Bab 34

2.9K 253 1
                                    

Bagian 34


Malam semakin larut saat aku baru saja selesai menerima telpon dari Ibu Sinan. Aku hampir saja menangis jika tidak mengingat tatapan mata Uti saat melihat gelagatku mengangkat telepon serta menjawab segera pertanyaan dari seberang sana secara singkat dan jelas. Beliau, Bu Sinan mengarahkan agar besok pagi aku datang pukul enam, kemudian langsung dirias di kamar tamu lantai satu yang sengaja dikosongkan oleh ibu Sinan khusus satu hari itu. Karena setelah akad nikah hanya akan dilanjutkan dengan syukuran biasa dan kembali kami akan disibukkan dengan persiapan acara siraman kak Sidni lalu dilanjutkan malam Midodareni sekaligus malam pacar. Ada banyak adat dan budaya yang ingin dilaksanakan Kak Sidni sehingga ibu memintaku terlibat aktif.

"Kok Aku kasian sama nasibmu Disa? Uti merasa kamu dianak tirikan,"Ujar Uti saat melihatku mulai mengatur beberapa kebaya yang kurasa akan pantas kupakai selama acara nanti. Aku punya beberapa kebaya dari desaigner ternama. Jadi tinggal menyesuaikan warna.

"Uti... Bang Sultan itu tidak suka merepotkan Ibunya, kami sepakat akan resepsi di Luwuk, di sana bisa lebih mudah dan kami tidak akan repot melaksanakan karena akan banyak yang membantu, keluarga inti juga akan datang kok, jadi Uti gak usah khawatir. Intinya uti siap-siap ya besok pagi kita pergi sama-sama, Uti harus temenin Disa."

"Uti juga ikut hadir di pesta si siapa itu, si sese, eh? Duh Namanya kok susah ya?"

"Sidni, Uti, Namanya kak Sidni."

"Nah. Iya. Tapi, kok tetap aja Uti merasa kasihan sama kamu. Kok gak ada kebagian seragam apa gitu hanya bisa menyeragamkan warna aja, apa mereka tidak sejak awal mikirin ya bakalan ada kamu gitu ya?"

"Uti... Disa udah bilang kan, kalau pernikahan Kak Sidni udah direncanakan sejak empat bulan yang lalu, nah, nikahan Disa baru direncanain tiga minggu. Gak mungkin juga bisa diusahain secepat itu. Lagipula untuk seragam hari H, Disa udah minta ke Ibu Sinan untuk gak usah repot ngurusin apapun, Disa bisa mengikuti warna seragam keluarga. Disa punya banyak kebaya beragam warna, tinggal modofikasi aja."

"Pokoknya, Kamu harus tampil cuantik pool biar gak terlalu diremehin sama keluarga mereka, Disa. Takutnya Uti yooo... hanya karena kamu bukan dari keluarga yang patut diperhitungkan, gak ada orangtua, bibit serta bebet gak menyamai mereka, makanya mereka mandang remeh kamu."

Bukannya aku memang tidak memiliki semua itu? Apa yang harus aku harapkan? Seperti apa seharusnya jamuan untuk wanita dengan latar belakang sepertiku? Aku tidak mungkin menjelaskan pada Uti tentang seperti apa rencanaku ke depannya atau apa yang membuatku memilih tidak terlalu fokus dengan itu. Cukup agar aku bisa melewati dua hari selama acara berlangsung besok hingga hari minggu, karena selebihnya saat tiba di Luwuk Bang Sulthan yang akan menetapkan aturan main.

"Uti... Disa bisa melindungin diri Disa sendiri kok, Uti gak usah overthingking berlebih. Selama Disa gak terganggu maka Uti gak perlu khawatir. Kalau dikit-dikit Disa harus musingin semua omongan orang-orang, Disa yakin bakalan pusing sendiri jika ikutin pola pemikiran Uti."

"Yoo tidak gitu juga, Uti hanya mau yang terbaik buat kamu, selama ini Uti tahu kalau kamu kepengen banget tahu keberadaan Ayahmu, tapi Uti bisa bantu apa selain jujur kalau bukan karena komandan Sultan yang bawa kamu hari itu, Uti gak jamin gimana nasib kamu."

Sampai hari ini aku belum pernah menanyakan apapun pada Bang Sultan tentang Ayahku. Atau apakah dia tahu tentang keberadaan Ayahku. Karena aku tahu pasti jika dia tahu siapa aku. Karena jika dia tidak tahu, itu sama sekali tidak mungkin. Tidak mungkin dia menampungku selama beberapa tahun di rumahnya. Ya, hanya itu kesimpulan logis yang ada dalam kepalaku.

"Uti... apa Disa boleh tanya sesuatu?"ucapku sesaat setelah selesai mengemasi beberapa koper.

"Tanya aja, kapan Uti batasin kamu buat tanya apapun?"

"Disa pengen tanya ke Uti, kenapa dulu Uti melarang Disa buat tanya tentang kabar Ayah ke Bang Sultan? Apa Bang Sultan akan berbuat yang tidak-tidak jika dia tahu siapa Disa? Bang Sultan gak mungkin gak tahu siapa Ayah Disa. Tapi Disa heran kenapa Uti melarang Disa, itu yang sampai sekarang Disa gak tahu alasannya."

Lalu kulihat Uti duduk dengan semburat wajah penuh kecemasan. Entah apa yang telah dia alami. Namun aku berhak tahu kejadian yang sebenarnya setelah semua ini. Uti menghela napas Panjang sebelum matanya menerawang.

"Sebulan setelah kamu dibawa Pak Komandan, Uti kembali bertemu dia di Ampana. Kami saat itu sepakat seolah tidak tahu apa-apa karena pak Komandan tidak lagi bertugas di daerah itu, dia dipindahkan di kabupaten lain. Namun orang kepercayaannya, Hans beberapa kali menanyai Uti tentang kejadian sebenarnya tempo hari sebelum kamu Uti bawa ke bagasi mobilnya."

Uti menghela napas Panjang. Seolah ada beban besar yang berusaha dibuangnya.

"Uti masih membantu Hans mengumpulkan beberapa bukti di rumah lama kamu, sebelum rumah itu dikosongkan karena Ayahmu dan kamu dikabarkan menghilang. Tidak satupun orang yang mencari keberadaan Ayahmu bahkan keluargamu kecuali orang-orang dari satuan tempat Ayahmu bertugas. Waktu itu pihak sekolah juga sempat datang ke satuan menanyakan kamu, Keluarga dari pihak Ayahmu juga tak bisa kami ketahui rimbanya, jalan satunya kami diminta menunggu hingga ada pihak keluarga yang melaporkan, dan itu diharapkan nantinya dari kamu Ketika dewasa."

Aku masih tidak paham kenapa harus menunggu. Kenapa tidak pihak dari satuan yang merilis berita kehilangan. Kenapa prosesnya harus terhenti sampai hari ini.

"Lalu kabar komandan Sulthan dihukum karena berusaha mengungkap sebuah sindikat kejahatan sampai ke telinga Uti. Uti tidak paham, namun yang Uti tahu hanya hasilnya. Kalau pak komandan itu bisa lolos karena waktu itu Ayahnya merupakan panglima, jadi hanya mendapat sangsi apa gitu selama beberapa hari. Setelah itu, Uti tidak lagi mendengar kabar apapun dari si Hans itu."

Jika benar masalah ini separah itu, maka pantas saja pria sekaliber Bang Sultan membutuhkan waktu lama untuk mengurusnya. Namun apakah langkahku benar telah melaporkan kehilangan Ayah setelah belasan tahun berlalu akan menuai perkara, aku sungguh tidak tahu. Yang aku sadari setelah melangkah sejauh ini, aku tidak akan mungkin bisa mundur selangkah pun. Tidak akan. Aku hanya butuh kabar keberadaan Ayahku.

"Jadi, Uti mohon kamu tidak perlu terlalu memaksakan diri untuk mencari tahu, Disa. Uti lebih khawatir keselamatan kamu, Nak."

Kutatap wajah Wanita yang rambutnya hampir memutih dengan pandangan sayang. Dialah yang selalu menemaniku selama beberapa tahun terakhir. Membantuku tetap tersenyum melewati beberapa masa-masa terburuk. Setidaknya meski dia tidak menemaniku dari awal, namun keberadaan Uti selama beberapa tahun terakhir membuatku menemukan tempat untuk pulang.

"Tapi.... Disa udah buat laporan kehilangan Uti, ajudan Bang Sultan yang bantu Disa. Gak mungkin Bang Sultan gak tahu,"jelasku pada akhirnya.

Kekhawatiran jelas terpancar di wajah Uti.

"Uti gak usah khawatir, keadaan dulu dengan sekarang sangat berbeda. Disa bisa segera melapor jika ada sesuatu yang tidak beres terjadi."

Perbincangan kami berakhir dengan ketukan di pintu rumah. Jam menunjukkan hampir pukul sebelas malam saat sebuah suara yang kukenal masuk melewati pintu samping. Bang Sasran masuk dengan tatapan mata yang seolah minta banyak penjelasan dariku. Saat Uti masuk ke kamarnya setelah menyuguhkan wedang jahe, Bang Sasran langsung memulai proses introgasinya.

"Kenapa dari sekian banyak tawaran, kamu harus memilih Bang Sultan, Disa? Apa kamu benar-benar sadar?"

Aku menghela napas. Bang Sasran memang bukan orang yang gemar basa-basi. "Disa sangat sadar Bang. kalau Bang Sasran ingat sejak awal, Disa sudah bilang kalau Disa udah punya pacar bukan?"

Tawa sinis keluar dari bibir Bang Sasran.

"Astaga Disa.... Aku ini bukan anak kemarin sore. Aku kenal abangku. Kamu tidak akan pernah masuk dalam radarnya. Abangku bukan golongab pria yang mudah memutuskan memilih istri hanya modal cantik saja."

"Oh jadi menurut Abang, Disa ini hanya modal cantik? Makanya tidak pantas bersanding sama Bang Sulthan?"

"Astaga... kamu tahu bukan itu maksudku Disa. Abang hanya tidak habis pikir sama kegilaan kamu, kamu jelas tahu di rumah itu yang benar-benar peduli sama kamu itu hanya aku. Ya... oke Sunan juga. Aku masih bisa mikir rasional kalau itu Sunan, secara kalian sering ketemu saat kamu koas. Kalau abangku? Apa benar hanya empat bulan kalian sama-sama terus bikin kamu setuju? Siapa yang pertama kali mengajak nikah? Tidak mungkin kamu apalagi Abangku, sebenarnya ada apa ini?"

Kedua tangan bang Sasran bersedekap seolah sedang menilaiku. Ku tatap nanar ponselku yang sejak tadi berbunyi. Sudah beberapa jam aku mengacuhkannya. Namun aku sadar jika pilihanku tidak akan pernah mudah.

Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang