Bagian 23.
Aku merasakan samar ada yang meraba dada juga pahaku. Aku melenguh. Entah reaksi apa yang terjadi padaku. Namun itu membuatku pusing. Aku tidak tahu dimana keberadaanku, namun aku bisa merasakan kepalaku sakit. Deru napas mengenai leherku. Aku merasakan sebuah bibir mengecupku kuat lalu turun memenuhi leherku.
Kurasa aku ingin menangis. Menangis kuat-kuat. Aku memohon pada Tuhan untuk diberikan kekuatan berteriak saat kurasakan tangannya mulai bergerilya serakah dan berusaha melepas celana yang kukenakan. Entah kemana jaketku. Namun aku tidak sanggup mencerna kenapa respon tubuhku sangatlah lambat. Apakah ini sejenis narkoba? Atau senyawa lain? Apakah seperti ini rasanya?
Kulitku terlalu dingin. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan lenguhanku yang kupikir bisa berubah menjadi teriakan tolong entah kenapa tak bisa kugunakan. Kenama suaraku? Kemana tenagaku? Aku ingin menyingkirkan tangannya dari tubuhku. Namun semuanya sia-sia. Aku bisa merasakan bibirnya di ujung kaki hingga naik ke atas. Saat itulah aku sadar semuanya sia-sia. Aku pasrah. Mungkin setelah ini aku akan menyusul ayahku lalu bunuh diri. Tetapi sebaliknya aku malah mendengar suara dentaman. Aku mendengar suara itu terlalu keras. Aku merasakan tubuhku dilapisi sesuatu. Entah apa itu. Yang kurasakan kemudian tubuhku terangkat, tubuhku tak lagi kedinginan. Hangat. melayangkah aku? Namun entah apa yang terjadi, aku sepertinya merasa pernah menghidu aroma ini.
Berapa lama aku dibawa? Entahlah. Aku hanya mendengar suara decitan kayu. Suara pintu. Lalu selimut yang menyelimutiku. Hanya beberapa menit kepalaku terangkat lalu dipaksa minum air. Aku dipaksa minum hingga air hingga tanda, hingga air itu keluar dari hidungku. Aku menyerah. Mataku tak mau kuajak kompromi. Kantuk ini menyerangku tanpa ampun. Namun aku berharap semua yang aku alami hanyalah mimpi.
Suara ribut dan teriakan hinggap di telingaku. Aku mengenal suara Okta juga Deta. Lalu disusul suara teriakan. Ya. Aku tahu itu suara teriakan Okta. Hanya Okta yang bisa bertingkah seperti itu. Namun kenyataan aku bisa membuka mata adalah hal yang baik. Sangat baik. Kupegang kepalaku yang masih sakit, dan yang membuatku terkejut jika ternyata semalaman aku tidur dengan hanya pakaian dalam. Tubuhku tegang. Ternyata yang semalam bukan saja hanya mimpi. Aku meneguk ludah susah payah dan mengendalikan amarahku yang datang tanpa ampun. Aku membenci dan ingin membunuh pria itu. Kejam tanpa ampun. Aku marah pada diriku. Marah pada ketololalanku karena membiarkan pria itu memiliki kesempatan mengerjaiku.
Setelah mengenakan jaket dan celana Panjang yang tergeletak disamping tempat tidur, aku memandangi kamar dengan dinding serta lantai kayu. Kamar ini hampir sama dengan kamar yang kutempati pertama kali kemarin siang saat berebutan kamar dengan Deta. Namun banyak ornamen yang membuatku yakin jika pemilik tempat ini sangat berbeda dengan penginapan yang kutinggali. Ada kesan yang sangat berbeda kutangkap saat melihat jenis aksesoris gorden kamar yang dikuasai oleh kulit kerang beraneka macam warna.
Saat memutuskan keluar kamar, kulihat mereka diam. Aku tersenyum menanggapi dan memilih duduk di ruang tamu sembari menuang teh diatas gelas. Aku belum berniat bertanya lebih jauh. Kepalaku pusing.
"Coki udah dibawa ke kantor polisi, udah dimintai keterangan juga, Dis. Sungguh aku nggak tahu kalau Coki punya niat bejat kayak gitu,maafin aku ya?"Stenly berujar dengan nada memohon.
"Alah, dasar bacrit loe semua. Milih teman aja gak becus. Sialan lo ya, ngambil kesempatan dalam kesempitan. Awas aja kalau Coki bisa bebas, aku gak mau tahu dan gak pernah mau tahu!!"Okta mendesis marah.
"Ta, sungguh kita mana tahu kalau Coki punya pikiran kaya gitu, selama ini kita baik-baik aja di kantor," Barata membela diri.
"Pokoknya gimana caranya Coki wajib dipenjara deh, gak peduli dia anak wakil bupati, aku gak bakalan rido."Okta kembali bersuara.
Kegiatanku terhenti. Suara Okta membuatku merasa menelan pil paling pahit. Aku sadar jika apa yang terjadi padaku bukan persoalan ringan. Ini adalah tindakan pemerkosaan yang gak bisa diganggu gugat. Aku pasti berjuang hingga ke darah penghabisan agar pria itu masuk ke dalam jeruji besi. Namun terlepas dari kejadian itu, aku tersadar jika harus datang dan mengunjungi tempatku dibesarkan selama beberapa tahun, itu tujuan utamaku. Jujur saja jika aku tidak punya banyak ingatan tentang masa kecilku. Semua ingatanku berpusat disekitar tempat ini sejak umurku tujuh tahun. Aku ingat bagaimana aku bermain dan bersekolah dengan riang. Ingat bagaimana Ayah membantuku bersiap ke sekolah lalu menyiapkan sarapanku. Aku ingat sering melihat Ayahku mengikuti apel pagi dan semuanya. Namun kenangan itu rusak dengan kejadian semalam di kota ini.
Aku akhirnya pamit meninggalkan pertengkaran mereka dan berjanji akan kembali. Okta dan Deta mencegahku saat akan keluar ruangan namun aku bersikukuh jika aku baik-baik saja. Tapi aku memang tidak bohong. Tubuhku memang baik-baik saja, tapi ingatan tangan penjahat itu mengerayangi tubuhku membuatku ingin muntah.
Kunaiki transportasi bentor dan mengatakan ingin diantar ke sebuah wilayah. Wilayah yang dalam ingatanku, yang ternyata selama lima belas tahun terakhir telah banyak berubah. Aku turun di kompleks rumah dinas tantara dan bertanya pada penjaga. Mataku tak henti mengamati dalam diam. Dulu sekali tempat ini sangatlah kecil, sekarang? Sungguh banyak berubah. Aku diantar masuk ke sebuah kantor mini dan diminta duduk di sana. Aku mengedarkan pandangan, menyapu sekeliling. Asing. Semuanya masih asing.
"Ada yang bisa kami bantu Nona?"
Seorang tentara berusia awal lima puluhan menyapaku hangat. Senyumnya akrab.
"Eh... begini pak, saya ingin menanyakan kabar kehilangan salah satu anggota keluarga lima belas tahun yang lalu apakah ada informasi?"
Tentara itu menilaiku. "Anggota keluarga? Tempatnya bukan di sini Nona. Kau harus ke kantor polisi dan membuat laporan."
"Ayahku dulunya adalah tentara di tempat ini, aku ingin tanya nih Pak, apa selama aku pergi ada yang menemukan keberadaanya? Karena jujur hanya aku keluarga dekatnya."
"Siapa nama ayahmu?"
"Kapten Hendra Purnajaya, dulu aku bersama Ayah tinggal di tempat ini, namun karena sesuatu dan lain hal aku harus meninggalkan tempat ini."
Mata tentara dihadapanku dipenuhi keheranan. Ia seolah sedang mendapati sesuatu yang sangat berharga pada diriku.
"Kau Disa? Ingat Om? Om ini adik tingkat Ayahmu di satuan. Om ingat kau tinggal di depan rumah dinas Om dulu, kau lupa?"
Aku mengerjap beberapa kali. Namun sama sekali tidak mengingat apapun. Namun kubalas senyumnya seraya menjabat erat tangan pria itu.
"Iya Om. Ini Disa. Apa ada informasi mengenai Ayah?"
Kepalanya menunduk, wajahnya sayu disertai helaan napas Panjang."Kami sudah pernah memasukkan dia dalam daftar orang hilang, namun sampai sekarang tidak ada tanda-tanda apapun karena keluarganya tidak ada yang mencari atau menghubungi, sudah hampir empat belas tahun Disa. Om sampai saat ini tidak bisa mendapatkan bukti dan kejanggalan apapun dari menghilangnya ayahmu. Ada beberapa spekulasi jika mungkin saja Ayahmu jatuh dari tebing dan tidak ada yang melihatnya."
Aku menarik napas kuat-kuat. Rasa sesak mengerjapku. Aku tahu jika bukan itu masalahnya. Aku harus tahu ada apa sebenarnya. Aku tahu ada yang aneh, namun tentang apa itu aku tidak bisa menjelaskan.
"Apa Om tahu bagaimana cara agar keberadaan Bapak bisa diketahui?"
"Om bukan orang yang punya kuasa Disa. Tapi kalau ingin mengurus dengan status kau sebagai ahli waris, maka Om bisa membantu urusan administrasinya, namun tentu sebelum itu keberadaan dan status Ayahmu harus ditetapkan dulu secara hukum agar semuanya jelas."
"Jadi Disa harus kemana dulu Om?"
"Saran Om, jika kau mau urusan ini berjalan mudah, kau harus meminta bantuan orang yang punya jabatan atau kuasa, sejauh ini kalau pimpinan tinggi yang memberi perintah urusannya selalu cepat."
Kutinggalkan tempat itu dengan perasaan gamang. Aku diminta datang hari senin untuk membuat surat pengantar kehilangan sebelum menuju ke kantor polisi. Urusan ini memang berat dan akan menggerus banyak emosiku. Namun aku tidak punya jalan mundur selain menghadapinya. Aku tidak bisa menahan persoalan ini lebih lama lagi.
Di perjalanan saat tiba di cottage, ada segerombolan polisi yang berkumpul. Perasaanku sangat tidak enak apalagi saat melihat wajah Coki. Sekujur tubuhku merinding. Mual menyergapku. Aku masuk ke cottage tanpa melihatnya. Kudengar suara Okta juga Deta memaki-maki bak orang kesetanan.
"Dasar kalian gila ya. Gila. Masih berani datang ke sini buat minta maaf? Pergi. Disa gak bakalan cabut laporan atau mau menawarkan perdamaian, Brengs*k,"Okta memaki. Entah apa yang terjadi dan bagaimana detail hingga gerombolan polisi ini ada di depan cottage namun aku mencium gelagat yang tidak baik. Kupilih duduk di atas kursi dan berusaha menata napasku. Aku penasaran apa yang ingin dibicarakan pria berambut putih dengan wajah penuh intimidasi di depanku. Dibelakangku ada Okta juga Deta. Wajah Stenly juga Barat pucat pasi. Aku tahu apa yang akan kuhadapi sebentar lagi.
"Kedatangan saya ke sini atas permintaan ayah Coki, jika kami menawarkan jalur perdamaian. Ini akan menguntungkan kedua belah pihak."
Kedua alisku mengenyit. Jalur perdamaian jenis apa yang diharuskan untuk menguntungkan kedua belah pihak? Sedangkan aku adalah korban di sini. Aku dilecehkan.
"Lagipula tidak ada saksi saat kejadian itu terjadi. Coki juga luka parah. Jika ini sampai ke meja hijau tentu tidak akan baik bagi karir kalian berdua."
Aku tersenyum sinis.
"Pak wakil bupati menitip pesan, jika benar ada jalan, akan lebih baik jika kalian dinikahkan saja."
Aku tidak bisa menahan diri. kulempar asbak ke dinding hingga pantulannya mengenai kaki pria tua sinting di depanku.======
Jika ingin baca lanjutannya bisa ke karyakarsa dan KBM app yak. Jangan skip bacanya biar paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Beda Usia
RomanceWarning! Bacaan untuk dewasa 18+ Bagaimana jika pria dingin berhati batu kelak akan jatuh cinta pada gadis kecil yang dia selamatkan dan ditampung sementara tinggal di rumahnya? Sultan Panembahan seorang perwira tinggi militer membawa pulang seorang...