Bab 22

3.2K 252 0
                                    

Bagian 22.

Butuh waktu lebih dari sepersekian detik buat Bang Sultan mendekati motorku lalu memberi kode pada ajudannya untuk meninggalkan kami berdua. Namun Tindakan itu justru bikin hatiku mengalami rolleer costertak terkira. Debarannya bahkan makin menjadi-jadi tiap saat Bang Sultan menstater motorku, setelah beberapa kali memeriksa mesin motor keluaran pertengahan tahun 2000-an itu. Saat mesin terkutuk itu akhirnya menyala dan Bang Sultan menarik gasnya kuat kuat lalu menurunkannya lagi, menarik kuat gasnya lagi lalu menurunkannya lagi, aku tahu kalau aku dalam masalah besar. Berada dalam masalah sangat besar. Tepat saat kukira bang Sultan akan memberikanku stir motor yang dipegangnya, saat itulah motorku dimatikan lalu mulailah perasaan takut itu menyebar mengaliri rongga dada hingga ke perutku.

"Disa, apa kamu sadar kalau kamu keterlaluan? Maksud kamu apa sebenarnya? Kemarin aku membiarkan tindakan tidak bertanggung jawabmu, karena aku masih memandangmu sebagai adik. Tapi, jika kelakuanmu seperti ini, aku tidak akan tinggal diam."

Aku tahu aku salah. Aku tahu. Tapi mengakuinya membuat harga diriku merosot drastis. Aku sudah sering mengalah, terlalu sering. Rahang bang Sultan mengeras karena amarah. Kini aku tidak tahu apa dan bagaimana aku melanjutkan sandiwara yang terasa makin aneh ini.

"Disa minta maaf kalau kelakuan Disa bikin bang Sultan marah, Disa jamin itu tadi yang terakhir kali, Bang. Gak akan lagi,"jawabku dan seperti biasa saat mendengarku bicara kedua tangannya sudah dipinggang. Tipikal komandan yang menampakkan aura intimidasi dengan gerakan. Aku pernah membaca naskah punya Baron sebelum syuting film angkasa langit yang isinya tentang sifat dan sikap abdi negara. Kurang lebih itu yang dia lakukan saat ini.

"Terus apa lagi rencana kamu sama Sasran?"

"Hah? Rencana? Apa maksudnya bang?"

"Kamu gak usah berlagak bodoh. Apa yang kalian rencanakan?"

Mataku membeliak. Ada sedikit rasa kesal dalam hatiku saat mendengarnya mengatakan hal itu.

"Sama sekali nggak ada Bang. Sejak dulu hingga sekarang ini, Disa masih memegang janji. Abang harus percaya sama Disa."

Butuh waktu beberapa menit bagi Bang Sultan secara ikhlas meninggalkanku sendiri dengan motor buntut milikku. Saat berkendara melewati jalan raya menuju rumah petak milikku, aku sepenuhnya sadar jika harusnya aku lebih bisa mengendalikan diri tadi. Mengikuti keinginan impulsiveku untuk membalas kelakuan Bang Sultan sepertinya tidak akan ada gunanya karena selama ini image buruklah yang melekat dalam ingatannya tentangku. Saat tiba di rumah hal yang pertama kali kuingat adalah aku butuh istirahat lebih banyak pagi hingga siang nanti. Hari ini aku wajib memiliki tidur yang cukup agar dapat menghimpun tenaga menghadapi kenyataan.

Siang harinya aku terbangun karena suara ketukan pada pintu depan. Rumah petak yang kutempati hanya berukuran lima kali delapan meter. Dua kali tiga meter panjang ruang tamu, tiga kali tiga meter kamar tidur, sisanya dua meter adalah dapur. Lalu dibelakangnya balkon yang terbuat dari bahan kayu. Sehingga suara ketukan pasti terdengar hingga ke belakang. Saat menengok lewat jendela aku melihat Bang Sasran ternyata datang lebih awal. Sial karena aku bahkan belum mandi. Akhirnya aku hanya bisa mengintip dari celah pintu dan meminta waktu lebih banyak agar bisa mandi pada Bang Sasran. Ya janji untuk makan siang dengannya harus segera kuselesaikan agar bisa menjernihkan permasalahan diantara kami serta menegaskan beberapa hal yang sama sekali gak bisa diganggu gugat.

Tidak sampai satu jam aku dan bang Sasran akhirnya duduk saling berhadapan di salah satu rumah makan seafood. Pembicaraan kami tertunda karena bang Sasran terlihat kalap saat makan seekor ikan yang telah dibakar diatas bara api. Dia bahkan meminta tambahan hingga tiga ikan bakar baru bisa memulai pembicaraan serius diantara kami.

"Abang serius Disa, kalau bukan kamu dan kalau bukan abang siapa lagi? Yang kita bahagiain nih ya, ibu. Itu yang penting. Aku juga tahu kamu pasti sayang juga sama ibu kan?"

Kurasa sakit  kepalaku muncul akibat pengaruh ketegangan pada leherku yang belum juga hilang setelah bangun tidur tadi. Bang Sasran kurang yakin sama penjelasanku kemarin jika aku memang udah punya pasangan agar tidak jadi ladang tempat dia beralasan untuk menjadikanku calon istri.

"Gak ada yang bisa bantah itu bang, abang adalah satu-satunya orang yang selalu dukung Disa. Gak berubah sejak dulu sampai sekarang. Tapi, asal abang tahu, Disa benar-benar punya orang yang Disa suka. Abang gak mau liat Disa bahagia? Kenapa sih abang sama sekali gak percaya?"

Kulihat Bang Sasran melap mulut dengan tissue lalu mengambil segelas air yang sudah kuberikan padanya. Ada sedikit rasa tidak enak dihatiku untuk pria di hadapanku. Entah kenapa aku merasa punya kedekatan hubungan batin dengannya. Bang Sasran adalah kakakku. Sampai kapanpun meski kami tidak memiliki hubungan darah. Dia tampak berpikir selama beberapa menit sebelum menandaskan minumannya yang tersisa dalam sekali teguk.

"Abang hanya tidak ingin ibu merasa bersalah karena kejadian empat tahun yang lalu. Kamu tahu sendiri, kan. Jika kepergian kamu empat tahun yang lalu sempat bikin ibu sedih? Aku juga tahu kalian masih sering ketemu setelah kamu pergi dari rumah. Tapi jauh dari semua alasan itu, abang jujur nyaman sama kamu Disa. Abang merasa bersama kamu membina rumah tangga dan menumbuhkan rasa suka gak akan sulit."

Kuhela napas Panjang sebelum mengungkapkan apa yang ada dalam kepalaku. "Bang, rumah tangga bukan mainan. Bukan juga alasan nyaman. Gak hanya itu. Disa mau berumah tangga bersama orang yang membuat Disa punya banyak alasan untuk ninggalin dia kalau dia bikin kesalahan. Disa butuh hubungan timbal balik, rasa cinta, dan bukan hanya sekedar coba-coba aja. Abang Sasran itu udah kayak Kakak, nggak mungkin ada rasa, paham nggak sih Bang?"

"Apa Sastri ngancem kamu? Neror kamu?"

"Nggak Abang. Demi Allah. Mbak Sastri udah gak lagi hubungin Disa karena udah Disa blokir sejak lama, semuanya,"Ucapku dengan gerakan tangan menyapu angin.

"Kok gitu? Kalau ada apa-apa gimana? Kamu beneran mau melupakan kami, Dis?"

Apa aku pernah bilang kalau bang Sasran ini paling jago mendramatisir keadaan? Ia seakan gak puas kalau keinginannya belum kesampaian.

"Aku punya kok nomor Mbak Sidny sama Ibu. Jadi gak mungkin juga memutus semua hubungan, maksud Disa tuh bukannya mau mutus silaturahmi Bang, tapi lebih ke menahan diri biar gak lagi jadi beban gitu, Bang Sasran paham kan?"ucapku berusaha menenangkan.

"Ya udah Dis, kalau kamu keukeuh bilang gitu ya Abang bisa apa lagi? Abang cuma harap kamu nggak salah memilih pasangan, tapi, kamu bisa kenalin mereka ke bang dulu sebelum kamu ngorbanin banyak hal, kamu paham kan, Dis ?"

Siang itu aku berpisah dengan Bang Sasran dan berhasil meyakinkannya. Aku telah berhasil membuatnya yakin untuk tidak lagi mendatangiku. Termasuk berhasil menepati janjiku pada bang Sultan jika niatku sama sekali tidak ada kaitannya dengan drama menggaet keluarganya.

Keesokan paginya aku, Deta juga Okta, Stenly juga Barata berserta dua pria lainnya teman Stenly menaiki mobil SUV menuju Ampana. Perjalanan ditempuh dalam waktu lima jam. Perjalanan kami ini telah direncanakan beberapa minggu sebelumnya. Grup yang dibuat hingga memasukkan aku sebagai anggota di dalamnya  Tak sulit membuat mereka bahagia saat kusampaikan jika aku mendapatkan akomodasi gratis selama di Ampana dan menikmati destinasi di pulau togean, pulau yang terkenal dengan keindahan alam dan panorama bawah lautnya. Meski sejujurnya niatku datang kali ini adalah ingin membuka semua rahasia menghilangnya Ayah dan berharap menemukan petunjuk penting.

Saat kami menaruh tas dan meletakkan perbekalan pada salah satu cottage. Ada puluhan kapal kecil yang berarak menuju salah satu pulau. Aku melihat sekumpulan orang-orang yang berkerumun diatas kapal dengan berbagai macam seragam. Mulai dari seragam aparatur sipil negara hingga seragam coklat serta loreng. Aku menduga ada kegiatan penting di salah satu pulau. Aku mengacuhkannya dan mengajak Deta serta Okta membuka perbekalan dan menyiapkan makanan untuk persiapan makan malam. Tak ketinggalan empat pria yang bersama kami juga turut membantu dan menawarkan makanan juga minuman.

Saat menyantap makan malam dan menyimak mereka bercerita selama lima belas menit, aku memilih pamit dan berjalan menyusuri pantai dan bebatuan. Langkahku terdengar pelan namun tegas. Suara hentakan kakiku yang mengenai kumpulan bebatuan kecil tak bisa diredam. Hampir semua hamparan tanah di sekitar penginapan milik saudara pak Ditian Sansa Dewa ini dilapisi oleh bebatuan kecil. Saat menatap lampu yang bersinar dari kejauhan, aku teringat akan Ayahku. Satunya keluarga yang aku miliki. Besok siang rencananya kami juga akan tinggal di salah satu resort di pulau kadidiri dan menikmati hari yang panjang. Namun sebelum menyebrang besok siang, aku sudah lebih dulu memiliki rencana pagi harinya. Aku berniat mendatangi tempat satuan dimana aku dan ayahku dulu tinggal dan mencari informasi lengkap.

Saat menyusuri jalan bebatuan, Coki, teman Stenly mendatangiku lalu tersenyum sungkan dan terlihat malu menatapku. Sejak tadi aku juga tahu dia selalu menatapku. Coki adalah seorang perwira menengah yang ditugaskan di Luwuk, kami sempat ngobrol satu jam tadi. Aku memutuskan berjalan bersamanya sambil bercerita banyak hal. Namun tak disangka kami telah berjalan sejauh satu kilometer. Saat aku berniat memutar arah, Coki menawarkanku sebotol air minum demi memuaskan dahaga. Awalnya aku berniat menolak, namun karena kurasa kami berteman, aku menerima tanpa canggung. Bahkan tak ada canggung berlebih saat aku meneguk air itu hingga tandas. Ya, aku meminum sebotol air itu hingga tandas. Hal yang belakangan kusesali karena setelah itu aku kehilangan kesadaran.



Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang