Chapter 8 Part 1

890 71 0
                                    

"Amel!!"

Dengan cepat kubuka mataku lebar. Napasku tersengal-sengal. Jantungku berdetak sangat cepat. Tanpa sadar aku langsung menggerakkan mataku dengan cepat memutari kelopak mataku. Aku mengamati tempat ini. Tempat ini, bukan taman bunga itu, bukan ruang hampa itu, bukan juga neraka akar itu. Ini bangsal rumah sakit.

"Amel ..."

Perlahan kugerakkan kepalaku, menoleh ke arah kananku dan kudapati Dokter Goh yang sedang berdiri dengan wajah yang sangat panik. Air mataku mengalir dengan sendirinya. "Dokter Goh ..."

Dalam sekejap, aku sudah mendekapi tubuh Dokter Goh dengan erat dan membanjirinya dengan air mataku yang seperti air terjun ini. Aku takut. Aku sangat takut. Aku takut mati. Aku takut akan mati seperti yang diriku satu lagi ucapkan. Aku sangat takut. Takut tidak bisa bertemu lagi dengan Dokter Goh.

Setelah usahanya menenangkanku, alhasil dalam beberapa saat kemudian, hujan air mata yang begitu pilu ini akhirnya berhenti juga, hanya sisa isakan-isakan yang kecil. Dokter Goh hanya menghela napas setelah mendengar penjelasanku tentang apa yang kualami dengan diriku yang satu lagi. Helaan napas yang sangat panjang.

"Kamu tidak mendengar suaraku?" tanya Dokter Goh kemudian.

"Suara Dokter?" tanyaku dan ia mengangguk. "Tidak. Kenapa?"

Ia mengangkat sebelah alisnya. "Aneh. Dalam psikoterapi, kalau saja pasien tidak mendengar lagi suaraku, seharusnya ia sudah bangun. Suaraku yang memimpin alam bawah sadarmu. Tanpa suaraku yang berkuasa, sudah seharusnya kamu bangun. Apa benar tidak mendengarnya?"

Aku menggeleng. "Tidak. Aku tidak mendengarnya sama sekali. Setelah memasuki ke alam bawah sadarku, aku sudah tidak lagi mendengar suara Dokter."

Setelah mendengar jawabanku, ia memainkan dagunya sejenak. "Kenapa hal seperti itu bisa terjadi? Apa karena dirimu yang satu lagi terlalu kuat?"

Aku mengerutkan keningku. "Apa maksudnya?"

Dokter Goh memperbaiki posisi duduknya. "Bisa jadi kesadaran dirimu yang satu lagi terlalu kuat, sehingga aku tidak mampu masuk ke dalamnya dan kamu tidak bisa lagi mendengar suaraku. Ia ibarat pemilik alam bawah sadarmu, bisa merubah alam bawah sadarmu sebebas yang ia mau. Saking kuatnya, aku tidak bisa mengontrol kekuatan spiritualku untuk menghadapinya."

Aku menatapnya dengan bingung. Kenapa ia bisa tahu? Ia yang sepertinya menyadari kebingunganku pun berdeham. "Dan ... begini. Sejujurnya, sewaktu kamu masuk ke dalam alam bawah sadarmu itu, aku bisa mendengar percakapan kamu dan dirimu yang satu lagi. Kamu sendiri memainkan dua skenario sekaligus. Ekspresimu terus berubah-ubah setiap satu kalimat selesai kamu ucapkan. Tanpa mendengar penjelasanmu, aku tahu apa yang terjadi antara kalian berdua. Kau bahkan menjelaskan bagaimana tempat itu bisa berubah dan bagaimana sakit yang kamu rasakan."

Aku diam. Kaget. Maksud Dokter Goh aku sendiri mengucapkan kata-kataku dan kata-kata diriku yang satu lagi sekaligus? Aku memainkan dua peran? Jadi selama ini di cermin ... aku sendiri yang berekspresi sebagai diriku yang satu lagi?

"Jadi ... kamu yang membunuh teman sekamarmu?"

DEG.

Aku menatap wajah Dokter Goh. Ia terlihat sangat gelisah. Aku memang bercerita kepadanya tentang diriku yang satu lagi bagaimana ia melindungiku dari orang-orang yang lain. Tapi aku tidak pernah bercerita kepadanya kalau diriku yang satu lagilah yang membunuh Mirna. Aku menelan ludahku dengan kuat.

"Iya ... itu benar. Tapi bukan aku yang membunuhnya, Dok! Kamu harus percaya padaku! Bukan aku, diriku yang satu lagi yang membunuhnya! Bukan aku! Percaya padaku, Dok!"

"Iya, iya, aku percaya padamu, Mel. Jadi tenangkan dirimu!" serunya sambil mencengkram kedua pundakku kuat, menenangkanku.

Aku ragu dengan ucapannya. "Tapi ... tapi ...."

"Aku percaya karena aku psikiater. Dan aku akan lebih percaya setelah kamu menjelaskan apa sebenarnya hubunganmu dengan dirimu yang satu lagi itu."

Aku diam. Ia menawarkan sebuah jalan agar bisa percaya padaku. Mau tidak mau, aku harus bercerita kepadanya, semuanya dengan terus terang, tanpa ada rahasia-rahasia lagi. Ia mendengar dengan seksama bagaimana cerita diriku yang satu lagi bisa berbuat semua tindakan yang nekad itu. Ia terlihat sangat serius mendengar ceritaku. Sepertinya ia sedang berusaha mengumpulkan data tentang diriku, pasiennya. Ia tidak akan mungkin mengkhawatirkanku melebihi batas dokter kepada pasiennya. Diam-diam aku menghela napas.

Sekitar 15 menit kemudian, setelah aku menyelesaikan ceritaku dan saling diam untuk beberapa saat, Dokter Goh kembali bersuara lagi, "Jadi begitu ceritanya."

Aku menunduk dengan lesuh. "Karena itulah aku mencarimu, Dokter. Aku sangat ingin diriku yang satu lagi menghilang dari tubuhku. Aku ingin hidup tenang tanpa ada masalah yang aneh-aneh lagi. Hanya itu keinginanku, tidak lebih."

Seiring duduk mendekatiku, Dokter Goh melipatkan kedua tangannya di samping kasurku. "Tapi, kurasa bantuanku tidak akan berpengaruh banyak. Seperti yang ia katakan, selama kamu masih benci dan cemburu kepada semuanya, sosok itu tidak hilang begitu mudahnya," ujarnya membetulkan ucapanku. "Tapi kalau boleh tahu, apa yang kamu cemburukan sampai kamu bisa melahirkan kepribadian dirimu yang satu lagi?"

"Dulu, kehidupanku sangat serba kekurangan. Ayah dan Ibu kerjanya hanya bertengkar dan tidak pernah peduli padaku. Setiap melihat keluarga yang utuh, aku selalu cemburu. Aku cemburu dengan mereka yang bahagia, yang bisa makan enak, bisa pakai bagus. Aku menginginkan semua itu. Setelah sekarang bisa memiliki semua itu, aku kembali cemburu dengan mereka-mereka yang kaya. Dengan materi yang mereka miliki, mereka bisa dengan mudahnya berkuasa di atas semua orang. Mereka bisa seenaknya memperalat orang, tidak pernah peduli dengan perasaan orang-orang yang mereka permainkan itu. Aku cemburu dengan semuanya."

Aku mengingatnya. Kalimat-kalimat itu adalah kalimat yang diucapkan oleh diriku yang satu lagi. Aku tersenyum. Dia benar-benar diriku, seutuhnya. Ia adalah diriku yang selalu kusembunyikan dalam-dalam, sosok yang muncul dari perasaan yang terlupakan, terpendam itu. Aku mengakuinya, ia adalah diriku.

Aku mencintai aku.

Aku diam. Dokter Goh juga diam, tidak berkata apa-apa. Sekitar 2 menit kemudian, aku menarik lengan bajunya yang panjang itu. "Dokter ..."

"Hm?" gumamnya. "Ada apa?"

Aku menelan ludah lagi. "U, untuk berikutnya, Dokter jangan pernah lagi datang menemuiku. Tidak pula menghubungiku, atau memberi pesan kepadaku. Aku ingin Dokter menjauh dariku."

Seperti yang kuduga, ia membuat ekspresi yang kebingungan. "Kenapa?"

Aku menggelengkan kepalaku berulang kali. "Aku ingin menenangkan diriku untuk sementara waktu. Aku tidak ingin emosiku menjadi tidak stabil begitu melihatmu, Dokter."

"Tapi—"

"Jika Dokter tidak keberatan, aku ingin Dokter mengawasiku. Itu kalau Dokter tidak keberatan. Kapan pun, dimana pun, aku ingin Dokter mengawasiku. Berapa lama pun yang kamu bisa, dan jangan sampai aku melihatmu. Atau kata lainnya, menguntitku," ucapku seraya menyeringai kecil.

Masih dengan wajah yang kebingungan, Dokter Goh berusaha untuk bersuara, "Tapi aku—"

"Kalau saja. Kalau saja terjadi sesuatu denganku, sesuatu yang tidak bisa kucegah, aku mohon. Aku mohon, tangkap aku, dan sekap aku di Rumah Sakit Jiwa."

Dokter Goh masih terlihat sangat kebingungan, ragu. "Kamu ... yakin?"

Aku mengangguk. "Dengan begitu, aku bisa lebih tenang."

Aku menatapnya, ia juga balas menatapku, dengan wajah yang sangat bersalah. Mau tidak mau, ia mengangguk. "Iya, deh, terserah," ungkapnya pelan dan kemudian aku langsung memeluknya erat seraya tersenyum. Meski kaku, tak lama Dokter Goh juga balas memelukku. Erat.

Dengan begitu, setidaknya aku bisa melindungi Dokter Goh dari diriku. Melindungi orang yang kucintai ini.

****************************************************************************************

Desire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang