Kamu kenapa, Mel? Ke mana saja kamu? Kenapa bajumu bisa penuh darah begini? Kamu terluka? Di mana?"
Mendadak, aku merasa diriku sangat letih. "... Aku tidak apa-apa kok, Ron. Aku ... hanya lesuh.."
"Sudah, kamu tidak usah sekolah hari ini. Yuk, kuantar kamu kembali ke asrama," tawarnya dengan cepat dan langsung saja merangkulku dan berniat untuk pergi. Namun baru saja ia melangkah, trio itu sudah berdiri di depan kami.
"Kami juga ikut. Begini-begini kami juga teman sekamarnya. Kami juga khawatir padanya," ucap Mirna berakting baik dan bersahabat denganku di depan Robbie. Aku hanya menyeringai kecil. Menjijikkan.
Tanpa pikir panjang, Robbie pun mengangguk dan kami berlima segera menuju ke asrama perempuan. Tak perlu waktu lama, dengan langkah tergesa-gesa Robbie -yang memaksa trio itu untuk berlari, dan kami sudah sampai di depan kamar asramaku. Eri mengeluarkan kuncinya lalu memasukkannya ke dalam lubang kunci. Dan di saat ia membuka pintu tersebut, kami semua terkejut dan ketiga trio itu memekik dengan sangat keras.
Kamar ini seperti kapal pecah, sangat berantakan! Sobekan pakaian-pakaian bertebaran di segala tempat, sobekan buku-buku memenuhi meja, boneka-boneka yang tadinya cantik dan besar itu juga hancur tidak bersisa, bahkan kapas-kapasnya bertebaran di segala sudut. Setelah menyaksikan seluruh tempat ini, Mirna kembali memekik dengan keras.
"Barang-barangku! Gaunku, bukuku, bonekaku, kenapa semuanya jadi begini?!!" teriaknya dengan keras yang bahkan sudah terisak memeluk bekas-bekas barangnya itu.
Melihat reaksi Mirna, dengan panik Eri dan Ressa membuka lemari pakaiannya dan terkejut juga melihatnya. Dalamnya masih rapi, tidak tersentuh sama sekali, begitu juga lemari-lemari buku mereka, semuanya masih rapi dan bersih.
"Punya kami masih utuh, tidak tersentuh sama sekali."
"Kenapa hanya milik Mirna yang dihancurkan?" kali ini tanya Eri melanjutkan ucapan Ressa. Kami semua menatap Mirna dengan prihatin, tidak bisa melakukan apa-apa. Ia terus terisak, sampai mendadak ia berhenti menangis, bangkit berdiri dan melangkah ke depanku.
PLLAAAKKKK!!!!
Tidak hanya diriku, aku sempat melirik semua orang dan mereka membelalak matanya lebar, terkejut juga bingung, terkecuali Mirna. Aku menyentuh pipiku yang baru saja tertampar tadi dan menatapnya dengan penuh rasa aneh. "Kenapa kau menamparku?"
"Jangan pura-pura bego!" teriaknya dengan nada yang tinggi. "Lihat pakaian ini!" lanjutnya lagi seraya melempar salah satu sobekan pakaiannya ke arahku. Aku menurut dan mengamatinya. Ada bekas darah. "Lihatlah, lihat semuanya yang ada di ruangan ini. Semuanya ada bekas darah, darah yang sama dengan bajumu! Jadi tak perlu diragukan kalau pelakunya adalah kamu!"
"Tidak, bukan aku!" Aku berusaha membela diriku yang sama sekali tidak tahu masalah ini. "Ini pasti sebuah kesalahpahaman, bukan aku pelakunya! Lagipula darah yang ada di bajuku ini adalah ta—"
"Hei, gak perlu bohong lagi. Buktinya sudah ada di depan mata kami semua! Masih mau mengelak lagi?" timpal Eri sok campur. Aku menatapnya dengan kesal.
"Sudahlah, mengaku saja kamu!" tambah Ressa seraya melangkah mendekatiku, berdiri di dekat Mirna dan Eri.
"Benar, bukan aku pelakunya! Aku tidak tahu apa-apa!"
Mirna menatapku dengan jengkel. "Gak perlu pura-pura lagi! Tidak ada lagi pelaku lain selain ka—"
Ucapannya yang penuh amarah itu langsung terhenti ketika ia menjambak poniku dengan paksa dan menariknya ke atas. Tatapan yang menusuk itu langsung tergantikan menjadi tatapan yang ngeri disertai dengan pekikan, oleh ketiga-tiganya.
"Matanya, matanya, matanya merah!"
"Dia monster, monster!!"
Seusai mereka merasa jijik kepadaku dengan meneriakiku, mereka bertiga lantas melarikan diri dari kamar ini, meninggalkanku sendirian dan Robbie. Robbie tidak melakukan apa-apa. Ia hanya berdiri mematung di tempatnya, dan aku menangis lagi, meneteskan air mata, dan juga darah.
**********************************************************************************************
ok, new update is coming! and another 2 chapter are waiting ahead!
take your time and enjoy the story (/>u<\) I am waiting for the comment and vote <3
(image from google)
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire (Complete)
Mystery / Thriller(Belum Revisi) Apakah kamu memiliki keinginan? Aku, kamu, semua orang tanpa terkecuali pasti memilikinya. Dan untuk mencapainya, tergantung lagi kepada niat dan kekuatan masing-masing. Sayangnya, aku tidak. Aku memiliki keinginan, tapi aku tidak m...