Aku membuka mataku lagi. Kali ini, langit-langit yang kulihat berbeda lagi. Aku tidak lagi berada di kurungan bantal itu. Setelah kuteliti tanpa menggerakkan kepalaku, aku sudah menyadarinya kalau aku berada di bangsal rumah sakit ... jiwa.
"Kamu sudah sadar?"
Mendengar suara itu, suara yang begitu kurindukan, meski masih merasa lemah dan tidak bertenaga, aku langsung dengan cepat menghadap ke arahnya. Aku mendadak semangat kembali. "Dokter G—"
Baru saja aku ingin memanggilnya, suaraku langsung menghilang, diganti keterkejutanku. Ketika aku hendak memanggilnya, aku juga ingin menggerakkan tanganku untuk menggapainya. Namun suaraku menghilang saat menyadari sesuatu. Kedua tanganku diikat. Lengan baju yang kukenakan ini sangat panjang, diikatlah mereka hingga mengelilingi tubuhku. Kedua tanganku yang masih berada di dalamnya ikut terikat, tidak bisa bergerak. Dokter Goh menyadarinya begitu aku melihat kedua lenganku. Ia menyentuh kepalaku dan mengelusnya sekali.
"Tenang. Ini hanya jaga-jaga dari rumah sakit ini," ucapnya pelan menenangkanku.
"Apa yang terjadi padaku?" tanyaku, benar-benar sangat penasaran. Aku merasa diriku yang satu lagi sepertinya menguasai tubuhku untuk jangka yang lama kali ini. "Kenapa ... aku bisa berada di sini?" lanjutku bertanya.
Kedua mata Dokter Goh menatapku dengan ragu. "Kamu ... benar-benar tidak tahu?"
Aku menggeleng. "Apa yang telah kulakukan?" Aku menatap kedua matanya lekat. Melihat ekspresi yang tersirat dari wajahnya, aku tahu diriku yang satu lagi sudah melakukan sesuatu yang mengerikan.
"Kamu ... membunuh kedua temanmu. Kamu membakar mereka," jawabnya dengan nada yang sangat sedih ... campur marah? Aku tidak tahu. "Ketika kami tiba, kedua mayat itu sudah hangus total dan tidak dikenali lagi rupanya. Sekiranya, apa kamu mengenali mereka? Sebab, mendengar kata-kata dirimu yang satu lagi, kamu yang menginginkan kematian mereka."
Aku menoleh ke arah jendela luar memandang langit yang terpampang dari jendela. Aku tidak berani menatap Dokter Goh. Orang yang kuinginkan kematiannya. Tanpa perlu berpikir lagi, aku sudah sangat tahu jawabannya. "Mereka berdua ... mungkin Ressa dan Eri."
Tanpa menatap langsung, aku tahu Dokter Goh sedang menatapku dengan tajam. "Kamu benci dengan mereka?" tanyanya kemudian. "Kamu menginginkan kematian mereka?"
Hatiku sakit, perih. Aku serasa diinterogasi. Ini terasa lebih susah dibanding interogasi asli oleh polisi-polisi itu, karena ... itu memang kenyataan. Aku memang menginginkan kematian mereka.
"Ya, itu benar," gumamku jujur padanya. "Aku benci mereka dan selalu berharap mereka tiada, atau kami tidak saling mengenal, atau mereka pindah sekolah, dan lain-lainnya. Yang penting, aku tidak ingin bertemu lagi dengan mereka. Itulah yang terbaik bagiku."
"Yang terbaik?" Aku mendengar suara langkah kakinya yang mendekatiku. "Jadi menurutmu, membunuh adalah yang terbaik?"
"Tidak!" pekikku cepat seraya menoleh menatapnya, menatap dia yang terlihat sangat gusar. "Aku memang menginginkan kematian mereka, kehilangan mereka, tapi bukan berarti aku ingin membunuh mereka! Aku tidak pernah berpikir untuk membunuh mereka!"
"Apa itu benar?" tanyanya, meragukan jawabanku. "Menurutku sebagai psikiatermu, dirimu yang satu lagi adalah sisi gelapmu. Ia adalah sosok yang kamu sembunyikan, sosok yang menyimpan seluruh rasa sakitmu, bencimu, cemburumu. Ia sosok yang terus terang akan perasaanmu, watak aslimu."
"Jadi maksud Dokter, aku palsu? Aku berbohong?" gumamku dengan suara yang serak. Pelupuk mataku sudah penuh dengan air mata. Hatiku terasa sangat sakit, perih, tertusuk.
"Bukan, bukan begitu. Maksudku, kamu dan dia adalah orang yang sama, berperasaan sama, merasakan hal yang sama, memendam rasa yang sama. Namun bedanya, kamu hanya bisa menahan semua rasa sakitmu dalam hati, sedang dia tidak bisa dan hanya mampu melampiaskan semua rasa sakitnya dengan kekerasan, membunuh, dan lain-lain. Kalian memiliki cara yang berbeda menghadapi masalah yang sama. Singkatnya, kalian sama tapi kalian juga berbeda. Kamu tidak bohong, aku percaya padamu. Aku juga percaya pada dirimu yang satu lagi. Karena bagaimana pun, kalian adalah Amel, Amel yang sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire (Complete)
Mystery / Thriller(Belum Revisi) Apakah kamu memiliki keinginan? Aku, kamu, semua orang tanpa terkecuali pasti memilikinya. Dan untuk mencapainya, tergantung lagi kepada niat dan kekuatan masing-masing. Sayangnya, aku tidak. Aku memiliki keinginan, tapi aku tidak m...