Bagian 4
Sultan Panembahan masuk ke rumah dalam keadaan marah. Saat melihat wajah Sultan yang dalam keadaan marah, Sunan segera memberi kode kepada saudaranya agar meninggalkan meja makan. Disa yang terperangah oleh hawa rumah yang tiba-tiba berubah semenjak kedatangan Sultan dan ayahnya, Jendral Suardi menjadi salah tingkah lalu berjalan mundur menjauhi ruang makan.
"Harusnya mereka tidak dibela, apa Bapak tau kelakuan para teman-teman bapak di luar sana? Mau sampai kapan aku diam?"
"Sudah Sultan. Sudah. Apa yang dikatakan Bapakmu benar. Syukur-syukur kamu hanya diberi sangsi kecil dan bisa Kembali di tempat tugas. Jangan lagi, Nak. Jangan bikin jantung ibumu ini copot. Tolong Ibu," Sinan meratap pada anaknya. Tangisnya akhirnya mengucur.
"Itu butuh waktu, Sultan. Bapakmu ini, tidak mungkin memilih mengorbankan kamu setelah Bapak meninggalkan institusi. Bapak sudah memasuki masa purna tugas. Mencari kesalahan orang lain hanya akan jadi boomerang bagi kamu dan juga orang-orang yang dekat dengan Bapak. Mereka juga punya keluarga, punya karir. Coba kamu pikir dulu sebelum bertindak, Nak."
"Kenapa? Hanya karena dia punya posisi penting di kepolisian, lalu kita yang tahu kejadiannya hanya bisa diam? Bagaimana kalau besok Sasran atau Sidni yang terjerumus Narkoba? Apa bapak masih bisa bilang begini?"
"Sudah Sultan, cukup! Cukup! Ibu gak mau ada ribut ribut. Sudah cukup ibu syok dengar kabar perceraian kamu, jangan lagi ditambah dengan masalah baru."
Baik Sasran dan Sidni yang menyembunyikan diri di tangga masih belum berani menampakkan diri. Mereka paham betul jika mereka muncul maka deretan kesalahan akan dijejer mengalahi Panjang kereta api. Menahan diri adalah wajib yang mereka lakukan. Beda halnya dengan Disa yang merunduk di pantry. Pertikaian itu berlangsung hingga Silvi masuk ke rumah dan berjalan bak ratu lalu memanggil Disa. Silvi yang yang kini beranjak remaja menjadi orang ke dua yang ditakuti di rumah besar itu. Ajaib bagaiman anak kecil itu bisa mengeluarkan expresi seperti Sultan. Aura mirip Sultan. Lalu saat mata kecilnya menatap Paman serta Kakek dan Neneknya secara bergantian selama beberapa detik, tak ada respon atau perubahan mimik di sana.
Mulut Sasran berdecak kagum dari celah tangga. Kepala Sidni menggeleng tak percaya seolah melihat kilau berlian pada diri ponakannya.
"Aneh dan ajaib. Sikap ibunya mirip kunti, namun auranya mirip Sultan. Kalau kita bukan saksi mata Silvi memang benar anak Sastri, semua orang sepakat Silvi mungkin anaknya Sultan,"gumam Sasran pada Sidni.
"Jangan ribut. Perasaanku gak enak liat ada Silvi gabung di situ,"keluh Sidni mulai meraba-raba detak jantungnya.
Namun pandangan Silvi segera menyapu seluruh ruangan seperti mencari seseorang yang sedang berbuat salah padanya.
"Kenapa baru pulang jam segini, cucu Nenek? Kamu habis dari mana?"
Silvi masih terdiam. Matanya memandang mata nenek, kakek, lalu pamannya secara bergantian.
"Aku menunggu jemputan hingga dua jam lamanya, kemana Om Sasran?"seru Silvi tanpa basa-basi.
Lutut Sasran lemas. Apalagi melihat expresi Sidni yang pucat pasi saat mendengar ucapan ponakannya. Lagipula kenapa bisa Sasran lupa menjemput ponakannya? Terlebih saat mendengar teriakan Sultan yang membahana memanggil nama Sasran. Sejujurnya ia sudah tahu, kalau dalam rumah itu si kecil Silvilah pemegang kendali.
**********
Satu jam kemudian saat kondisi mulai tenang, Disa akhirnya memilih keluar dari tempat persembunyiannya. Disa sempat mendengar perseteruan itu akhirnya membuat Bu Sinan dan jendral Suardi masuk kamar tanpa makan malam. Sasran memilih kabur lewat pintu belakang karena takut kena bogem Sultan. Butuh beberapa menit bagi Disa saat memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya lalu meregangkan badan. Namun, malang tak dapat di tolak. Ia tak menyangka jika ternyata keputusannya keluar dari tempat persembunyian terlalu cepat. Karena Sultan sedang duduk di meja makan dan menyantap makanan tanpa suara. Bagaimana bisa ada manusia seperti ini?
"Sa- salam hormat, Pak," seru Disa takut-takut.
Namun Sultan tidak menjawab. Dia hanya melanjutkan aktifitas makan hingga tak piringnya bersisa, lalu meninggalkan meja makan tanpa kata. Saat asisten rumah beres-beres piring di atas Meja, saat itulah Disa tersadar dari diamnya. Segera dibantunya kegiatan beres-beres dapur malam itu lalu masuk kamarnya secepat yang dia bisa.
Pagi harinya saat sarapan pagi, baru kali ini, Disa melihat seluruh anggota keluarga berkumpul. Biasanya saat mereka sekeluarga berkumpul lebih banyak di rumah dinas Jendral Suardi di jakarta, dan Disa tidak pernah ikut. Selama empat tahun tinggal lebih di rumah itu, Disa selalu tidur di rumah. Bahkan saat semuanya mudik ke kampung halaman bu Sinan, Disa tetap tinggal di rumah. Sejauh ini Disa telah dikenal para sepupu dan keluarga pemilik rumah yang dia tinggali ini sebagai asisten rumah tangga, dan Disa tidak pernah keberatan tentang itu.
Sebenarnya Disa masih memiliki beberapa tugas. Jika dia diijinkan meninggalkan rumah itu dan memulai hidup sendiri, pasti dia tidak lagi merepotkan orang lain. Namun memikirkan akan tinggal di luar seorang diri juga membuat Disa takut sekaligus cemas. Namun, sekarang keputusan akhir ada pasa bu Sinan, sebagai orang yang paling tua dan berpengaruh dalam hidup Disa, Bu Sinan harus diminta pendapat, dan disinilah Disa berada, duduk di sebelah Sinan dengan Sidni sebagai pendengar.
"Bu, DIsa berencana cari kerja setelah sekolah,"sahut Sinan tanpa aba-aba.
"Loh? Kamu gak senang tinggal di sini sama Ibu? Apa gajimu kurang?," cecar Sinan.
"Bu-bukan Bu. Disa pengen hidup mandiri, coba cari kerja sendiri, gak mau repotin ibu lagi."
Namun belum sempat bu Sinan menjawab suara Sastri menginterupsi.
"Tidak. DIsa tidak boleh keluar dari rumah ini. Bagaimana aku harus mencari orang untuk membantu mengerjakan PR SIlvi? Sean juga udah terbiasa dengan Disa. Tambah kacau kerjaanku kalau Disa pergi, jangan sampai ya Bu. Aku nggak setuju."
"Lo? Kamu kok egois gitu Tri? Ini Disa udah banyak bantuin kamu lo, gak peduli kamu panggil dia malam atau pagi banget pasti dikerjain, sekarang Disa juga mau berjuang buat masa depan dia, iya nggak Dis?"
"Nggak, Disa nggak boleh, sampai aku nemuin orang yang bisa bantuin aku handle Silvis ama Sean, coba tanya Sasran sama Sunan kalau mereka setuju," sinis Sastri seolah yakin jika dia pasti menang. Kali itu Disa tahu jika niatnya ingin keluar dari rumah itu tidak akan pernah berhasil. Dia harus mengubur mimpi-mimpinya. Lalu mata Disa bertatapan dengan mata Sinan.
"Kata Sunan kamu lolos masuk perguruan tinggi, kenapa nggak lanjut kuliah aja?"
DIsa menelan ludah. Bagaimana caranya untuk bilang jika dia tidak mau lebih lama menampung utang budi. Karena dia pun tak mampu menghitung besarnya hutang budi pada keluarga itu. Entah bagaimana Disa harus menjelaskan secara sopan dan dapat dipahami namun tak menyinggung hati bu Sinan.
"Iya, Bu. Disa lolos, tapi Disa juga tahu diri kalau biaya kuliah gak murah, kalau selamanya Disa tinggal di sini, Disa nggak akan bisa mandiri, Disa rencananya mau cari kerja, lalu kalau tabungan cukup, Disa baru lanjut kuliah, Bu. Sedangkan kalau Disa kuliah, Disa tidak yakin bisa melakukan semua tugas di rumah, bisa membantu ibu di rumah, Disa nggak mau merepotkan Ibu,"jelas Disa dengan nada Sendu
Saat mendengar perdebatan itu, Disa melihat Sultan ikut bergabung lalu duduk di salah satu kursi, bersebrangan dengan posisi orang-orang yang sedang berdebat tentang masa depan Disa.
"Disa bisa meninggalkan rumah ini, kalau pendidikannya selesai lalu dapat pekerjaan, bukan keluar rumah demi mendapat pekerjaan. Saat kamu selesai kuliah dan mendapat pekerjaan, saat itulah kamu bisa meninggalkan rumah ini. Tak perlu tidak enak, toh kamu kerja juga digaji di rumah ini. Jadi tak ada hutang budi. Bukan begitu, Bu?"
"Betul kata Sultan, Disa." Tambah Sinan.
"Lagipula, beberapa hari yang lalu, Utimu menghubungiku, dia menanyakan kabarmu. Aku menjelaskan bahwa kamu aman di rumahku."
Disa menelan ludah dengan sulit. Ini kali pertama dia mendengar pria itu bicara Panjang lebar dengannya. Bahkan hingga hari ini, Disa masih kesulitan mengatasi gugup yang menerpanya saat melihat Sultan. Pengaruh kejadian masa lalu dan bayang-bayang dia bersembunyi selama beberapa hari tiba-tiba saja menyeruak, meski kerinduan akan bapaknya sering muncul, namun Disa berusaha menahan diri hingga Uti yang menghubunginya lewat Sultan. Disa hampir saja melupakan fakta yang satu itu. Fakta jika hingga saat ini, dia belum pernah bertanya secara langsung kabar Uti.
"Nah, denger tuh, Sultan aja gak ngijinin, inget ya Dis, kamu belum boleh ninggalin rumah ini, nggak boleh."
Disa tahu kalau keluar dari rumah ini sama sulitnya dengan mencari keberadaan ayahnya. Apakah dia mengaku saja pada Sultan yang sebenarnya? Bahwa bapaknya hilang dan dia sebenarnya melarikan diri?
"Atau kamu lebih suka saya pulangkan ke kampung halamanmu dan dipaksa menikah di kampungmu? Mau pilih mana?"
Sidni tersedak. Disa diam seribu bahasa. Semuanya memusingkan bagi Disa. Dia tak tahu jika masalahnya akan seribet ini.
"Kamu sebaiknya kuliah saja Disa, semua pekerjaan rumah bisa kamu lakukan pulang dari kuliah, nanti ibu kasih tahu sama bi Mira, kalau pekerjaan kamu dikurangi dan hanya hari sabtu sama Minggu bagaimana?"
Disa tertegun. Dia tahu akan sulit bagi dirinya menjelaskan sulitnya kuliah diantara tumpukan tugas dan tekanan lainnya. Tapi, dia punya pilihan apa?
"Tapi, Disa tidak yakin bisa untuk....."
"Alah, Disa, kok aku merasa kamu dikasih hati kok makin melunjak ya? Jangan bikin kami merasa bersalah dong, kurang bai kapa kami selama ini?"
"Sastri, mulutmu ya, gak malu sama anak kamu Silvi? Pokoknya mulai besok kamu harus cari orang lain buat bantuin kerja kamu, tugas Disa hanya dampingin Mira, sama Sari. Nggak ada cerita bantuin kamu ngasuh dan ngurusin dua anakmu, selama empat tahun ini, kurang apa Disa bantuin kamu?"
"Lah Bu? Disa, kan, memang pembantu kan?"
Disa makin menundukkan pandangan. Ia tak tahu harus berkata apa. Sejak awal dia tahu usahanya tidak akan membuahkan hasil. Namun Disa yakin harapan itu pasti ada. Terutama setelah dia bisa meminta nomor Uti dari Sultan. Cepat atau lambat Disa harus menghilangkan ketergantungannya akan keluarga ini.
Sultan berdehem keras. Lalu berdiri. Dua matanya memandang Disa. "Kalau kuliahmu selesai dan kamu masih belum juga keluar dari rumah ini, tak perlu menunggu ijin, Aku yang akan mengusirmu lebih dulu, pegang ucapanku."
Suara Sultan bagai titah. Bu Sinan mendesah pelan lalu memijat tangan Disa seolah menguatkan efek dari perkataan Sultan. Lalu Sultan pergi tanpa menghiraukan teriakan Sidni yang menudingnya terlalu tega dengan berbagai sumpah serapah.======
Bab 5 malam ini
Bab 6-10 bisa di baca gratis di KBM app.
Di aplikasi KBM dan karyakarsa malm ini udah sampai bab 20.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Beda Usia
RomanceWarning! Bacaan untuk dewasa 18+ Bagaimana jika pria dingin berhati batu kelak akan jatuh cinta pada gadis kecil yang dia selamatkan dan ditampung sementara tinggal di rumahnya? Sultan Panembahan seorang perwira tinggi militer membawa pulang seorang...