Begitu kabar tentang kesadaran diriku tersebar, banyak orang datang mengunjungiku. Namun selain Robbie dan Bu Nirya, aku tidak mengenali lagi sosok-sosok orang yang mengunjungiku. Mereka bukan teman panti, teman sekolah, ataupun teman kerjaku. Orang-orang yang kukenal sama sekali tidak datang membesukku. Mereka yang mengunjungiku, aku sama sekali tidak mengenalinya dan aku takut pernah berhubungan dengan mereka. Mereka adalah kumpulan wartawan dan polisi yang datang menginterogasiku, sebagai korban dan juga saksi satu-satunya.
Sebagai anak dari pemilik perusahaan ternama, berita kematian Mirna dengan cepatnya tersebar luas ke seantero sekolah dan juga media sosial. Berita ini sempat viral sejenak. Namun entah oleh siapa dan bagaimana, tiba-tiba berita ini tertutup dengan rapat. Mungkin untuk melindungi nama baik sekolah dan perusahaan? Aku tidak tahu. Tapi aku yakin ada yang berusaha menutupi kasus ini karena sampai saat ini wartawan masih ramai ingin mewawancarai diriku tentang peristiwa ini, berusaha menggali lebih banyak informasi dari diriku. Untungnya belum ada yang sempat memaksaku terliput karena Robbie dengan ganas mengusir semuanya yang datang. Aku sempat merasa tenang tapi tidak lagi untuk yang berikutnya, dimana kali ini polisilah yang datang.
Ketika mereka datang, Robbie dan Bu Nirya yang tadinya berada di dalam ruanganku -meski Robbie sempat melawan juga- diusir oleh mereka. 5 orang polisi yang datang itu sekarang tinggal 3 di dalam ruangan ini, 2-nya di luar menjaga pintu agar tidak mengganggu proses yang sedang berlangsung di dalam sini.
3 orang polisi itu terdiri dari 2 pria dan 1 wanita. 1 pria berjalan mondar-mandir ke sana-sini, 1 pria lainnya menarik kursi untuk duduk di sampingku, dan wanita itu duduk di hadapanku, meletakkan laptopnya di meja dan membukanya.
Mereka akan mulai.
Polisi yang duduk di sampingku menatapku dengan serius. "Siapa namamu?"
"Meltya," jawabku singkat dan langsung terdengar suara ketikan di laptop. Sepertinya wanita itu akan mengetik setiap kata yang aku ucapkan ke dalam laptopnya.
"Berapa usiamu? Siapa orang tuamu? Di mana tempat tinggalmu? Sebutkan tempat dan tanggal lahirmu."
Aku menghela napas kemudian menjawab setiap pertanyaannya. Selanjutnya ia terus bertanya tentang latar belakang diriku. Mau itu rahasia atau tidak, aku harus tetap menjawabnya. Tapi ketika ia mulai bertanya tentang kesehatanku, aku berbohong. Aku tidak ingin mereka tahu tentang keadaanku. Setidaknya untuk sekarang.
Setelah itu aku terus lanjut berbohong dan berbohong, menutupi kebohongan ini dengan kebohongan lain, sampai tiba di pertanyaan serius.
"Apa hubunganmu dengan Mirna?"
Aku berhenti sejenak untuk berpikir jawaban apa yang tepat untuk mengungkapkan hubunganku dengannya, dan jawaban yang kupilih, "Teman."
"Apa hubungan pertemanan kalian baik?"
Aku menatapnya. Ternyata mereka mencurigaiku sebagai pelaku. "... Tidak," jawabku jujur.
"Kalau begitu, sebelum kejadian itu terjadi, dimana kamu dan sedang melakukan apa?"
Aku tidak tahu. Terakhir yang kuingat adalah di restoran fast food dan begitu tersadar aku sudah berada di sini dalam keadaan terluka. Ingin sekali aku menjawab sesuai kenyataan itu apa adanya, karena aku memang tidak tahu apa yang telah terjadi. Namun aku tidak bisa karena mereka tidak akan mungkin mempercayainya. "Aku seharian bekerja di restoran fast food, sorenya pulang ke asrama, kamarku, lalu tidak ke mana-mana lagi."
"Apa kau tahu, jam berapa pencuri itu datang?"
"... Mungkin sekitar jam sepuluhan lebih, malam. Aku sedang mandi waktu itu," jawabku asal-asalan, menggabungkan penjelasan yang kudengar dari Robbie tentang diriku semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire (Complete)
Mystery / Thriller(Belum Revisi) Apakah kamu memiliki keinginan? Aku, kamu, semua orang tanpa terkecuali pasti memilikinya. Dan untuk mencapainya, tergantung lagi kepada niat dan kekuatan masing-masing. Sayangnya, aku tidak. Aku memiliki keinginan, tapi aku tidak m...