Bagian 51

3.2K 267 2
                                    

Bagian 51

Pandanganku kosong. Aku seketika mencari tempat duduk saat mencerna informasi dari Hans.

"Tapi ada banyak kemungkinan Bu, karena bangkai pesawatnya tercerai berai. Suara ledakan memang terdengar samar. Saksi mata mengira itu bagian dari tembak menembak. Ternyata adalah ledakan. Organisasi ini memang terkenal suka melukai masyarakat dan bermusuhan dengan apparat. Beberapa waktu lalu suami istri yang ditugaskan di tempat terpencil dibakar beserta rumahnya. Jasad mereka ditemukan dalam keadaan berpelukan dan..."

"Stop Hans. Aku tidak memintamu menceritakan pengalaman orang lain. Aku memintamu bercerita kemungkinan yang akan terjadi pada bang Sultan!," seruku mulai kehilangan kendali.

"Ma-maaf Bu. Biasanya kalau jasadnya tidak ditemukan maka, bisa saja mereka sedang berjalan mengitari hutan. Butuh waktu berhari hari berjalan tanpa henti untuk menemukan pemukiman penduduk karena lokasi jatuhnya berada di tengah hutan belantara, hingga detik ini belum ada info apapun seputar penemuan jenazah atau mayat, jadi masih ada kemungkin mareka selamat."

Aku menarik napas lega.

"Berapa persen kemungkinan mereka selamat Hans?"

"50;50 Bu. Kita hanya berharap beberapa hari ke depan kita menerima kabar, karena yang aku tahu pesawat itu membawa ibu hamil."

Astaga. Kepalau tambah sakit.

"Apa di helikopter itu ada petugas Kesehatan?"

"Setahu saya tidak ada Bu. Tak ada petugas Kesehatan. Makanya ibu itu dipaksa ikut terbang untuk mendapatkan bantuan medis, namun terlambat karena terjadi adu tembak. Hingga menyebabkan pesawat jatuh."

"Oke Hans. Terima kasih. Aku akan bertemu para istri tentara yang lain dan menenangkan mereka."kataku akhirnya.

Hampir lima jam aku duduk bersama belasan ibu PERSIT yang memandang televisi dengan pandangan kosong. Tayangan di TV menayangkan beberapa kemungkinan lain pada seorang staf ahli keamanan negara yang mengetahui kondisi dan keadaan pedalaman Papua. Kami menontonnya dengan hati was-was. Tayangan demi tayangan kembali membuatku bergidik. Tayangan itu menyebabkan isi kepalaku berpendar oleh banyak hal.

Aku hanya pulang ganti baju atau mengambil sesuatu, jarak  tempat kami berkumpul dengan rumah dinas yang kutinggali hanya berjarak seratus meter. Pikiranku kemana-mana apalagi melihat beberapa ibu tidak berhenti menangis. Beberapa ibu yang tidak kehilangan suami turut menghiburku, bahwa tidak mudah menjadi aku yang harus kehilangan suami padahal umur pernikahan kami hanya seumur jagung. Aku berdecak dalam hati. Tak peduli seberapa besar umur pernikahanku, atau entah apa yang akan terjadi nanti aku harus memastikan Bang Sultan harus pulang dengan selamat. Dia tidak boleh pergi seperti ini.

Pukul sebelas malam aku kembali ke kamar dan menghirup aromanya yang masih tertinggal. Aku menghirup sisir yang dipakainya. Aroma rambutnya masih tertinggal. Aku masih mengingat rasa bibir dan caranya membuatku kesulitan bernapas. Ingatan itu terus menerus menghantuiku hampir tiap malam.

Saat akan berbaring ponselku berbunyi. Uti menghubungiku. Ah... kenapa bisa aku melupakannya?

{Halo Uti..} sapaku pelan

{Dis, aku baru lihat berita. Itu benar?}

{Iya Uti..}jawabku lesu

{Kamu yang sabar. Mau Uti kirimin sesuatu dari jogja? Mau wingko? Atau Pia?}

{Gak perlu Uti. Pikiran Disa lagi gak singkron, Uti tahu? Beberapa hari ini Disa gak bisa senyum, melakukan apapun seperti gak bertenaga, Uti tahu? Di-disa menangis. Air mataku kayak gak ada batasannya, ada terus stoknya }keluhku sembari menepis kembali air mata yang berhasil lolos dari sudut mataku.

{Yoo wajar toh. Dia kan suamimu. Wajar kalau kamu sedih}
Tapi hubungan kami bukan hubungan pada umumnya Uti. Aku takut. Aku terlampau takut pada akhirnya aku yang akan mengemis pada bang Sultan. Aku tak bisa mengakui jika pada akhirnya aku... aku merasakan sesuatu yang aneh untuknya. Aku sulit mengakui pada diriku sendiri jika ada yang berkembang dan bermekaran. Semuanya terlalu sakit untuk aku akui.

{Iya Uti } kemudian aku teringat sesuatu yang harus kutanyakan

{Uti.. dulu Bang Sultan atasan Ayah kan?}

{Iya. Setahu Uti sih begitu, kenapa Dis?}

{Disa kok mikirnya, mereka lebih dari sekedar kenal?}

{Ya Namanya aja atasan sama bawahan, yoo pasti ada hubungan Kerjasama, kenapa sih?}

{Pikiran Disa sampai pada pemikiran kalau Bang Sultan sebenarnya tahu penyebab menghilangnya Ayah Disa.}

{Itu bisa jadi..... tapi yoo Uti mana tahu. Yang Uti ingat, semenjak kamu tinggal di rumahnya sejak kabur itu, orang-orang yang sering mencarimu sudah tak pernah datang lagi ganggu Uti. Kamu tahu kan kamu dicari-cari waktu itu? Uti sampai bersumpah}

{Iya, Disa ingat Uti pernah cerita}

{Itu bertahan sampai tahu ke dua, ada saja lo orang yang cari kamu, Uti alasan kalau kamu pergi menyusul Ayahmu. Terus... ya Udah... gak ada lagi yang cari, mungkin mereka tidak mengira kamu ke Jogja karena Uti masih tinggal lama di Ampana. Kalau Uti ingat itu, duh... gimana ya. Kalau sekarang Uti udah gak takut kamu dicariin. Karena kamu udah besar, kalau ada apa-apa  pasti bisa minta pertolongan }

{Sejak saat itu udah gak ada lagi yang nyari Disa ya?}

{Iya udah tidak ada. Tapi kalau kamu mau cari kebenaran yang lainnya maka, suamimu pasti tahu banyak. Uti tidak tahu alasan suamimu diam, mungkin ada kaitannya sama tugas rahasia, karena hanya itu yang bisa masuk dalam pikiran Uti sebab Suamimu tetap diam.}

Ada benarnya. Hanya itu alasan yang bisa dipahami sejauh ini.

{Oke Uti. Disa pamit bobo dulu, besok Disa kabarin kalau ada kabar dari Bang Sultan, Ya}

Pembicaraan kami selesai pukul sebelah lebih dua puluh. Perbedaan waktu antara Indonesia bagian tengah dan bagian barat membuat Uti menelponku karena di Jogja sendiri ini masih jam 10 malam. Aku melanjutkan membuka pesan di aplikasi. Ada beberapa pesan dari saudara bang Sultan hingga voice note. Aku membalas sekadarnya dan menjawab akan mengabari mereka jika ada info lebih lanjut.

Hari keenam pasca kepergian Bang Sultan dan hari ketiga sejak dia kehilangan kontak dengan satuannya tak ada kabar yang terdengar. Siang hari aku masih di rumah sakit namun izin lebih cepat karena harus melakukan beberapa tugas. Piha rumah sakit menginjinkanku selama aku membutuhkan waktu.

Aku sampai di aula battalion utama pukul lima sore. Aku merasa seolah hatiku telah tertaut dengan para Wanita PERSIT yang juga menunggu kabar kepulangan suaminya. Hatiku nelangsa. Tiba-tiba Hans yang awalnya berdiri di sampingku langsung berdiri dan berlari ke belakang. Namun saat mengamati respon Hans dan beberapa orang yang diajaknya keluar aku merasa jika ada sesuatu yang terjadi. Namun Hans tidak berbalik saat kupanggil.

Saat itulah aku melihat sebuah tayangan di TV. Segerombolan pasukan TNI sedang  berdiri dibelakang panglima TNI Angkatan darat dan memberikan klarifikasi. Pandanganku berkabut karena setelah berbicara selama beberapa menit seorang pria yang kukenali tampak duduk dan memberi keterangan tambahan.  Di sampingnya Panglima TNI terlihat menepuk bahu dan memujinya. Air mataku mengalir tanpa permisi.

Hanya beberapa menit setelah siaran langsung itu ditayangkan tangisan kembali tercipta. Semua anggota TNI termasuk pilot selamat. Mereka memutuskan menyusuri Hutan karena membawa Ibu hamil yang terluka. Aku tidak bisa membayangkan para anggota TNI itu menolong persalinan di tengah hutan belantara dengan kondisi yang mengerikan.


Aku masih menenagkan para ibu dan saling berpelukan selama beberapa saaat. Butuh tiga jam sejak tayangan itu berlangsung dan kami masih memutuskan menunggu, kabarnya pesawat helikopter akan tiba pukul dua belas malam dan langsung membawa para anggota TNI yang bertugas pulang ke Luwuk.

Hatiku berdebar penuh harap. Telingaku berdengung saat mendengar suara deru mesin. Waktu seolah melambat saat aku menyaksikan satu persatu dari para anggota TNI itu masuk ke dalam ruangan dan mendapat pelukan dari sanak keluarganya.


Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang