みや | Break time

117 16 0
                                    

Kelopaknya mengerjap hal itu membuat kesadarannya mulai naik ke permukaan saat kepala Osamu menoleh pada jam dinding, 03:17 pagi buta. Alisnya mengernyit manik yang kesana kemari tak bermaksud mencari suatu hal dia kembali menatap ke depannya, Atsumu masih berbaring.

"Kebangun, Sam?"

Dia belum tidur? tanya Osamu begitu melihat Atsumu ternyata terjaga semalaman penuh. Suaranya kedengaran baik, sedikit serak.

"Lo udah bangun dari tadi?"

Osamu tahu kakaknya tidak tidur sejak tadi tetapi Atsumu malah membenarkan pertanyaannya. Lelaki itu mengangguk dan mengulum senyum tipis.

Ada panggilan masuk sebanyak tiga kali dalam mode silent, sang ibu menelepon. Ibunya juga mengirim pesan berkata kalau pagi nanti dia sudah akan sampai.

"Mama telepon."

"Udah sampe?"

"Kayanya jam tujuh nanti."

Atsumu hanya diam memperhatikan.

Ponselnya ditaruh ke nakas kecil dekat ranjang Atsumu, dia baru saja menyadari hal yang terlupakan. Kelelahan lebih dulu menaklukan Osamu sampai-sampai ingin melanjutkan pembicaraan mereka ia jadi ketiduran.

"Maaf tadi gua ketiduran, bisa dilanjut lagi ngobrol yang tadi?"

"Lo tidur empat jam" tanpa menyudutkan salah satunya, Osamu terdiam di tempat.

Dia tahu. Itu agak kelewatan karena lagi-lagi membiarkan Atsumu sendirian terjaga sepanjang malam, Osamu memberikan tatapan tenang yang tak begitu mencorok.

"Gimana keadaan lo? masih dingin?"

Kepala yang disanggah bantal itu menggeleng samar dua kali bersama mata yang satu kali mengerjap. Osamu mendekatkan dirinya, dia meraih salah satu telapak Atsumu, merasakan sendiri kalau dingin sudah tak mendominasinya dan tangannya dibawa ke dekat mulut, Atsumu menghembuskan napasnya untuk membuat Osamu percaya kalau dia sudah lebih baik daripada tadi.

Osamu tersenyum melihat perilaku Atsumu yang seperti itu.

"Gua mau tau lebih jelas dari sebelumnya, sampai mana tadi?" dia bersandar pada lengan Atsumu, melihatnya dengan kepala yang miring kiri. Tangannya kini berada di atas badan kakaknya, menggenggamnya, tidak terlalu erat tapi terasa hangat dirasa.

"Gua gak mau lo anggap menyedihkan setelah ini, jangan kasihanin gua."

Osamu diam dan memilih berdeham.

"Lo udah tau soal kelahiran gua yang seharusnya gak ada, salah satu dari kita harusnya mati saat itu. Tapi gua hidup dan menjalani hari hari sebagai anak yang selalu jatuh sakit."

"Gua juga gak ngerti. Kita lahir beda berapa jam tapi cuma gua yang kaya gini, sakit sakitan, tapi gua bersyukur karena lo engga."

"Mungkin bener apa yang mama bilang, kelahiran gua itu salah satu anugerah buat dia, buat lo."

Osamu tidak ingin menyela. Dia diam mendengarkan baik-baik. Merasakan kehidupan Atsumu yang masih menyalang di dekatnya.

"Ada satu waktu, gua harusnya mati lagi karena saat itu gua masih kecil, tubuh gua gak kuat buat nerima penyakit terus terusan dan bokap juga udah ikhlas."

"Tapi gua gak mati. Ajaib haha."

"Atau mungkin belum pas waktunya."

"Atau juga, gua diingatkan kalo waktu gua ini udah gak banyak lagi."

"Gua emang sakit sekadar flu atau demam. Yang gua tau dari penyakit sekunder itu semua hanya pemicu. Alasan kenapa gua selalu bolak balik rumah sakit karena kelainan saraf otak."

"Kita gak pernah tau selama ini. Makanya gua bukan gak aware, karena hasil lab itu selalu diulang sampai bosen rasanya buat tau. Sejak di diagnosa punya penyakit bawaan dan bentuknya mirip tumor, mama takut lo juga sama."

"Tiap tahun kita ambil check up itu semua biar lo gak kaya gua, biar lo gak sakit atau kalo sakit pun gak lelet gini penanganannya."

"Tapi lo baik baik aja dan lagi lagi kita bersyukur lo gapapa, Sam."

"Hasil lab diagnosis terbaru turun dan gua ditetapkan sebagai penderita penyakit langka, Elusifonem."

"Nama penyakitnya nyebelin."

"Karena gua gak mau mama stress mikirin gua, jadi gua rahasiain itu."

"Dan lo tau."

"Sampai beberapa hari lalu gua masih gak tau sakit apa, rasanya gila karena lo sakit tapi gak tau penyakit lo ini kaya gimana dan apa yang harus lo lakuin supaya sembuh."

"Makanya dokter saranin obat penenang. Buat bikin gua yang kaya binatang liar ini berubah jinak."

Itu memang seperti kedengarannya. Osamu tidak berusaha membenarkan, Atsumu mungkin tak tahu cara yang lebih tepat untuk menjelaskan rasa mualnya tiap kali mengingat obat penenang yang menyokong dirinya.

"Selama ini gua jalanin terapi juga biar penyakit ini gak segera itu menyerang."

"Mulai dari obat penenang, kemo terapi, bolak balik check up, tes darah, anjuran ke psikolog, dan semuanya."

Tangan Atsumu meremat telapak Osamu. Melampiaskan kekesalannya atas segala usaha yang dilakukan tapi tak merubah keadaan.

"Gua baru tau kemarin, kalau ini penyakit yang gak terlihat dari luar. Hasil lab kemarin bilang levelnya udah akhir, jadi indra penglihatan dan pendengar gua udah sensitif banget. Sama suara, sama huruf."

"Dan yang lebih brengseknya lagi cuma gua yang tau. Gimana bisa jelasinnya? orang orang mungkin gak akan sepeka itu, dan gua gak bisa selalu menghindar."

"Itu alasan kenapa selama ini dokter selalu kasih tau lo buat bikin gua tetap di rumah mau kaya apa caranya yang penting gua gak keluar."

Kepalanya naik, menatap Atsumu keseluruhan setelah sebuah hal muncul dalam benaknya.

"Kalau gak bisa sembuh, kita masih bisa mencegah tiap tiap lo kambuh, Tsum."

Mata ungunya bergulir dengan kelopak memejam lemah. "Gak ada. Gua udah bilang kerja obat penenang itu mirip suntik bius hewan liar biar jinak, badan gua gak terima. Karena itu satu satunya. Mau gak mau gua minum."

"Gua bakal cari caranya supaya lo gak terlalu sensitif. Obat itu gak selalu berbentuk pil dan bubuk kan? kalo masalahnya kaya lo, kita bisa cari obat lain dengan rupa yang sama dari apa yang lo derita."

"Sam, lo keras kepala banget." dengus senyuman tak bertenaga itu akhirnya muncul. Osamu menggenggam tangan Atsumu dengan dua telapaknya. Menatapnya dalam.

Selang beberapa jam, matahari terbit dan mamamiya datang bersama sang suami. Mereka membahas kembali tentang mana yang lebih baik untuk Atsumu.

Tak menyangka mendengar semua pernyataan dokter. Mamamiya sempat menangis di ruang dokter dan memohon untuk kesembuhan Atsumu.

Kejadian ini terus berulang, dokter sudah memutuskan Atsumu melanjutkan perawatannya dari rumah dengan bantuan selang infus dan alat penyokong rumah sakit lain.

Juga dengan perhatian medis tentunya.

Osamu sudah membayangkan akan selalu melihat selang infus itu bersama kakaknya tiap kali Atsumu berkeliaran dalam rumah.

Tapi itu lebih baik.

Hal baiknya karena Osamu sudah tahu dengan jelas apa yang harus dia lakukan. Mencari cara untuk membuat penyakit Atsumu menghilang atau setidaknya melunak.

▪︎•▪︎

Halo there! have a nice day.

to be continue..

ElusifonemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang