Kami bertiga makan malam bersama dalam keadaan yang sangat sunyi. Tidak ada satu pun dari kami yang berniat untuk membuka suatu topik pembicaraan, bahkan sepertinya tidak saling tatap mata. Setidaknya begitu menurutku, karena aku sendiri hanya menunduk melihat lauk-pauk dan nasiku saja.
Sepertinya tidak hanya aku yang berpikir demikian, sebab tak lama setelah itu, aku mendengar suara Sinnya. "Hei, hei, hei, setelah lama tidak bertemu, apa kalian berdua tidak ada hal yang bisa ditanyakan?"
Aku menyadari Robbie tersentak begitu mendengar suara Sinnya. Sepertinya ia sempat melamun sedaritadi. "Hmm ... a, apa kabar?" tanya Robbie padaku, dengan suara yang sangat kikuk, asing.
"Aku ... baik-baik saja," jawabku pelan lalu menatapnya dengan lekat, menunggu kemungkinan adanya pertanyaan lain. Tapi sepertinya tidak. Robbie menggaruk-garuk kepalanya. Aku tahu, itu adalah kebiasaan buruknya ketika ia kebingungan. Aku terlalu mengenalnya.
Sinnya yang lagi-lagi sepertinya membaca pikiranku pun dengan mendadaknya dan cepat menjitak kepala Robbie, membuatnya merintih keras. "Hanya itu pertanyaanmu? Teman apa-apaan sih kamu?!"
"Mau bagaimana lagi? Aku tidak tahu harus berkata apa!"
Dalam seketika itu, nafsu makanku langsung sirna. Aku tidak ingin lanjut makan lagi meskipun aku baru makan seperempat. Aku membereskan peralatan makanku, "Aku sudah selesai," gumamku pelan seraya membawa peralatanku beranjak pergi ke dapur. Aku tidak mau mengganggu keakraban mereka. Mereka adalah orang asing. Aku tidak mengenal mereka. Aku tidak mengenali Robbie yang sekarang.
Setelah itu aku lanjut melangkah hingga aku mencapai teras halaman dan duduk di sana meratapi langit. Malam ini tiada bintang, hanya langit gelap. Aku tersenyum kecil. Langit yang sangat cocok dengan suasana hatiku. Aku yang baru saja hendak merengkuh, aku dikagetkan oleh tepukan ringan di pundakku. Aku menoleh dengan cepat. Robbie.
"Hmm ... boleh aku duduk di sini?" tanyanya sambil menunjuk tempat kosong yang ada di sampingku.
Dengan refleks aku langsung menggeser membesarkan tempat kosong tersebut, mempersilakannya untuk duduk. Setelah itu ia pun duduk dengan kaku di sebelahku. Aku mengamatinya sekilas. Ia masih memiliki gaya rambut yang sama, wajahnya juga masih sangat garang dan keren. Ia tidak lagi mengenakan jas, melainkan hanya kaos tidak berlengan dan celana boxer panjang. Dia seperti Robbie yang dulu, setidaknya penampilannya. Aku merasa sedikit lebih nyaman sekarang.
"Maafkan aku untuk yang tadi," ucapnya mulai membuka pembicaraan. "Aku terlalu kaku karena lama tidak bertemu denganmu, tidak tahu harus berkata apa."
Aku menggeleng pelan, tapi masih tidak menatapnya secara langsung. "Tidak apa-apa," ucapku.
"Jadi, apa ada yang ingin kamu tanyakan padaku?"
Aku diam. Kali ini aku menoleh menatapnya, dengan serius. "Kurasa tanpa perlu kuberitahu pun, kamu tahu apa yang ingin aku ketahui."
Ia tersenyum lebar padaku. Senyuman yang masih sama dengan yang dulu, senyum pemikat. Ia membenarkan posisi duduknya. "Seperti yang kamu ketahui, aku dan Sinnya adalah pasangan suami istri." Ia menunjukkan cincin emas yang melingkar di jari manisnya padaku. Seingatku, aku juga melihat cincin yang sama di jari manis Sinnya. Seharusnya aku sudah menyadarinya sejak awal.
Ia menarik napas seiring menurunkan tangannya kembali. "Pertama kali aku mengenalinya sejak aku pertama kali masuk sekolah waktu aku hilang ingatan. Ia murid pindahan dari Jepang," jelasnya padaku. Ia sudah memberikan jawaban padaku kenapa Sinnya memiliki wajah orang Asia. "Ia darah campuran. Selama ini ia tinggal di Jepang, tapi ia selalu menggunakan bahasa Indonesia, jadi bahasanya lancar.
"Seperti yang lain, ia juga salah satu dari fansku. Ia kelas 3 waktu itu, berarti tua darimu setahun dan muda dariku setahun. Dari semua fansku, ia satu-satunya yang punya keberanian untuk mendekatiku tanpa dengan sifat yang dibuat-buat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire (Complete)
Mystery / Thriller(Belum Revisi) Apakah kamu memiliki keinginan? Aku, kamu, semua orang tanpa terkecuali pasti memilikinya. Dan untuk mencapainya, tergantung lagi kepada niat dan kekuatan masing-masing. Sayangnya, aku tidak. Aku memiliki keinginan, tapi aku tidak m...