𝓓𝓸𝓴𝓽𝓮𝓻 𝓱𝓪𝓷𝔂𝓪 𝓭𝓪𝓹𝓪𝓽 𝓶𝓮𝓷𝓭𝓲𝓪𝓰𝓷𝓸𝓼𝓲𝓼 𝓷𝓪𝓶𝓾𝓷
𝓣𝓾𝓱𝓪𝓷 𝓵𝓪𝓱 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓴𝓾𝓪𝓼𝓪 𝓪𝓽𝓪𝓼 𝓼𝓮𝓰𝓪𝓵𝓪𝓷𝔂𝓪
"Sejak saat itu aku mengenal Kak Alva"
"Dengan sejuta kebohongan yang ia tutupi dari ku dan orang-orang t...
Setelah turun dari MRT Bogor, Azhima dan Ali berjalan kaki menuju pusat perbelanjaan. Tak jauh dari mereka turun.
Keluar dari mall, Azhima membeli banyak barang. Ali membantu membawakan dua kantong besar yang sangat menguras ruang. Keduanya lalu pulang menaiki taksi. Karena saat berangkat dari kampus, motor Ali bannya bocor. Butuh waktu lama untuk memperbaikinya, kata tukang bengkelnya. Tidak ingin membuat Azhima kecewa, Ali mengusahakan mencari kendaraan di tempat sepi saat motornya diperbaiki. Tidak mungkin juga untuk berjalan, karena jaraknya yang jauh dari mereka berpusat. Sampai akhirnya, mereka naik becak hingga ke MRT.
><
Ma, Alva pulang telat hari ini. Ada praktek. Maaf ya ma.
Menutup handphonenya setelah mengirimkan pesan singkat ke Vatma. "Pasien Alvandra Evano? Ditunggu dokter Erwin di ruangan" seorang perawat memanggil Alva.
Alva terbangun, masuk ke ruangan. Sejak tadi, jantung Alva berdetak kencang. Tidak siap untuk melihat hasil observasi yang telah dijalankan.
Setelah keluar hasilnya, dokter Erwin menunjukkannya ke Alva.
"Kamu tidak ingin memberitakannya ke orang tua kamu?"
"Untuk apa?" Menjawab dengan datar.
Alva membacanya sendiri dan diamati sendiri. Sembari melihatnya dokter Erwin menjelaskannya pada Alva "stadium pertama dan kedua menyebar secara cepat di otak kamu. Saat ini, telah muncul hasilnya bahwa stadium tiga juga mulai tumbuh dan menyebar."
Alva menjatuhkan lemas selembar hasil MRI Scan yang ditangannya. Kedua tangannya tiba-tiba lemas tidak ada kekuatan. Secepat itu? Menghempas pelan udara yang masuk.
Dokter Erwin mencoba mengalihkan keadaan "Namun ini dapat dibantu dengan pengobatan untuk membantu mengecilkan ukuran tumor.
Kamu harus berusaha untuk sembuh. Apalagi kamu ini calon dokter hebat. Masih ada peluang untuk sembuh." membujuk Alva agar tidak putus asa. Alva masih terdiam seperti patung. Pikirannya kini kacau, berantakan, ingin sendirian.
Mendadak kaki dan tangan Alva kesemutan dan kebas. Tak kuat menahannya, ia terjatuh di lantai. Alva tak berdaya, sontak dokter Erwin meminta tolong untuk mengangkat Alva ke tempat tidur rumah sakit.
Alva hanya bisa merasakan sesuatu yang menusuk-nusuk tubuhnya.
Kini ia terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit dengan terpasang selang infus. Alva pingsan tidak sadarkan diri setelah disuntikkan infus pada tubuhnya.
Di ruangan yang sunyi, Alva terbaring sendiri tanpa teman atau keluarga disampingnya yang menemani.
Berniat tidak ingin membuat mereka sedih, merepotkan, dan menyita waktu sibuk mereka. Alva jalani sendiri semuanya. Didampingi dengan dokter Erwin.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Temenin kak><
Alva bilang pada Vatma, ia telat sebentar dan akan pulang. Namun hingga sekarang ia masih belum sadar setelah 10 jam. Masih pada tidurnya yang terlihat sangat menenangkan di wajahnya yang masih sangat muda itu.
Saat malam menjelang pagi, Alva baru terbangun di jam 2 pagi. Ia mencoba menggerakkan pelan tangan yang terpasang jarum dan selang infus itu. Sedikit demi sedikit akhirnya lumayan bisa untuk digerakkan kembali. Lalu ia teringat pada chat nya yang dikirim sore tadi ke Vatma.
Bergegas ia bangun dari ranjang dan mencabut infus yang masih melekat di tangan. Wajahnya menyeringai menahan sakit. Lalu ia turun, berjalan mengarah pintu keluar.
Setelah menutup pintu, tak sengaja berpapasan dengan dokter Erwin. "Loh, kamu mau kemana?" Tanya dokter Erwin kebingungan. "Saya mau pulang" pintanya terlukis ekspresi melas. "Tapi ini masih malem. Pulang besok saja. Lagipula kamu belum saya periksa." "Ya sudah, periksa sekarang" memajukan langkah, mendekat ke dokter Erwin.
Alva memohon sangat agar dibolehkan pulang, karena takut Vatma khawatir dan menanyakannya yang aneh-aneh.
Akhirnya setelah memohon dengan memelas, Alva dibolehkan untuk pulang tanpa mengetahui keadaannya. Sudah membaik atau masih memburuk.
Sebelum pergi, dokter Erwin mengingatkan jangan lupa selalu meminum obatnya. Alva mengangguk paham memberi senyum dan pergi meninggalkan dokter Erwin.
Alva mengendap-endap di depan gerbang rumahnya. Dilihatnya pak satpam yang sedang berjaga-jaga. Pak satpam yang melihat sorot lampu dari mobil yang ternyata mobilnya Alva. Segera ia membukakan gerbang untuk Alva.
Setelah memasukkan mobil ke depan teras, ia turun dari mobilnya. Alva menghampiri satpam tersebut, untuk menanyakan apakah Vatma sedang tidur atau masih menunggunya pulang? Satpam itu menjawab Vatma Alva sudah tertidur sejak semalam. Alva mengacungkan jempol lalu pergi mengarah pintu masuk.
Alva masih dengan mengendap-endap untuk berjaga-jaga. Ia mencoba bersembunyi dibalik tanaman-tanaman hias yang ada. Sampainya didepan pintu, dengan pelan Alva membuka pintu tersebut hingga tak menghasilkan suara.
Setelah dibuka, tahu-tahu Vatma sudah menunggu dibalik pintu itu. Dengan kemoceng yang dibawa tangannya. Lalu kemoceng itu dipukulkan ke tubuh Alva sebagai pelampiasan rasa kesal dan kecewa Vatma. Karena Alva telah melanggar janjinya.
Alva berjingkrak-jingkrak meringis tak karuan menahan rasa geli dari kemoceng. Melihat Alva meringis seperti tidak ada penyesalan, Vatma membalik kemoceng itu, lalu memukulkan lagi dengan bagian pemegangnya. Tak sengaja pemegang yang terbuat dari rotan cukup keras itu memukul tangan kiri Alva bekas infus. Alva sontak memekik kesakitan, namun tidak terlalu lantang. "Aaaaaaaa" sembari mengelus-elus punggung tangannya. Padahal, mama memukulnya pelan dan tidak berniat untuk melukai. Namun, karena masih ada rasa nyeri, wajar saja Alva memekik kesakitan.
"Kamu kenapa?" sontak memegang tangan kiri Alva. Vatma curiga dengan memar biru di tangan Alva. "Ini kenapa?" Memegang tangan memar Alva sambil bertanya khawatir. Alva bingung ingin menjawab apa, lalu ia punya ide "Tadi ada praktek memasang infus, terus satu anak disuruh coba satu persatu" meringis ragu.
Alva kembali berbohong untuk menutupi apa yang terjadi padanya. Vatma terdiam seperti tak percaya atas pengakuan Alva.
"Ya sudah masuk. Langsung bersih-bersih dan tidur". Tak disangka mama malah menyuruh Alva untuk pergi ke kamar. Alva berpikir ia akan mendapat sidang dari mamanya. Ternyata tidak. Mungkin karena mama memahami anaknya yang tengah lelah praktek seharian. Alva bergegas ke atas menuju kamar. Sampai dikamar, langsung ia mementalkan pelan tubuhnya ke ranjang beristirahat sejenak.