Bab 3

5.3K 432 6
                                    

Sultan panembahan
Sastra Darmakusuma,
Sunan Kartanegara,
Sastri ananditi,
Sasran Muliawan,
Sidni Kusuma Dewi

Hapalin nih mereka bersaudara. Biar gak ketuker nantinya 😅🫶🏼===

🪸🪸🪸🪸🪸🪸🪸🪸😇
Bagian 3.


Kedatangan Jendral Suandi malam itu langsung membidik tepat apda sasaran. Ia meminta Sultan untuk segera menikah kurang dari dua bulan. Posisinya yang baru sebagai Dandim di pulau Sulawesi juga membutuhkan dukungan seorang Istri. Sebagai seorang letnan kolonel yang sebentar lagi akan mengemban tugas penting, kegagalan Sultan hanyalah belum mampu mendapatkan Istri yang sesuai. Maka, Suandi langsung saja menyodorkan nama seorang wanita yang merupakan cucu mantan wakil presiden. Sultan tak bisa mengelak, tahun ini adalah tahun terakhir ia diberi waktu mencari pasangan. Jadilah malam itu menjadi malam mencekam antara ayah dan anak. Tak ada satupun dari ibu maupun adik-adiknya yang berani bergabung di ruang utama saat pembicaraan itu berlangsung.

Disa dikenal keluarga Sultan sebagai anak yang penurut. Sesekali Disa membuat masalah karena tidak becus menjaga dan mendiamkan Sean yang tantrum, namun Disa belajar cepat. Lebih tanggap dari Sastri yang merupakan ibu Sean. Lebih cekatan membantu Silvi mengerjakan PR ketimbang Sastri yang masih sibuk dengan urusan dunianya. Disa serba bisa bagi keluarga Sultan. Namun hingga tahun ketiga Disa tak pernah mendapat kabar dari Uti maupun Bapaknya. Disa jadi sadar diri dan posisi, bahwa posisinya tidak bagus. Dia harus tahu diri jika ingin diterima oleh keluarga itu dan diterima dengan baik.

Tahun demi tahun berlalu. Disa tumbuh menjadi pribadi yang sangat baik ditempa oleh Sinan, ibu Sultan. Disa tumbuh menjadi gadis mandiri dan mahir mengerjakan apa saja. Saat tahun terakhirnya di sekolah menengah atas, Sasran dan juga Sidni bertindak sebagai wali menemani Disa. Disa tampil ceria dan mampu mengikuti jejak karir Bu Sinan dengan lulus masuk fakultas kedokteran. Namun Disa sadar Diri, meski kesempatan itu ada, dia tak boleh meminta banyak. Semua yang dia terima sudah lebih dari cukup sebagai orang yang menumpang hidup. Kalau bisa DIsa ingin mencari pekerjaan agar dapat menghasilkan uang. Namun, saat DIsa mengutarakan keinginannnya untuk bekerja dan meninggalkan rumah itu tidak satupun dari Sasran maupun Sidni menginjinkannya.

"Tidak Disa, kalau kamu anggap aku kakakmu, kamu gak boleh meninggalkan rumah, siapa yang jagain Sean? Kamu tahu kakakku itu jelmaan iblis betina? Oh tidak. Kamu gak boleh ninggalin rumah."

"Setuju sama Sidni. Lagian tinggal di rumah kami kamu gak akan kekurangan apapun, kalau kamu nggak ada, siapa yang buatin aku makanan enak dan minuman kamu yang enak itu?"

Disa melenguh. Bagaimana cara menjelaskan jika sebenarnya dia sudah sejak lama memimpikan bisa hidup mandiri dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Jika kuliahnya dibiayai oleh keluarga itu, maka, dia pasti akan berutang lebih banyak. Disa tidak ingin dicap seperti itu. Ia sudah sering menerima cacian Sastri jika tidak becus mengerjakan pekerjaan rumah, udah biasa dimarahin Sunan jika pakaian yang dicarinya tidak ditempatnya. Ya pekerjaan DIsa merangkap semuanya. Handuk yang terjemur rapi di halaman belakang menandakan keberadaan Disa. Dapur yang tertata rapi, menandakan Disa telah selesai membantu bibi memasak. Pakaian bersih telah masuk di lemari menandakan Disa telah selesai mengatur pakaian dari laundry. Kulkas penuh makan dan cemilan menandakan DIsa telah mengisinya dengan belanja mingguan. Sean yang tertidur lelap dan Silvi yang mendapatkan nilai rapor yang baik adalah Disa. Jadi, secara tidak sadar Disa telah membuat para penghuni rumah itu bergantung padanya.

"Mau sampai kapan kak? Disa juga tahu diri, gak bisa selamanya numpang. Disa harus bisa hidup dan cari nafkah."

"Kami bukan melarang yo dek, selain kami berdua, yang gak setuju ada Sunan pastinya. Kamu tahu kan Sunan? Jahat-jahat gitu, diantara kami bersaudara dia yang selalu cari kamu kalau gak ada di rumah,"timpal Sasran

"Belum termasuk ibu ya dek, kamu tahu ibu selalu cari kamu dibanding kami, jadi diskusi sama Ibu deh kalau ada apa-apa."
Disa melenguh kesekian kali. Diresapinya ucapan Sasran juga Sidni siang tadi. Biasanya sore menjelang malam, setelah selesai menyelsaikan pekerjaan rumah, dan Sean telah asik bermain bersama penjaganya, Disa akan memakai waktu yang ada berselancar di dunia maya. Dia berharap bisa menemukan Uti yang di acari dan menggali informasi. Namun satu-satunya cara yang dia temukan hanya menanyakan langsung pada pria itu. Pria yang membawanya pertama kali di rumah ini. Hampir empat tahun lamanya Disa tidak lagi bertemu pria itu. Kabarnya pria yang sekarang berpangkat kolonel itu belum memiliki seorang anak dari pernikahannya. Dan Disa tidak tahu bagaimana caranya memulai komunikasi atau menghubungi pria itu.

"Dis, celana boxerku kemana?"Sunan membuka pintu dan langsung menanyai Disa.

"Udah ada di tempatnya, Mas. Tadi DIsa taroh."

"Gak ada. Coba kamu cari lagi!,"ujar Sunan hampir emosi. Namun Disa sudah tahu karakter pria itu. Diantara enam bersaudara selain Sastri, Sunan adalah tipe orang yang paling cepat tersulut emosi. Padahal sumber masalah sebenarnya sangat sepele. Seperti Boxer miliknya yang Disa yakin pasti ada di tempatnya, namun entah kenapa Sunan selalu gagal menemukannya jika disimpan pertama kali.

Akhirnya Disa berjalan ke kamar Sunan dan menunjukkan letak boxernya. Tak lama teriakan Sastri menggema memanggil Disa, karena harus menangkan Silvi yang menangis kehilangan baju princess miliknya. Namun akhirnya ketemu karena disimpan di lipatan pada rak lemari baju. Hari hari Disa sangat sibuk dengan urusan kebutuhan anggota rumah yang selalu dia selesaikan. DIsa tidak tahu sampai kapan ini akan berlangsung. Namun yang pasti Disa harus mendiskusikan ini bersama bu Sinan saat pulang nanti.

Sinan datang beberapa hari kemudian. Sekaligus sebagai tanda jika suaminya telah memasuki masa purna. Sehingga tidak ada lagi kegiatan yang akan membuat suami istri itu akan meninggalkan rumah. Kabar itu sudah DIsa ketahui dua bulan sebelumnya, jika Jendral Suardi akan memasuki masa pension. Jadi, tidak lama lagi Sinan bisa fokus mengurus keluarga dan klinik kecantikan kecilnya.

"Bener kata Sasran kamu lolos di FKU sama kedokteran gigi?"

"Iya betul Mas. Tapi, rencananya Disa mau langsung kerja aja, gak mungkin bisa kuliah."

"Loh? Kenapa?"

Takut-takut Disa membalas tatapan mata pria yang sama menakutkannya dengan Sultan. Struktur wajah mereka hampir sama. Namun Sunan lebih mengerikan jika marah atau berteriak.

"Itu Mas, Disa nggak ada biaya."

"Coba kamu bilang sama Ibu, pasti bereslah kalau Cuma biaya kuliah."

Disa menelan ludah, inilah yang dia takutkan. Ibu sinan pasti mau membiayai, hanya saja dia sudah berniat meninggalkan rumah itu dan mencari pekerjaan agar dapat berdiri di kakinya sendiri. Waktu empat tahun sudah lebih dari cukup.

"I-iya Mas. Nanti DIsa bilang sama Ibu."

"Oh iya satu lagi, teman sekolahmu kamu minta datang ke rumah?"

"Eh? Enggak Mas. Tuh lagi ditanyain sama Sasran di depan."

Mata Disa membeliak. Baru kali ini dia didatangi teman sekolah. Padahal Disa sudah berusaha melarang atau tidak memberitahu teman-temannya dimana dia tinggal. Secapat yang dia bisa, DIsa berlari ke depan rumah dan melihat Sasran sedang berbincang dengan beberapa pria.

Mati aku. Siapa itu?

Disa hanya bisa mengenali dua diantaranya yang merupakan teman kelasnya. Salah seorang diantaranya adalah teman bimbingan les Disa.

"Dis, ini temen kamu mau ngajak jalan, Mas bilang kamu gak pernah diijinin keluar malam," Sergah Sasran tanpa banyak basa-basi. DIsa mengangguk dan menelan ludah dengan payah. Tak ada satupun orang dalam rumah ini yang bbisa membuat Disa baik-baik saja.

"Iya, maaf ya Kaul, Geno, Jade, aku gak dijinin keluar malam, besok pagi aja ketemu di sekolah,"tutur Disa tak lama kemudian. Akhirnya setelah berbasa-basi teman DIsa pulang tak lama kemudian. Namun bukan Sasran Namanya jika tidak ribut dan menimbulkan masalah di meja makan.

"Disa, jangan pacar-pacaran, kamu masih kecil. Di rumah ini hanya Sastri yang melanggar aturan,"celoteh Sasran tanpa memperdulikan tatapan sinis Sastri.

"Loh? Disa udah pacaran?" Sidni menimpali.

"Ngapain kalian larang-larang DIsa pacaran, hak-hak dia," potong Sastri sambil mengancungkan garpu ke arah Sasran.

Disa menelan ludah. Dia tidak nyaman dengan pembahasan ini. Jika dipikir pikir semua penghuni meja makan adalah pria dan wanita dewasa. Sunan mungkin sudah berusia tiga puluh dua, Sastri tiga puluh, Sasran dua delapan, sedang Sidni dua tujuh. Hanya dia yang berusia paling muda.

"Jangan pacaran dulu Dis, pria jaman sekarang gak ada yang bener, kalau ibu tahu pasti marah tuh."
"Duh, Disa serius, Mbak. Disa nggak punya pacar."

Saat semua perhatian tertuju pada Disa. Suara mobil terdengar memasuki pekarangan. Disa cekatan menyiapkan tambahan beberapa piiring dan sendok. Biasanya kalau Jendral Suardi yang datang, maka ada banyak ajudan yang ikut serta mengantarnya. Namun kali itu, DIsa terbelalak, karena pada akhirnya setelah empat tahun berlalu dia bertemu pria yang membawanya ke rumah itu.


Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang