Bab 1

18.4K 601 27
                                    

Rahasia Kotor Abdi Negara.

Bagian 1.
Kejadian tidak terduga.
(JODOH BEDA USIA)


Langit malam berubah makin pekat. Gulungan ombak menyapu tebing karang.  Suasana malam selalu sunyi, senyap, menyisakan gerutu serangga malam mencari makan. Entah apa sebabnya, malam itu suasana sangatlah berbeda. Pesta perpisahan lepas sambut jabatan di sebuah Kawasan pesisir telah usai digelar. Para abdi negara tengah sibuk memperbaiki dan membenahi sisa-sisa keriuhan. Namun, pada sisi yang berlawanan empat pria dari institusi berbeda berbaju loreng terlihat adu mulut lalu berlanjut adu otot. Diantara riuhnya perseteruan, seorang pria terlihat menikmati pertunjukkan yang disaksikannya. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman saat tangan kanannya mengambil pistol, lalu menarik pelatuk tepat di kepala korban.

Korban masih terduduk pasrah. Kedua tangannya terangkat keatas. Bahkan saat peluru kedua ditembakkan ia masih berada dalam posisi semula hingga ambruk lalu tak lagi bernyawa.

"Buang mayatnya di laut. Malam ini juga. Tangani anaknya, kalau perlu singkirkan juga. Jangan sampai atasan tahu soal ini. Jika ketahuan karir kita pasti tamat."

"Siap komandan."

Hanya butuh lima belas menit bagi para abdi negara berjumlah tiga orang mengangkat tubuh korban lalu membuangnya di lautan lepas. Ketiga abdi negara itu membersihkan sisa-sisa kejahatan mereka dan menyingkirkan semua alat bukti tanpa kecuali. Pergerakan mereka kemudian berlanjut menuju rumah dinas di sudut lingkungan. Berjarak empat ratus meter dari lokasi pembunuhan.

"Kabarnya kapten Ricky yang akan menggantikan atasan kita Letkol Sultan saat lepas sambut bulan depan."

"Pantas kau mengajakku. Tapi, kau yakin kita tidak akan ketahuan, kan?"cecar salah satu bintara muda.

"Tenang. Ucapan kapten Ricky bisa kita pegang, rahasia aman. Seharusnya beberapa tahun lalu dia yang menjabat, namun karir juniornya, Mayor Sultan meroket cepat. Jadi, baru tahun ini dia yang direkomendasikan."

"Anaknya juga harus kita habisi?"seru barada muda satunya.

"Jujur aku tidak tega kalau anak-anak. Bagaimana kalau kita laporkan saja kalau anak itu hilang?"

"Tidak. Perintah atasan adalah kewajiban. Nyawa anak itu harus kita hilangkan agar tidak menimbulkan kecurigaan."

"Tapi, dia masih anak-anak. Bagaimana kita bisa melakukan hal sekeji itu?"

"Entahlah. Namun perintah atasan harus dijalankan."

Namun hingga setengah jam mencari dan menggeledah isi rumah berdinding ijo tersebut, tak ada seorangpun yang dapat ditemukan.

"Kemana anak kecil itu?" gumam pria paruh baya kepada dua bintara muda.

"Saya tidak tahu, jujur rupanya belum pernah saya lihat hingga saat ini," Jawab si bintara muda

"Tubuhnya kecil, masih kelas dua SMP. Aku sering melihatnya pulang sekolah sampai minggu lalu," Sesaat setelah menggumamkan ingatannya, tiba-tiba dia teringat sebuah kemungkinan lain. Pria paruh baya itu bergegas mengajak dua bintara yang ada menuju rumah yang dia curigai menjadi tempat si anak bersembunyi. Namun saat mendatangi rumah si tukang masak, mencari dan menggeledah ke seluruh penjuru ruangan anak itu juga tidak di sana.

"Bik, kemana anaknya Hendra?"

"Loh? Bukannya tadi udah pulang?"jawab Uti dengan senyumnya yang menggoda.

"Benar tidak tahu?"

Uti lalu mengangguk dan tetap memasang senyum merekah pada dua bintara muda lainnya. Tubuhnya yang semok sering menjadi incaran para pria muda di lingkungan rumah. Uti terkenal ramah pada siapa saja. Hal itu dilakukannya demi melancarakan jasanya dalam menyiapkan makanan bagi para prajurit TNI maupun di lingkungan asrama polisi yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah dinas para anggota TNI.

"Benar. Untuk apa sayaaahh bouhong sama pak komandan guaanteng,"jawab Uti mendayu-dayu pada sip ria paruh baya.

Namun hingga pukul satu malam, anak yang dicari masih tidak ditemukan. Akhirnya mereka sepakat melapor pada atasannya jika anak tersebut telah ikut dibawa keluarganya beberapa saat sebelum mereka melakukan eksekusi.


"Disa, ingat ya. Kamu sembunyi di sini. Jangan kemana-mana,"ujar Uti memperingatkan setelah kawanan tantara itu pergi dari rumahnya. Beberapa jam sebelum terjadi percekcokan, Hendra telah memberitahu Uti untuk menyembunyikan Disa dan membawa Disa pergi dari tempat itu. Uti yang sebenarnya menaruh hati pada duda tampan baik hati itu tak bisa menolak. Namun instingnya berkata, jika nyawa pujaan hatinya mungkin saja sudah melayang. Uti tidak bisa melakukan apapun. Dia hanyalah orang biasa, tak punya kuasa. Bisa saja besok malam nyawanya yang melayang. Namun, dia bisa membaca gelagat aneh para prajurit serta para bintara yang menanyainya tadi jika Disa akan menerima hal yang sama. Uti tidak bisa membiarkan itu terjadi. Hingga minggu keempat Uti menyembunyikan Disa di rumah petak miliknya, ide untuk membawa Disa keluar dari lingkungan itu akhirnya datang.

"Disa, Uti tidak bisa menemani kamu, tapi, kamu harus meninggalkan tempat ini. Oke? Kamu simpan nomor telpon Uti kalau nanti terjadi sesuatu. Sore ini kamu ikut di mobil atasan Uti."

"Iya Uti. Tapi, barang-barang Disa? Bagaimana?"

"Udah. Kamu tinggalin aja. Kamu bawa baju Uti,"sahut Uti sembari membuka lemari lalu mulai memisahkan beberapa baju dan celana yang bisa dikenakan Disa.

"Barang-barang DIsa banyak ketinggalan di rumah Uti, apa nanti bapak yang bawain Disa?"

Aktifitas Uti terhenti. Entah apa yang harus dia katakana pada gadis kecil ini. Namun Uti tidak bisa memberi harapan berlebih. Uti tahu jika Disa punya warisan rumah di kota kelahiran bapaknya. Namun Uti belum bisa menjelaskan pada Disa sekarang. Waktunya belum tepat. Uti masih belum tahu bagaimana kabar Hendra.

"Disa, pesan bapakmu ke Uti, kamu harus pergi dari tempat ini. Nanti kalau kamu udah dewasa, dan kita bisa ketemu, Uti ceritakan semuanya. Tapi, saat ini, Uti belum bisa bilang apapun, intinya siang ini, kamu harus ikut di mobil yang Uti tunjukin."

"Tapi, barang DIsa bagaimana Uti? Bapak baru aja beliin Disa hp baru, buku baru, semuanya ada di rumah. Apa nggak bisa Uti ambilin?"

"Nggak usah sayang. Ini semua demi keamanan kamu. Sini, sekarang kamu ikut Uti lewat pintu belakang. Ayo."

Disa, gadis kecil itu tak lagi beriak. Ia mengikuti langkah wanita yang telah bersamanya selama empat minggu. Jiwa mudanya sesungguhnya bergolak. Ia ingin tahu kenapa bapaknya menyuruh Uti menyembunyikannya. Namun saat mendengar kawanan tentara teman bapaknya mencarinya, entah kenapa Disa tahu kalau keadaan tidak baik-baik saja. Beberapa malam sebelum kejadian Disa bersembunyi di rumah Uti, teman-teman bapaknya sering mampir ke rumah dinas dan terlibat perang mulut dengan bapaknya. Disa tak bisa berbuat banyak karena dia tidak tahu apapun.

"Kalau nanti, bapakmu sudah ditemukan, Uti akan sampaikan kebenarannya. Oke? Jadi kamu naik dan sembunyi di mobil ini."

"Ta-tapi Uti, ini, sepertinya mobil atasan bapak, na-nanti..."rentet disa takut-takut

"Udah, Uti yang tanggung jawab. Kamu sembunyi di dalam. Jangan keluar oke?" kecuali ada yang manggil nama kamu, baru kamu keluar."

Disa mengangguk. Dia tidak punya pilihan lain saat Uti menutup pintu bagasi dan bergegas masuk ke rumah salah satu petinggi. Satu hari sebelumnya, Uti meminta tolong pada Sopir yang akan membawa rombongan pimpinan meninggalkan kota Ampana pesisir untuk menampung ponakannya sampai kota. Namun sebenarnya, itu hanyalah akal-akalan Uti. Setelah meminta ijin pada sopir, Uti berbicara langsung pada sang Pimpinan yang telah menyelesaikan masa jabatannya agar membawa Disa meski menggunakan alasan-alasan tak masuk akal.

"Jadi, begini Pak komandan. Ada anak saudara jauh saya. Mau dinikahkan sama Omnya, Pak. Orang tuanya udah tidak ada. Masa anak sekecil itu udah mau dinikahkan Pak? Ponakan saya ini bisa kerja apa saja Pak. Dia bisa masak. Bisa bantu-bantu juga meski usianya masih empat belas tahun. Tubuhnya kecil, tapi tenaganya kuat Pak. Di kota nanti, bapak bisa pekerjakan dia,"bujuk Uti masih bersikeras. Padahal Disa sudah lebih dulu naik di mobil.

"Tidak bisa Uti. Resikonya besar. Aku tidak bisa membawa orang asing. Lebih baik kamu minta orang lain."

Uti memandang pria dengan badan tegap serta dengan gayanya yang kadang membuat Uti sakit kepala sekaligus terpesona. Dengan badan tinggi, tubuh tegap berisi, dagu terbelah, hidung tinggi, garis wajah tegas, kulit sawo matang, serta bulu-bulu halus di dagu serta pipinya membuat Uti mengambil kesimpulan harusnya pria ini jadi bintang sinetron bukan abdi negara yang kadang turun tangan langsung mengecat rumah warga atau memperbaiki atap rumah bawahannya yang bocor. Sangat kontras dengan kelakukan beberapa bawahannya yang selalu cari muka. Apakah sungguh pria itu tidak tahu apa yang dilakukan oleh bawahannya di sudut kota ini?

"Tapi, pak? Kemana lagi saya harus mengadu sih pak? Bapak tahu, selain kelurga jauh, saya punya siapa lagi? Nah ini loh pak, anak kecil minta diselamatkan, masa saya tutup mata? Lagipula kalau saya minta bantuan orang lain pasti ponakan say aitu gak akan bisa lolos, ya minimal kalau bapak bawa ponakan saya, saya jadi bisa tenang Pak."

Uti melihat pria itu menghembuskan napas. Meski pria itu mengemas barang-barangnya sendiri, dan tampak acuh, Uti tahu, kalau sebenarnya dia kasihan juga sama apa yang diucapkan uti.

"Serius dia bisa kerja? Lalu Sekolahnya? Aduh, kamu bikin kepala saya sakit mikirin hal ini, Uti. Mending cari orang lain, oke?"

"Huhu, Pak. Tolonglah. Uti yakin dia bisa bapak andalkan. Ngurus orang tua, atau ponakan bapak, atau nanti kalau bapak udah punya pasangan, ponakan bapak kek, bisa tuh dijagain sama ponakan saya."

"Baik. Tapi kalau dia bikin masalah, aku pasti akan memulangkan dia Kembali di tempat ini."

"Ahhhh. Makasih pak. Uti tahu kalau bapak selain ganteng, baik hati, lajang, kharismatik, dan bijj.."

"Sssttt sudah. Kamu bantu angkat semua barang ini ke mobil. Sore ini saya harus segera meninggalkan  tempat ini agar tiba malam di kota, jadi mana anak itu?"

Uti tersenyum masam. Jujur ada rasa takut juga segan menghinggapinya. Dia masih memikirkan bagaimana cara memberitahu pria itu jika Disa sebenarnya udah berada lama dalam mobil.

"Pokoknya bapak tenang aja, dia udah saya titipin sama sopir. Tugas bapak hanya lindungin ponakan saya ya Pak. Tolong dia dibina dan di didik baik-baik."

Lalu sang komandan yang telah mengakhiri masa jabatannya itu  akhirnya berjalan mendekati barisan para bawahannya yang sedang menunggunya di halaman rumah. Penghormatan terakhir telah diberikan. Langkahnya  tegas memasuki pintu kursi penumpang kemudian membalas lambaian tangan para warga dan bawahannya.

"Mana ponakan uti, Hans?"

"Ada di mobil belakang Pak. Dia saya minta duduk di mobil belakang."

"Kenapa tidak di mobil ini?"

"Wah? Gak masalah pak? Saya takutnya bapak terganggu, apa saya minta anak itu pindah mobil?"

"Iya Hans, panggil dia pindah ke mobil ini. Tapi, sebelum itu, bagaimana kabar dari informan kita?"

"Lapor Pak, bukti hilang, sulit untuk kita proses, informan kunci juga mendadak menghilang, jadi kasus Judi dan Narkoba yang didalangi oleh oknum dari institusi kita, sangat sulit untuk dibuktikan."

"Kemana informan kunci kita Hans?"

"Saya tidak tahu, Pak. Kabarnya tidak lagi ada, bahkan sudah beberapa minggu tidak masuk, mungkin bapak sudah tahu karena ada laporan dari Kapten Ricky."

"Laporan? Tidak. Ricky tidak bilang apapun. Sebenarnya apa yang terjadi Hans?"

"Saya juga tidak tahu persis, Pak. Jadi, anak itu apakah sudah bisa saya minta pindah ke mobil kita?"potong Hans lagi

Pria itu mengangguk tanpa bicara. Entah kapan lagi waktu yang tepat untuk menyelidiki kasus pelaporan dari warga agar bisa diteruskan ke pihak berwajib. Desas desus itu sudah lama sampai di telinganya, namun pantang baginya menilai atau melaporkan sesuatu tanpa bukti. Namun hanya butuh waktu satu menit saat Hans datang membawa anak kecil dengan postur  tubuh hingga potongan rambut menyerupai laki-laki. Kulitnya sawo matang, Sebagian lagi seperti terbakar karena sinar matahari. Namun potret keseluruhan anak kecil itu tak bisa dikesampingkan begitu saja.

"Siapa namamu?"

Disa terperajat. Suara pelan namun menyerupai perintah membuat bulu kudukknya merinding. Ada gabungan ketakutakan dan kekuatan besar hingga membuat DIsa kecil merasa ciut nyalinya. Rasa bingung, ketakutan semua berbaur menjadi satu.

"Di-disa Pak."

"Mau ikut saya?"

"To-tolong."

"Naiklah."

Disa naik tanpa bantahan tanpa suara. Bagai seeokor tikus  yang tahu jika salah berbuat maka nyawanya berada dalam bahaya. DIsa menyimpan baik baik segala nasehat Uti. Dan mengubur semua kenangannya di desa itu sampai mati meski hanya dalam pikiran. Sebuah aroma yang sampai di indera penciumannya membuat pikirannya jadi lebih tenang. Namun suara itu kembali bertanya padanya hingga membuatnya Kembali tak nyaman.

"Memangnya pria mana yang mau menikahi anak kecil dengan badan setipis tripleks, sepertimu?"




Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang