Bab 12

4.2K 362 17
                                    

Bagian 12.

Aku menarik napas dengan berat saat bang Sultan masih berdiri di depan kamarku dan aku sama sekali tidak mampu mengangkat wajahku. Randal berbisik padaku jika perjanjian sponsor yang tadi dibicarakan akan dilanjutkan via telpon.

"Kami tidak melakukan apapun, Bang,"kataku tanpa ditanya

"Aku belum mengatakan apapun, Disa. Tapi aku punya satu permintaan, dan ini penting..."

Kuangkat wajahku. Semua tidak lebih dari caraku menghargainya.

"Aku tidak ingin kamu memiliki hubungan apapun dengan keluargaku, paham?"

"Ta-tapi... bang?"

"Siapapun adikku. Mulai besok dan seterusnya, blokir akses seluruh adik-adikku, atau kamu akan merasakan akibatnya."

Kali ini aku benar-benar tidak mengerti maksuda dari bang Sultan. Apa salahku?

"Tapi, bang, itu tidak mungkin. Aku masih harus menghadiri pernikahan, kak Sidni, lalu ibu?"

"No. jangan sebut nama adikku atau nama Ibu dengan mulutmu. Hingga hari ini aku menyesal pernah membawamu, andai waktu bisa diulang aku pasti menurunkanmu di tengah jalan dan tidak akan membawamu masuk ke keluargaku."

"Apa?"

Kukira aku pernah merasakan sakit teramat sakit saat dituduh mencuri. Kupikir rasa sakit adalah saat aku harus menangis karena tidak memiliki kemeja putih atau tidak bisa membayar tagihanku. Aku pernah menangis berhari-hari menyesali hidup kenapa harus hidup sendiri dan sebatang kara. Namun mendengar penyesalan orang lain karena telah menolongku adalah versi lain dari sakit hati lainnya.

"Mulai sekarang, anggap saja kamu tidak pernah mengenal siapapun dari keluargaku. Kalaupun bertemu secara tidak sengaja, perlakukan mereka sebagaimana mestinya, namun jangan pernah berniat menjalin hubungan apapun, Disa. Ingat pesanku. Kamu tahu jika aku tidak mungkin main-main sama ancamanku bukan?"

"A-aku salah apa Bang? Disa selalu mematuhi apa yang Bang Sultan bilang. Kenapa harus seperti ini lagi?"

Jujur yang terbayang dalam benakku adalah wajah Ibu Sinan. Aku sudah berjanji padanya akan datang saat libur tiba, akan membantu Sidni melaksanakan pernikahannya nanti. Aku senang karena merasa memiliki keluarga lagi. Tapi ini?

"Kamu tidak salah, Disa. Aku yang salah karena membawamu ke keluargaku, jadi mulai dari sekarang, aku anggap semua impas. Jangan tunjukkan wajahmu di keluargaku lagi, oke?"

Aku masih diam di tempatku berdiri.

"Oke?"ulangnya lagi dengan suara yang sedikit meninggi. Aku bergidik, suaranya menggelegar hingga membuat irama jantungku berlomba.

"Iya Bang Sultan."

"Good. Semoga ini pertemuan kita yang terakhir Disa. Selamat tinggal, jaga dirimu."

Dadaku masih berdebar setelah pria itu pergi begitu saja. Kurasa besok aku harus memeriksakan diriku ke dokter spesialis jantung. Meski baru bisa tidur beberapa jam kemudian, kurasa setidaknya hatiku bisa lega setelah menangis.

Keesokan paginya aku sudah berada di bandara bersama dengan seorang dokter gigi yang berada satu lokasi denganku di RSUD Luwuk banggai. Saat melakukan browsing beberapa hari yang lalu hingga ke proses persiapan aku mencari tahu banyak hal tentang salah satu kabupaten yang memiliki banyak gugusan pulau ini. Aku juga sudah memesan penginapan selama beberapa hari sebelum tinggal dirumah petak sewa yang rencana akan kutinggali selama setahun. Besok aku berencana membeli beberapa perlengkapan dan kebutuhan rumah kontrakan yang terdiri dari satu kamar, ruang tamu dan kamar mandi itu. Tempat yang akan kutinggali selama setahun merupakan hunian sewa yang sering digunakan para pegawai negri yang ditugaskan di kabupaten itu. Dari segi harga sesuai standar. Sejak awal kami diberitahu jika anggaran daerah tidak akan cukup menggaji kebutuhan dasar para dokter instership, maka, kami harus siap dengan semua resiko nantinya.

Pesawat yang kutumpangi harus transit sebanyak tiga kali sebelum akhirnya tiba di bandara udara Syukuran Aminuddin di kecamatan Luwuk banggai pukul empat sore. Menakjubkan bagaimana pertama kali kakiku menginjakkan kaki di kota ini. Letak bandaranya berbatasan langsung dengan laut.

"Keren banget ya, Dis pemandangannya?"

Aku mengiyakan lalu bergegas menarik koper mini yang kubawa. Kukabari Uti jika aku sudah tiba di Luwuk. Daerah yang hanya berjarak tiga jam dari daerah dimana aku dibesarkan selama beberapa tahun sebelum mengikuti keluarga Abang Sultan. Kini, aku sepenuhnya meyakinkan diriku tak perlu lagi berurusan dengan keluarga itu apapun yang terjadi. Ya, itu bukan perkara sulit.

Tiba di penginapan dan balkonnya langsung mengarah ke lautan lepas membuatku sangat Bahagia. Sudah lama sejak aku benar-benar menikmati pantai seperti in. biasanya aku mengunjungi pantai karena kontrak pekerjaan, namun sekarang sebenarnya juga karena pekerjaan, hanya saja beda jobdesk. Kali ini aku punya tugas memeriksa pasien dan memastikan mereka mendapatkan perawatan serta diagnosa yang tepat.

Malam harinya aku memilih beristirahat dan membiarkan Okta berjalan sendiri mengelilingi kota. Meski aku sangat tergiur dengan penjelasan dan review dari social media tentang daerah ini, Aku benar-benar kelelahan sehingga memerlukan tidur yang cukup sebelum besok melapor di unit tugas. Pagi hari selepas sarapan aku memilih datang di awal waktu di rumah sakit Luwuk, dikenalkan pada beberapa dokter dan perawat. Serta dijelaskan secara rinci jadwalku. Kurasa kekurangan tenaga medis di tempat ini tidak main-main. Meski aku bisa memiliki waktu kosong di jumat malam, dan satu hari libur di hari selasa, hampir setiap hari aku harus standbye di rumah sakit selama dua belas jam. Waktu kosong yang kumiliki hanya pagi hingga siang hari. Hampir setiap malam hingga jam dua pagi bisa dipastikan waktuku hanya berada di rumah sakit. Belum termasuk hitungan jika ada pasien emergency.

Hanya setahun Disa. Hanya setahun. Kamu pasti bisa. Ini adalah kata yang sering ku ulang-ulangi selama beberapa hari terakhir. Aku bisa memanfaatkan waktu libur hari selasa jika ingin berkunjung ke kota tempatku dibesarkan dan menguak sebab menghilangnya Bapak, dan kenapa tidak ada berita penyelidikan tentang itu.


Perjalanan membeli beberapa barang kebutuhan rumah petakku tidak memilki kendala. Ajaib semua bisa terbeli hanya dalam waktu tiga jam. Aku membeli peralatan standar serta dua meja yang berfungsi sebagai meja kerja dan meja untuk makan. Di dapur kecil aku masih membutuhkan jasa pengecatan agar tampilannya bisa lebih enak dipandang. Karena jika memandangnya sekejab, siapapun akan kehilangan selera untuk memasak. Aku beruntung bisa mendapatkan kulkas bekas milik penyewa sebelumnya yang sengaja ditinggalkan karena pindah tugas. Kurasa beberapa hari lagi setelah selesai pengecatan, rumah ini bisa kutinggali.

Ngomong-ngomong soal tetangga, hampir seluruh rumah sewa ini dihuni oleh para abdi negara yang telah berkeluarga, tak jauh dari sini adalah asrama dan markas milik TNI Dan POLRI. Jadi menurutku, tempat yang akan kutinggali termasuk daerah yang aman. Apalagi, saat membuka pintu dapur belakang, pemandangan laut membentang sangat memanjakan mata. Jenis ikan segar beraneka ragam hampir membuatku kalap dan ingin membelinya saat di pasar tadi. Namun aku sadar selain Okta, aku belum memiliki teman yang akan menikmati makan bersamaku. Mungkin satu atau dua minggu lagi.

Okta memilih hunian yang lebih kecil dan murah sesuai dengan budget yang dia miliki. Aku beruntung mendapatkan hunian ini hasil dari berselancar dan gerak cepat menghubungi pemiliknya serta tidak ragu membayar uang muka. Meski lantainya bukan dari keramik, dan dindingnya mengelupas serta dipenuhi bekas coretan anak-anak, aku yakin hanya butuh sedikit renovasi hingga tempat ini akan menjadi cantik. Aku berencana memasang vinyl setelah proses pengecatan selesai. Semoga lusa vinyl yang kupesan di toko bangunan akan datang. Untuk dinding aku memilih warna olive garden serta tea leaves. Warna yang sama juga kugunakan pada kamar tidurku di Jogja.

Saat mengunci pintu rumah dan mengenakan sepatu kets milikku, dua pria mendekat dan terlihat ingin menyapaku.

"Selamat sore, Mbak. Apa ada yang bisa kami bantu?"

Kubuka kacamata dan memasang senyum terbaikku untuk mereka.
"Wah iya ni Mas, lagi nunggu bapak tukang cat sebenarnya, mungkin besok pagi baru bisa datang," jawabku setelah menyambut tangan mereka dan memperkenalkan diri. Ternyata keduanya merupakan perwira kepolisian yang bertugas di Polres luwuk. Keduanya telah tiga tahun lamanya tinggal dan bertugas di kota ini. Kusampaikan juga jika aku akan tinggal selama setahun di tempat itu, dan berharap bisa diterima dengan baik. Hasil dari pertemuan itu tentu saja membuatku masuk bergabung dalam grup penghuni "Rumah Nyaman" agar bisa update segala macam acara dan kegiatan.

Dua puluh menit kemudian aku berhasil pamit dan menolak tawaran pengantaran dari dua pria itu. Alasan merepotkan dan masih ingin mengunjungi tempat lain adalah alasanku. Namun, aku hanya ingin Kembali beristirahat ke hotel tempatku menginap selama beberapa hari. Okta akan meninggalkan penginapan besok dan menempati kost-kostan miliknya. Saat akhirnya bisa merrebahkan badan dan membalas pesan-pesanku, saat itulah pesan dari Randal kubalas. Tak ketinggalan informasi fee dari bagi hasil podcast di Maldieves juga Kembali kuterima. Saat melihat nominalnya, aku tersenyum senang karena bisa menambah saldo tabunganku. Selama ini aku selalu berhemat jika ingin membeli apapun. Prinsipku, menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak bernilai komersil akan merugikanku di hari kemudian.

Namun malam hari saat menghabiskan waktu tenang dan membalas pesan tawaran pekerjaan, sebuah telpon dari rumah sakit masuk. Dadaku berdegup kencang karena sampai hari ini aku belum mendapatkan kendaraan bermotor yang bisa kugunakan pada saat emergency seperti ini.

"Dok, dua belas pasien keracunan masuk, kami kekurangan tenaga, mohon kesediaannya untuk datang segera."

Bagai orang kalap, segera kupakai celana Panjang dan baju yang bisa kutemukan lalu memakai sepatu kets milikku. Harusnya aku baru bertugas besok, namun lain cerita jika emergency. Beruntung penjaga hotel memiliki motor yang bisa kugunakan agar bisa segera tiba di rumah sakit.

Pemandangan orang-orang yang panik dan suara tangisan  menggema. Segera ku terobos kerumunan dan mengatakan pada penjaga jika aku dokter yang sedang bertugas. Aku masuk setelah beberapa detik penuh perjuangan. Saat mendengar penjelasan perawat saat itulah aku melihat pasien korban keracunan yang terdiri dari wanita dan anak-anak. Dua dokter jaga yang lain sedang kewalahan. Empat korban lainnya sedang dalam perjalanan. Aku menyadari kehadiranku menjadi sorotan, atau beberapa mulai mengenalku? Aku tidak peduli. Namun dadaku berdebar, ketakutan menyergapku secara tiba-tiba. Ini adalah tugas pertamaku, bagaimana jika?

"Dua dokter yang lain sama sibuknya denganku, bedanya mereka biasa melewatinya tanpa kepanikan. Aku duga mereka sudah biasa mednapatkan kasus seperti ini. Hampir tiap beberapa detik teriakan kepanikan terus terdengar. Aku sadar harus bisa melewati hal ini. Aku pasti bisa. Aku hanya harus tenang agar bisa melakukan diagnosis yang seharusnya.

"Dok, beberapa pasien mulai stabil, beberapa sampel udah diambil untuk penyelidiikan lebih lanjut, tadi pihak kepolisian datang, dan meminta keterangan lebih lanjut, ada pejabat TNI yang meminta bertemu dokter juga karena empat dari korban ini adalah anak-anak dari anggota TNI."

Aku menutup mata. Menghela napas Panjang. Dua dokter lainnya mengangkat tangan seolah menyerahkan itu padaku. Kututup mata, menyiapkan mental. Aku sudah berulang kali selama bertahun-tahun mempelajari ini di rumah sakit.

"Tenang bapak ibu, semua kondisi sudah tertangani, kalau pasien sudah agak lebih tenang, bapak dan ibu bisa bergantian masuk, untuk sementara biarkan pasien hanya dijaga oleh satu orang saja, berhubung ruangan kami terbatas,"jelasku pada beberapa orang berseragam di hadapanku.

"Kalau boleh tahu, kami bicara dengan siapa?,"tanya salah seorang polisi.

"Saya dokter jaga, dr. Gladisa dara Hendra."jawabku, aku baru sadar tidak mengenakan atribut apapun selama menangani pasien. Aku hanya mengenalkan diriku pada perawat dan dokter di dalam.

Mereka lalu menanyakan kondisi salah seorang anak yang ternyata adalah anak salah seorang letnan TNI. Ternyata makanan yang disantap pada acara yang diadakan pada malam itu membuat beberapa anak dan orang dewasa keracunan. Beruntung kondisi dari beberapa mereka bisa ditangani dan kurasa aku bisa menenangkan kepanikan mereka meski hanya sekejab.

Lalu beberapa anggota TNi secara tiba-tiba melakukan sikap sempurna. Beberapa polisi terlihat melakukan hal yang sama saat satu rombongan berseragam TNI mendekatiku. Namun, sesuatu dilambungku memaksa untuk keluar saat mataku bersiborok dengan mata yang sangat tidak ingin kutemui saat-saat seperti ini. Aduh, tidak. Jangan bilang.

Jangan sampai.

Kurasa aku akan muntah sebentar lagi. Dua pria berseragam polisi yang berjalan tidak jauh dari rombongan itu kukenal sebagai pria yang akan menjadi tetanggaku di rumah petak nanti. Ya Tuhan. Kenapa ada ujian psikologis seperti ini.

Seorang prajurit menjelaskan Kembali apa yang kusampaikan padanya tadi. Mata pria yang kuduga adalah atasan dari para pria berseragam TNI  disekitarku masih menatapku dengan sorot tak dapat kubaca.

"Ini dokter jaga yang bertanggung jawab, dr. Dara Hendra, Pak."tutur salah seorang pria berseragam padanya.

Kami bertatapan lama. Sorot matanya masih tak bisa kubaca. Apa yang harus kulakukan? Tersenyum? Bermanis-manis padanya? Atau berlagak seperti pembantu? Namun sebuah kesadaran menerpaku. Sekarang aku berada di medan tempurku, dan aku bukan lagi pembantu di rumahnya. Aku bebas melakukan apa saja kali ini tanpa harus didera rasa waspada dan ketakutan.

======

Di KBM aplikasi sama karya karsa malam ini bakalan double UP hingga bab 30. Sekarang lagi di ketik.

Bagi kalian pecinta novel Bara di mata Bary, tgl 18-28 desember saya bagi bagi buku Dinar bagi di work Jodoh beda usia di KBM aplikasi. Jangan lupa subscribe ya 😁😁

Jodoh Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang