Chapter 1 Part 4

2.5K 197 10
                                    

Aku jadi buta sebelah.

Mata kiriku teriris oleh serpihan botol kaca alkohol Mama. Irisan tersebut sangat dalam, jadi mata kiriku sama sekali tidak memiliki kemungkinan untuk sembuh lagi. Itu kata dokter yang kukunjungi sendiri, tanpa didampingi Papa atau Mama, melainkan pak satpam yang kebetulan melihat mataku di bawah tutupan topi. Karena hal itu, Papa dan Mama dipanggil secara khusus oleh Kepala RT karena keteledoran mereka.

Setelah itu, pertengkaran mereka semakin mengganas. Masing-masing dari mereka menyalahkan satu sama lain karena tidak mengawasiku dengan baik. Mereka yang biasanya hanya beradu sekitar 2-3 jam, kali ini sudah dua kali lipatnya dari waktu yang biasanya. Tidak hanya itu, kali ini mereka sudah mulai main tangan, bahkan melempar barang-barang di dekat mereka.

Sejak saat itu, aku sudah sangat jarang keluar rumah. Terutama karena keadaan mataku yang seperti ini, aku benar-benar malas untuk keluar. Ruang yang bisa kulihat dengan kedua mata dulu kini menjadi terbatas karena hanya tinggal satu. Aku sangat sering menabrak benda-benda yang ada di sebelah kiriku. Aku belum terbiasa dengan perubahan yang mendadak ini. Terlalu susah. Jadi akhir-akhir ini yang bisa kulakukan hanya tidur,tidur dan tidur.

Hari ini adalah hari ke-dua puluh setelah mataku tinggal satu. Waktu aku bangun tidur, jam sudah menunjukkan jam 5 sore. Biasanya pada jam segini, aku bisa mendengar suara tangisan Mama yang menyedihkan di balik dapur, menangisi nasibnya yang malang bertemu dengan lelaki seperti Papa. Namun hari ini, tidak ada lagi yang namanya nangis. Seperti yang diduga, mereka masih sedang bertengkar.

Aku benar-benar merasa muak dengan mereka. Tidakkah mereka merasa lelah dengan tengkaran mereka? Kalau memang saling membenci sampai segitunya, tidakkah lebih baik mereka segera berpisah, secepat mungkin? Kalau aku punya pilihan, sudah sejak dulu-dulu aku ingin keluar dari sini dan tidak pernah lagi bertemu dengan mereka.

Dari kasur yang tipis, aku merangkak menuju cermin duduk berukuran 30x30 cm yang terletak di samping kasur. AKu melihat pantulan diriku di cermin. Wajah yang kusam, rambut berantakan, kulit dan bibir yang kering, tubuh yang kurus kering -sudah lupa kapan terakhir makan hingga kenyang- dan juga mata kiri yang diplester. Aku terlihat sangat menyedihkan.

Dengan perlahan dan bergetar, aku mendekatkan tanganku ke mata-kiriku, membuka plester putih itu untuk pertama kalinya. Aku membuka kedua mataku pelan setelah siap dan langsung terpaku.

Mata kiriku terlihat sangat berbeda. Tidak ada warna putih dan hitam seperti umumnya, yang ada hanya merah. Warna merah padam yang memenuhi seluruh ruangan. Tidak hanya itu. Untuk menambah kengeriannya, di daerah pelipis dan pipi atas kiriku -yang tidak sempat kusadari sebelumnya- ada banyak goresan-goresan luka yang sudah kering dan membekas, membentuk garis-garis yang jelek. Aku buruk rupa. Aku menakutkan. Aku ketakutan melihat mataku, aku takut...

PRRAANNGGGG!!

Suara barang pecah tersebut mengagetkanku. Aku tersentak sekilas lalu menempelkan plester itu kembali ke mataku. Mereka berulah lagi. Kurang puas dengan barang-barang plastik, mereka kini mengincar barang pecah-belah.

Aku menggigit bibirku. Sampai kapan semua ini berakhir? Aku ingin semua ini berakhir. Harus ada yang menghentikan mereka.

Aku harus menghentikan mereka.

Aku menatap kembali diriku di cermin. Sebuah cengiran menghiasi wajahku. Cengiran yang mengerikan.

************************************************************************

Pasti sakit banget T^T

Jangan cengir-cengiran sendiri di depan cermin, kau masih waras, kan?

Semoga kau tidak berbuat aneh-aneh di part berikutnya (Ops, apa aku spoil? haha)

Hmm, masih belum ada respon apa-apa, aku kurang begitu semangat -_-

Berjuanglah, Sang Pemeran Utama, ceritamu pasti akan dibaca dan dimengerti oleh seseorang di luar sana dengan komen dan voting (suatu saat nanti) T^T

Desire (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang