Bab 42

3.5K 278 8
                                    

Bagian 42.
(Selamat baca,tinggal 4 bab lagi) maybe minggu depan lagi updatenya.

🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Dinginnya kamar membuatku seperti berada dalam atmosfir lain. Kepalaku jadi mumet setelah mendengar penuturan Bang Sultan apalagi sekarang melihatnya seperti sedang menulis sesuatu.

"Kalau kamu memang tidak menginginkan apapun, kamu pasti bisa langsung sepakat sama ini, Disa. Aku sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi di depan sana, tapi langkah pencegahan wajib untukku. Tidak ada yang pasti hingga detik ini. Yang aku lakukan hanyalah pencegahan."

"Hhmm. Oke. Kalau gitu Disa juga mau nambahin poin tujuh bang."

"Silahkan,"jawabnya dengan gestur wajah menantang.

"Disa ingin semua yang Disa miliki sebelum kita menikah, dan setelah kita berpisah menjadi milik Disa."

"Apa maksud dari klausal poin ini?"

Dua tangan Bang Sultan tertaut dibawah dagu. Kedua alisnya hampir saja bertemu. Jika saja aku bisa mendekat ingin kubantu rekatkan alis tebal itu sekalian.

"Pokoknya semua harta yang Disa Miliki, apapun yang ada dalam diriku, semua yang kukenakan, atau kudapatkan, meski itu pemberian Bang Sultan, selama melekat pada tubuhku maka itu adalah hakku. Bagaimana?"

Bang Sultan melihatku dengan mata memicing. Aku membalasnya dengan tingkah yang sama.

"Kamu pikir aku tertarik sama hartamu? Deal. Mari kita tambahkan klausal milikmu."

"Eitss... coret poin ke enam. Karena sama aja sama poin ke dua. Disa gak mau tiba-tiba kita nikah begini, terus Disa dapat harta terus semua milik Abang, yah gimana dong hidupku nanti? Minimal klausal perjanjian kita mengatur tentang harta ya milik masing-masing dong, kalau anak? Ya gak mungkin. Bukannya Abang gak mau ketularan penyakit?"

Kukira caraku ampuh, karena tak lama setelah melihatku beberapa detik poin ke enam dicoret dan diganti sama poin tawaranku. Saat aku menerima sodoran kertas dari Bang Sultan, kali ini aku merasa meski ada bagian yang sedikit tidak adil, setidaknya pasal enam udah dihapus. Pasal itu lumayan membuat dadaku bergemuruh tentang kemungkinan hal yang dipikirin Bang Sultan. Karena biar bagaimanapun, aku sepakat sama Bang Sultan. Kalau semua resiko harus kami pikirkan dengan matang.

Ya, bang Sultan adalah pria. Biar gimanapun dia adalah suamiku. Terlepas dari semua prasangka buruknya tentangku, jika kami benar-benar berhubungan layaknya suami istri aku harus jujur lebih dulu sebelum sepakat melakukan hubungan itu. Aku yakin Bang Sultan bukan tipikal pria gelap mata. Sepanjang yang aku tahu dia mampu melakukan semua hal dan memperhitungkan segala resiko dengan matang. Bahkan pada poin penjelasan jika nanti dalam hubungan ini kami memilki anak juga terlintas dalam pikirannya. Itu menandakan pertimbangannya bahkan sudah lebih jauh ketimbang sikapnya yang memperlihatkan seolah meremehkanku.

Lampu telah dimatikan saat kami berdua akhirnya berbaring di atas ranjang. Sejauh ini aku tidak menemukan masalah berarti saat tidur di samping Bang Sultan. Salah. Lebih tepatnya, dia selalu lebih dulu bangun ketimbang aku. Jadi aku tidak tahu bagaimana rupanya sebelum tidur dan saat bangun tidur. Namun dia pasti melihat dan mengamatiku. Tipe orang seperti Bang Sultan memiliki skill pengamatan diatas rata-rata.

"Bang besok pagi setelh sarapan kita langsung ke bailk Ya?"

"Hhmmm."

"Masih ada barang yang belum ku ambil di rumah lama, bantuin ya?"

"Hmmm. Minta qodril membantumu besok."

"Aku jaga sore sampai mau pagi, jadi apa bisa Qodril menjemputku jam dua pagi?"

"Bisa. Besok aku kasih tahu, mending kamu tidur,"jawabnya gusar.

"Abang kenapa sih? Kayak orang PMS?"

"Udah Disa. Tidurlah. Besok aku harus bangun lebih pagi."

Setelahnya aku tidak lagi mendebat. Bang Sultan langsung mengubah posisi tidurnya dengan membelakangiku. Aku memilih melakukan hal yang sama dan mematikan lampu nakas disebelahku.

Siang harinya saat aku telah tiba di rumah sakit beragam ucapan selamat telah aku terima dari semua staf. Selain ucapan selamat ada juga kado kecil yang kuterima hasil urunan beberapa rekan dokter. Aku menerimanya dengan rasa haru juga bangga. Namun itu tidak berlangsung lama karena pasien terus berdatangan hingga malam hari. Paling parahnya karena seminggu ke depan aku kebagian jadwal menemani dokter Obgyn dalam melakukan operasi. Operasi yang semulanya hanya berlangsung selama satu jam, menjadi panjang karena aku berkali-kali salah dalam menginterpretasi instruksi dokter. Aku cukup ahli dalam hal jahit menjahit namun berada dalam kamar bedah membantu dokter Obgyn merupakan kali ketiga, sehingga aku tidak bisa dikategorikan berpengalaman.

Malang bagiku karena harus bertemu dengannya selama enam hari ke depan. Kata Suster Risna, jadwal partus pasien akan diperkirakan bertambah beberapa hari ke depan jika melihat banyaknya hari perkiraan lahir pasien dokter Obgyn ini.

"Mbak, dokter Angkasa gak praktek di luar gitu? Kenapa semua pasiennya di suruh datang lahiran di sini sih?" keluhku dramatis. Aku masih mengingat bagaimana interaksi dokter galak itu yang masih sempat bercanda dengan pasiennya namun galak minta ampun sama juniornya. Dia pikir hanya dia saja yang pusing?

"Justru yang datang ke rumah sakit ini rata-rata yang udah gak kebagian operasi diklinik kandungan dia, dok. Baru buka dua tahun belakangan, tapi rame pasien kontrol tiap hari gak usah ditanya. Antriannya sampai jam tiga subuh, bayangin. Kalau bukan dr. Angkasa yang sengaja menjadwal hari kontrol, semua ibu-ibu itu pasti datangnya tiap hari, dok."

"Serius segitunya? Di tempat seperti ini angka kelahiran tinggi juga ya?"

"Justru karena jumlah klinik kandungan terbatas makanya pilihannya sedikit. Jadi dr. Angkasa hanya bisa meladeni pasien yang sama sebulan dua kali. Kecuali ada kondisi khusus misalnya pendarahan atau pecah ketuban biasanya langsung ditangani cepat."

"Dokter Angkasa itu orang asli sini ya Mbak?"

"Iya asli sini kok, dok. Selepas masa residennya selesai dia langsung kembali ke sini, orang tuanya udah pada sepuh, dok."

"Udah nikah dia Mbak?"

"Nah itu mana aku tahu, Mbak."

Selesai mengorek informasi sama suster Risna aku segera mencatat jadwal visite yang harus kulakukan pasca oprasi dan meminta para suster itu mengingatkanku besok. Karena jika menilik sikap dokter Angkasa, maka aku akan menjadi sasaran empuk makian jika melewatkan beberapa hal. Malangnya nasib kami para dokter Internship. Namun kami bisa apa selain menerima? Kadang-kadang aku menyesal kenapa aku tidak selesai sekolah kedokteran lebih awal? Sehingga tak perlu ada internship seperti ini. Teman angkatanku seperti Dian dan Widi bercerita jika internship baru diberlakukan beberapa tahun terakhir.  Salah satu tujuannya demi menambah jam terbang para dokter sebelum salah mendapatkan surat ijin praktek.
Aku tiba di rumah pukul tiga subuh bersama Qodril dengan banyak barang. Aku meminta Qodril membantuku memindahkan beberapa barang dan menaruhnya di depan kamar. Aku akan membereskannya besok setelah bangun pagi.

Karena jam menunjukkan pukul tiga lebih dan aku tidak yakin bisa bangun cepat, oleh karena itu kugunakan waktu yang ada membuat sarapan dan menyiapkan apa yang bisa kusiapkan. Sejak tinggal di rumah Bu Sinan selama empat tahun aku terbiasa membantu Bi Mira bangun subuh dan melihatnya menyiapkan makanan. Aku mengadopsi beberapa resep masakan dari Bu Sinan, bahkan metode masak tempe bacem yang enak juga berhasil ku adopsi. Bohong kalau aku tidak punya tujuan, saat memasak sepagi ini berharap Bang Sultan mau membantuku saat aku dalam masalah nantinya.

Waktu menunjukkan pukul empat lewat saat aku masuk ke kamar. Aku belum sempat mengatur pakaianku karena bergegas ke rumah sakit. Terlihat Bang Sultan tertidur pulas dari suara dengkurannya. Ah... ternyata pria berbadan besar ini juga tidur mendengkur? Berarti dia juga manusia. Bukan hanya kenebo berlapiskan baja beton.

Aku memilih masuk kamar mandi lalu mencuci wajahku, tak lupa menyikat gigi dan menggunakan spray kesukaanku sebelum mengganti baju dengan baju tidur. Kamar ini adalah tipe kamar tidur sederhana berukuran tiga kali empat. Tak ada yang berlebihan. Ukuran kamar mandi juga hanya dua kali satu sentimeter. Jangan harap ada shower atau bathup. Bahkan kamar mandinya pun hanyalah kamar mandi biasa dengan wc jongkok.

Lima belas menit kemudian aku bergabung bersama Bang Sultan. namun suara dengkurannya makin terasa jelas ditelingaku. Samar-samar aku juga merasa terbuai dan tak lagi mengingat setelahnya.

Sebuah gerakan membuatku tersentak lalu membuka mata. Tangan Bang Sultan memegang pergelangan tangan kananku secara tiba-tiba. Namun entah bagaimana tangan kanannya di pinggangku lalu Hanya sekejab dia bisa membuatku berpindah ke atas tubunya hanya dalam satu gerakan.

"A—apa... ma—maksud i..."
=========

Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang