Bab 21

3.4K 283 8
                                    

Bagian 21.

Senyum Sasran menyambutku. Kugelengkan kepala berharap jika apa yang kulihat bukan hal sebenarnya. Namun dia, pria tinggi jangkung, duplikat Sultan namun dalam versi yang lebih sedikit berbeda, manis juga ramah benar-benar berdiri di depan rumah petak sewaku. Kenapa bisa Sasran ada di sini? Apa yang dia lakukan?  Aku menangkap wajah Okta dan deta seperti baru saja menemukan spesies langka. Mata mereka tidak pernah lepas dari Sasran semenjak aku akhirnya berhasil hanya berjarak tiga jengkal kaki dari Sasran.

"Kamu memblokirku, Dis. Di semua sosmed, ada apa ini?"

Kakakmu yang menyuruhku. Tentu kata ini hanya bisa ada dalam hatiku. "Aku nggak mau di ganggu bang. Abang tau sendiri, Disa kalau lagi serius kayak gimana,"jelasku berbohong.

"Alah, dulu juga kamu sering serius tapi gak main blokir-blokiran gini. Kenapa? Sastri ngancem kamu lagi? Kamu sejak dulu tahu gimana dia kan, Dis?"

Percakapan ini jadi membuatku tidak nyaman. Ada hal-hal yang seharusnya tidak perlu dibahas Sasran apalagi ada Okta juga Deta. "Eh kenalin Bang, ini dua temanku yang sering datang berkunjung kalau pagi-pagi gini sebelum mereka kerja,"kataku lalu membuka pintu dan mempersilahkan semuanya masuk. Deta dan Okta secara gentian menyambut tangan Bang Sasran. Aku segera berjalan ke arah dapur dan bersiap memasak.

"Dis nasi goreng merah ya," teriak Sasran

"Aku juga Mbak,"timpal Okta.

"Aku juga kak ikut mana-mana aja,"Deta ikut-ikutan lalu tak lama wajahnya muncul di dapur sambil memasang senyum misteriusnya.

"Apa kamu liat-liat?"

"Itu siapa Mbak Dis? Ya Allah cakep banget Mbak, aku gak kuat ini hadapinnya. Tidurku bakalan nggak nyenyak."

Bukan sekali dua kali aku mendengar orang biliang begini. Teman sekolah jaman SMA aja ada yang sampe mabuk kepayang gara-gara Bang Sasran. Tapi aku selalu punya senjata dan menjelaskan kalau kakak Bang Sasran si Sastri galaknya mengalahkan ganasnya ibu tiri. Sejak saat itu hanya sedikit yang terang-terangan mengatakan suka pada Sasran.

"Dia abangku Deta. Kenapa? Kamu mau aku salamin?"

"Huuaa iya mbak, salamin aku."

"Terus stenly mau kamu apain?"

"Alah, dia cadangan, Mbak. Aku mau perbaiki keturunan. Kapan lagi dapat suami badan kekar, bersih, cakep gitu, senyumnya manis pula. Mengingatkan aku sama pak Dandim yang cakep itu. Mbak tahu kan? Dandim yang jadi incaran ibu-ibu kompleks sebelah?"

Aku batuk-batuk. Separuh air masuk ke hidungku. Deta membantuku memukul punggungku berkali-kali. Astaga. Baru Namanya saja yang disebut  udah bisa membuat air masuk ke hidungku. Bagaimana kalau orangnya datang? Bisa-bisa aku tenggelam.

Aku berusaha mengakhir pembicaran bersama Deta dengan memberinya tugas menyiapkan piring dan mengeluarkan bumbu halus dari kulkas. Kuminta ia menungguku di depan sambil aku memasak. Kurang lebih setengah jam aku berhasil menghidangkan nasi goreng merah dengan campuran beberapa seafood yang ada di kulkas. Deta dan Okta makan dengan lahap tak terkecuali Sasran. Pembahasan yang dikeluarkan Sasran masih basab asi sampai Deta dan Juga Okta pamit undur diri karena harus bersiap menuju rumah sakit dan pengadilan.

"Ada apa bang, repot datang ke sini? Bukannya Bang Sasran gak bakalan bisa balik indo sebelum nikahan kak Sidny?"

"Awalnya sih gitu, Dis. Tapi kawan pilot abang ada yang kugantiin tugasnya selama sebulan ini, dan aku dapat jatah cuti tiga hari. Lusa udah harus balik Qatar. Ibu pengen ada keluarga yang liat keadaan Bang Sultan. Kamu tahu kan, dulu gimana Ibu selalu perhatiin anak-anaknya? Makanya kami baru bisa keluar dari rumah usia 30-an saking tidak maunya dia melepas anak-anaknya. Jadi, di sini aku sekarang sambil liburan. Tapi besok balik Jogja lagi."terangnya sambil meluruskan kaki dan memandangi ruangan yang lebarnya hanya 2x3 meter.

Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang