Bab 15

4.3K 362 16
                                    

Bagian 15.

Pukul lima pagi aku berjalan keluar dari rumah sakit dengan badan remuk. Aku menyiapkan jaket hoodie agar bisa membantuku mengatasi rasa dingin setiap pulang dari RS. Satu minggu berlalu sejak aku bergabung di rumah sakit. Anggapan orang tentang profesiku ternyata manaruh harapan terlalu besar. Aku risih saat melihat salah seorang senior menghormatiku secara berlebihan karena statusku sebagai public figure. Tatapan mata dokter wanita ayng lebih senior tidak bisa kupungkiri membuatku tidak nyaman. Aku pernah berada di posisi merasa dibedakan dengan anak lain karena aku tidak cukup layak bagi mereka, dan aku sangat tahu rasanya.

Tapi naluriku berkata sepanjang itu tidak merugikan siapapun, dan dapat membantu promosi rumah sakit, apa salahnya jika aku masuk juga dalam tim promosi rumah sakit? Hitung-hitung akan menambah pengalamanku juga. Namun niat baikku sepertinya tidak selalu bisa dianggap baik bagi orang lain.

Pagi itu dingin menusuk. Suara nelayan terdengar sampai ke telingaku. Aku memarkir motor bekas yang kubeli dua hari yang lalu di depan pagar karena berniat meneruskan jalan kaki menuju dermaga sebelum masuk beristirahat. Biasanya aku akan bangun jam sebelas dengan tubuh yang kembali penuh stamina kemudian lanjut memasak lalu mencuci pakaian. Melihat suasana pagi, Sahut-sahutan para nelayan terdengar hingga seratus meter jaraknya. Suara gulungan ombak yang saling berkejaran juga sampai di telingaku. Sebentar lagi hari akan cerah. Aku duduk lalu melepas sepatu dan membiarkan kakiku tersapu air saat tiba di dermaga.

Pikiranku melayang memikirkan bagaimana keadaan bapak. Aku bingung memikirkan dari mana pencarian yang bahkan belum aku tahu dimana mendapatkan informasi. Namun satu yang pasti aku harus segera kembali ke kota yang jaraknya hanya tiga jam dari tempat ini jika ingin pertanyaan yang tertahan selama belasan tahun terjawab.

Aku melihat belasan kapal nelayan juga jala terbentang di laut. Beberapa nelayan bergerumul menariknya secara bersamaan tak lama kemudian. Aku menghela napas lalu bangkit kemudian berjalan tanpa memakai alas kaki. Saat berjalan itulah aku merasa sedang diikuti. Naluriku memberitahu jika situasiku tidak baik. Segera kupercepat Langkah dan menghitung peluang ku agar bisa sampai rumah tepat waktu.

Namun semakin cepat langkahku, aku merasa jika sosok dibelakangku juga mempercepat langkah. Dadaku berdebar tak beraturan. Refleks aku berlari secepat yang aku bisa. Anehnya, saking panik aku malah berlari berlawanan arah dan malah menemui jalanan sepi dengan pemandangan pepohonan rimbun di sebelah kiri dan laut sebelah kanan. Entah berapa lama aku berlari namun aku tahu orang yang mengejarku tidak lagi berjumlah dua orang. Ada tiga orang pria yang berlari mengejarku. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa berlari, namun aku berdoa semoga saja ada seseorang yang bisa menolongku. Ya seseorang. Atau sebuah kendaraan. Satu dua kendaraan mobil mulai melintas namun tidak satupun yang berhenti. Kurasa mataku mulai berair.

Pandanganku tidak jelas saat menangkap seseorang yang sedang berlari dari arah berlawanan. Aku tersenyum lega dan lantas mendekatinya dengan napas putus-putus. Namun saat sadar siapa yang kutemui perasaan aman sekaligus sedih menghinggapiku ditengah gemuruh jantungku yang masih berdebar.

"To-tolong, mereka mengejarku,"tuturku dengan napas putus-putus lalu bersembunyi dibalik tubuhnya.

"Apa yang membuatmu sampai di sini?"tanyanya awas. Napasnya juga putus-putus. Kuduga ia telah berlari beberapa kilo sebelum kami bertemu

"Aku dikejar. Apa bapak tidak lihat tiga pria itu yang tiba-tiba berbalik arah?"kataku lalu menunjuk penampakan pria dari belakang yang kini berbali arah

"Siapa suruh kamu jalan sendiri pagi-pagi gini, salah siapa?"
Aku mendesah napas lelah. Aku lupa kalau pria ini jenis hermaprodit klasemen atas. Tingkat empatinya musnah terkubur bersama ari-arinya sejak lahir.

"Iya salah saya. Kalau gak mau nolong ya gak usah marah-marah. Dasar kanebo!"

"Apa? Kamu bilang saya apa?"

"KANEBO. Kenapa? Marah? Mulut-mulut saya."

Kali ini aku berani menantangnya. Ini kali kedua aku berani mendebat dan menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku. Dulu, aku selalu diam dan menerima apapun yang ditujukan padaku. Namun itu saat aku masih berada dalam kendali mereka. sekarang aku adalah individu bebas.

"Dasar wanita aneh. Tidak tahu terima kasih."

"Eh? Emang bapak nolong saya?"kali ini aku merasa pria di hadapanku ini aneh.

"Loh? Karena saya ada makanya orang yang mengejar-ngejar kamu jadi lari, bukan menolong namanya?"

"Oh tentu bukan. Mana bisa hanya modal berdiri sambil kacak pinggang dikategorikan menolong? Apa bapak mengejar orang jahatnya? Apa sempat bicara sama penjahatnya? Kan nggak! Yang ada bapak marah-marah!"

Aku masih berniat mendebatnya saat melihat sebuah mobil CRV keluaran lama berwarna hijau berhenti di depan kami.

"Maaf telat komandan."

Seorang pria berbaju kaos hijau melapor pada Sultan setelah turun dari mobil. Kemudian menyusul satu pria lagi yang telah memakai seragam lengkap. Kedua pria itu melihatku dengan pandangan penuh tanya kepada atasannya. Seolah tidak percaya oleh apa yang dilihatnya.

Sebuah ide terlintas dibenakku. Pria seperti ini sekali-kali memang harus diberi pelajaran.

"Sayang, aku ikut naik di mobil kamu ya?"

Refleks kedua mata pria yang baru datang membola. Satunya memukul dadanya seolah ada yang salah pada dadanya. Aku melirik puas pada Sultan seolah mengatakan, bagaimana? Masih mau kejutan lainnya?

Sultan berdecak geram. Aku mau lihat bagaimana dia bisa mengatasi kalau kondisinya begini.

"Ini Bu Dokter Dara yang minggu lalu di IGD ya?"

Salah satu pria menanyaiku sesaat setelah aku duduk di kursi bersisian dengan Sultan. Dia mengenalkan dirinya sebagai Hanan.

"Larinya udah lama bu Dokter?"

Dari kaca kulihat ia tersenyum saat menanyaiku lalu lanjut melirik atasannya dari kaca spion

"Lumayan. Habis tugas langsung lari-larri pagi, eh ketemu ayang Sultan."

Kedua bawahan Sultan batuk-batuk. Kulirik Sultan yang menatapku seakan berencana mencincang semua bagian tubuhku dan membuatnya menjadi agar-agar.

"Oh begitu, Ya bu. Jadi ini mau dianter kemana Bu Dokter?"

"Duh maaf Mas, saya belum paham benar jalan di sini,"keluhku.

"Samudra atas, sebelum asrama polisi." Suara Sultan terdengar pelan namun lantang.

"Oh iya, ayang Sultan beberapa hari yang lalu ngapelin aku ke hotel apa ke rumah kost sih? Lupa nih. Hapal banget alamat rumahku,"semburku dengan nada manja dibuat-buat dengan pandangan mata tak lepas darinya. Aku tahu pasti dia menyuruh orang memata-matai tempat tinggalku.

Kedua bawahannya kembali berdehem. Aku yakin mereka pasti tidak menyangka jika atasannya yang tegas dan terlihat kejam ternyata berhubungan dengan wanita sepertiku. Hahahahaha rasakan. Mata Sultan memancarkan kemarahan. Aku sudah tahu jika dia sudah siap untuk memuntahkan semua amarahnya.

Kami akhirnya tiba lima belas menit kemudian. Motorku masih ada di tempat semula. Namun aku baru sadar tidak lagi menenteng sepatu ketsku karena sibuk melarikan diri dari kejaran orang gila pagi tadi.

"Makasih ya, ayang. Sampai jumpa besok. Dadah Mas Hanan."

"Iya bu Dokter. Kami permisi ya."

Kulambaikan tangan penuh keramahan pada Hanan sebelum mobil itu akhirnya pergi, dan aku jelas melihat satu tangan kanan terjulur keluar lalu menampakkan jari tengah.

Dasar Kanebo!!

======

Selamat baca. Bagi yang mau baca cepat di aplikasi udah sampai bab 54. Cusss lah

Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang