Bab 18

3.6K 301 18
                                    

Bagian 18.
Kata orang kita lebih baik belajar jadi pemaaf dan berhenti jadi pembenci lalu terus belajar memperbaiki diri. Namun kali ini ini aku menolak mendengar kata orang. Hidupku bukan di bangun atas dasar omongan orang. _Gladisa_


Kupikir Randal sama terkejutnya denganku saat melihat Sultan dengan kaos berkerah berwarna biru serta rambut tersisir rapi berdiri menyambut jabatan tangan Bu Desti kemudian berlanjut menyalami Pak Ditian Sansa Dewa seolah mereka sudah mengenal lama.

"Mama kenal sama dia?" tanya Randal kemudian berdiri dan menyalami Sultan. Aku masih diam ditempatku. Entah jurus apa yang harus kulakukan sekarang karena tanganku tak bisa kugerakkan dan jantungku seperti sedang bersiap keluar dari tempatnya.

"Kenal dong, papamu sama almarhum ayahnya Sultan adalah teman karib sepermainan waktu kecil di padang. Belasan tahun yang lalu kita hadir juga di pernikahan dia, kamu gak ingat?"Bu desti menjelaskan sembari mempersilahkan Sultan duduk di dekatnya. Meja yang kami duduki diperuntukkan untuk sepuluh orang. Meja yang harusnya meninggalkan kesan bagiku karena pemandangannya yang langsung berhadapan dengan laut lepas. Namun dengan kedatangan Sultan semua berubah karena ini merupakan salah satu momen terburukku dalam hidup. Kini posisi makin canggung karena Sultan duduk di kepala meja, sedangkan aku dan Bu desti, Randal, Ditian hingga  Arman duduk berhadapan berhadapan.

"Wow, Ma, ini kebetulan yang tidak direncanakan, karena pria ini adalah juga abangnya Disa, Ma. Mama juga tahu makanya mau ketemu dengan dia?"

Kurasa aku keringat dingin. Apalagi aku bisa merasakan senyum mengerikan milik Sultan. Entah apa yang ada dipikirannya namun aku yakin jika senyum itu adalah petanda jika sesuatu yang buruk pasti akan segera terjadi. Ya Tuhan.

"Apa benar begitu Disa?"

Sesuatu menekan perutku. Tanganku tak lagi bisa menyendok makanan ke mulut.

"Eh? I-iya bu. Dulu DIsa kerja di rumah Bu Sinan, Pak Sultan yang mempekerjakan Disa di rumah di sana," kataku dengan degupan jantung bertalu-talu. Sesekali aku melirik ke arah Sultan dengan perasaan was-was.

"Oh jadi itu alasan kemarin dia bersikap seperti itu ke kamu Dis?," Randal menimpali. Isi hatiku tak ubahnya roller coster yang masih berjuang menuju tempat perhentian. Apakah ini akan berlangsung lama? Kurasa aku tidak sanggup.

"Dia kerja di rumah saya. Dulu.  Namun sekarang sepertinya dia sudah lupa karena karirnya meleset, punya pekerjaan, popular, saya ragu dia akan mengingat semua di masa lalu. Semua orang bisa berubah dengan dratsis."

Aku berharap Randal sama sekali tidak terpancing dan tidak memberi Sultan peluang di intimidasi.

"Bukankah kita semua berubah?"potong Randal. Aku bisa melihat Sultan masih menelengkan kepalanya memandang kami. "Lagipula meski dia pernah bekerja dimanapun tempatnya, bukankah tidak menjadi alasan bagi kita untuk menghakimi orang lain bukan?"tambah Randal lagi

Aku yakin semua sadar ada yang aneh dari interaksi mereka malam ini. Terutama mataku yang tidak sengaja bertemu pandangan dengan ajudan Sultan yang duduk di meja tak jauh dari tempat kami duduk. Bayangan peristiwa minggu lalu berputar di kepalaku.

Ayang Sultan? Gusti.

Suara deburan ombak membantuku mengatasi semua kegugupan yang melandaku. Semua yang berkelindan dalam kepalaku masih belum dapat kuatasi. Randal masih bercakap dengan Sultan lalu sesekali Bu Desti juga menimpali. Kulirik jam yang entah mengapa berputar sangat lambat malam ini.

"Pak Ditian Sansa Dewa, keberadaan Bapak malam ini adalah kejutan," Sultan mengubah topik pembicaraan. Bagus. Karena aku takut jika Randal kehilangan kendali dirinya dan akhirnya mempermalukan dirinya sendiri. Tentu itu yang diinginkan Sultan.

"Saya hanya menjadi tuan rumah yang baik, Pak Sultan, sebenarnya pertemuan ini sudah direncanakan jauh hari, hanya saja para tamu terhormat ini baru bisa datang sekarang."

"Pak Ditian merendah, kami yang sebenarnya tidak enak mengganggu waktunya, seingatku dia bahkan jarang datang jika ada acara besar atau pertemuan,"kali ini pria Bernama Arman angkat bicara setelah menghabiskan makanan dan segelas lemon tea.

Kini topik pembicaraan mereka di luar dari kapasitasku. Sejak dulu aku kagum dengan pola pikir para pengusaha menciptakan peluang dan mengambil kesempatan. Tentu sebuah konsep atau proyek baru akan berjalan setelah ada proses negosiasi alot didalamnya. Aku akui Randal memang handal dalam hal itu. Namun dari pembicaraan ini, kehadiran Sultan memang dibutuhkan untuk menyukseskan kegiatan pariwisata yang akan dijadualkan enam bulan lagi. Apakah aku bisa kabur sekarang juga?

"Dunia sempit Dis, abang jadi-jadianmu ternyata juga ada di sini," bisik Randal padaku.

"No komen. Nanti kita bahas. Aku cabut lima belas menit lagi,"putusku mengikutinya mengecilkan  suara.

"Padahal kamu baru datang, kenapa cepet banget?"protes Randal masih berbisik

"Aku masih harus beliin teman-temanku cemilan sebelum balik tugas, aku gak mau catatanku merah Dal."

"Oke, dua puluh menit kalau gitu, aku antar kamu ke rumah sakit, Oke? Biar aku tahu kemana jemput kamu subuh nanti."

Aku tidak punya pilihan lain. Ngotot di depan Randal hanya berpotensi kegundahanku terbaca dan di dengar Sultan. Aku harus menunjukkan jika aku sama sekali tidak terpengaruh. Lima meniat kemudian aku pamit ke toilet. Saat menatap bagaimana kondisiku di cermin, saat itulah aku melenguh karena sadar tampangku mirip upik abu. Rambutku keluar jalur di beberapa sisi. Setelah berhasil menguncirnya dan mengibas tanganku yang setengah kering, sebuah pegangan pada lenganku membuatku hampir berteriak. Namun menyadari itu Arman membuatku mendesah lega. Aku hampir mengira jika itu Sultan.

"Aku udah lama mau ngomong berdua, Disa. Hhmmm.... Aku langsung aja, kapan kamu ada waktu buatku? Aku tidak masalah dengan bayaran, kamu sebut aja berapa. Kamu jangan kuatir ini akan ketahuan Randal."

Mataku mengerjap beberapa kali. Mencoba memahami maksudnya.

"Wah, kalau soal itu bisa kita bicarakan besok siang aja gimana, Pak Arman? Sekitar sepuluh menit lagi saya harus Kembali ke rumah sakit,"jawabku ramah

"Siang hari? Kamu bisanya siang hari? Di mana? Boleh minta kontak kamu?"

"Hmmm, boleh."

Aku mendikte kontakku pada Arman dan entah kenapa merasa ada kesalahan di dalamnya. Namun aku harus mendengar terlebih dulu jenis pekerjaan yang mereka tawarkan bukan?

"Tapi, Disa....."

"Ya?"

Aku merasakan ada yang salah saat Arman maju dan mengucapkan sebuah kata yang membuatku melongo.

"Aku suka Wanita yang diatas."

Lalu Arman pergi begitu saja. Beberapa detik kemudian Aku spontan tertawa dan menyadari kebodohanku. Saat ingin beranjak aku melihat pintu toilet di hadapanku terbuka lebar. Sultan keluar dari dalam dengan senyuman. Senyum yang sangat meremehkan.

"Ckckckc. Wanita yang berada Diatas? Wah... Disa. Aku tidak tahu kalimat apalagi yang bisa menggambarkan betapa munafiknya dirimu. Sungguh jika Ibu melihat keluakuanmu, aku pasti tidak akan segan membuatmu menderita. Camkan itu!"

Kurasa ada sesuatu yang menekan di dadaku. "Memangnya apa sih yang bikin kamu kesal? aku salah apa?"

Jarak kami hanya sersekian senti saat sebuah kalimat terucap. Sebuah aroma masuk di indera penciumanku.

"Jangan harap kamu bermimpi wanita murahan seperti kamu bisa kuijinkan  masuk di rumahku apalagi menggoda adik-adikku. Ingat kata-kataku, Disa,"ancamnya penuh penekanan.

Kurasa aku lupa bagaimana caranya bernapas dengan baik. Karena saat Sultan pergi aku baru bisa menghembuskan napas dengan cara normal. Butuk waktu beberapa menit bagiku agar bisa Kembali bergabung di meja makan dan pamit penuh senyum pada semua lalu meminta Randal mengantarku ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana pandangan Sultan atau Arman atau siapapun itu. Namun yang aku sadar aku menangis tersedu sesaat setelah Randal duduk di kursi pengemudi.

======

Baca murah silahkan ke KBM app yak.

Kalau kalian punya banyak duit bisa ke karyakarsa buat baca lanjutan. Udh smapai bab 90 😅🙌🏼

Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang