Rhival menyimpan asal sendok serta garpu yang dipakainya sehingga menimbulkan bunyi yang tak mengenakan dari piring yang terkena lemparan benda tersebut. Wajahnya kini terlihat dingin dan tanpa ekspresi apa pun, ia sudah muak terus bersandiwara menerima keadaan keluarganya yang sebenarnya.
Rahangnya mengeras, ia ingin berontak namun Papanya bukan tipe orang yang suka dibantah membuat ia harus terus bersikap seolah sudah menerima Sinta sepenuhnya. Tapi jauh dalam lubuk hatinya yang terdalam ia benar-benar membenci wanita itu.
Suasana ruang makan memang sudah sepi karena dari beberapa menit lalu papa dan ibu tirinya sudah pergi meninggalkan rumah yang kini hanya menyisakan Rhival dengan wajah datar dan amarah yang selalu ia tahan di depan orang tuanya.
"Shit! Gue pastiin hidup anaknya gak bakalan pernah tenang." Rhival berucap penuh penekan dan setelahnya ia bangkit meninggalkan ruang makan dengan membawa tas berniat akan langsung pergi ke sekolah. Sebuah rencana sudah tersusun matang di kepala.
Di lain sisi, Fano hanya memainkan makanan yang ada di piring tanpa berniat memakannya sama sekali, sosok itu terlihat melamun.
Sang ibu yang memang memperhatikan gelagat putranya sedari tadi menatap penuh tanya, tidak biasanya Fano melamun seperti ini apalagi di ruang makan. Ia menoleh pada sang suami yang sepertinya juga menyadari aksi putranya.
"Fan …" Nida memanggil dengan lembut tapi sepertinya tidak mampu mengembalikan fokus Fano.
"Fano?"
Tetap tidak ada hasil.
"Hei, Sayang?"
"GIFANO ANDARA!"
"Ah, ya. I'm here." Fano tersadar dengan sekali teguran nama lengkapnya, bahkan sendok yang ia gunakan kini telah terlepas dari tangan. Ia menatap tak enak pada orang tuanya, apalagi ketika melihat ekspresi yang ditampilkan oleh sang Papa.
"Maaf …" ucap Fano menunduk.
Nida yang menyadari atmosfer di ruangan ini berubah mencoba mencairkan suasana, ia cukup tau suaminya tidak suka dengan hal-hal yang menurutnya mengganggu ketika sedang makan.
"Sudah-sudah. Kamu gak papa, kan, Sayang?"
Fano menggeleng pelan. "I'am okay."
"Are you serious?"
"Yes, Mom."
"Cukup satu kali kamu berbuat hal tidak sopan di ruang makan." Suara tegas milik Ridwan sang papa kini menyapa indra pendengarannya. Fano sedikit meringis, papanya adalah sosok yang sangat memperhatikan adab.
"I-iya, Pa."
"Cepat habiskan makanan kamu."
Tanpa membalas lagi Fano langsung menyantap sarapannya. Dalam hati ia mengutuk kenapa bisa lepas kendali dengan melamun memikirkan sosok Andra yang entah ia tidak ketahui bagaimana kabarnya. Ia juga mengutuk dirinya sendiri kenapa sepeduli ini pada pemuda penuh rahasia itu.
Setelah dirasa suasana mulai kembali membaik mereka semua melanjutkan sarapan yang sempat tertunda, selang beberapa menit Ridwan yang merupakan kepala keluarga di rumah itu sudah menyelesaikan kegiatan sarapannya.
Sejenak ia membetulkan kembali dasi yang sudah dipasang oleh sang istri, menatap penuh pengertian pada Nida dan Fano yang juga menatapnya.
"Papa berangkat lebih dulu, ada hal yang harus diselesaikan sebelum meeting dengan client," ucapnya dengan penuh wibawa.
Nida mengangguk seraya memberikan senyuman terbaiknya, hubungan mereka memang sangat harmonis. "Hati-hati dan selesaikan dengan baik."
Ridwan mengangguk dengan menampilkan senyuman tipis. Ia benar-benar merasa beruntung memiliki Nida dalam hidupnya. "Jaga diri baik-baik di rumah."

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMICOLON (COMPLETED)
Teen FictionDua tokoh utama yang dipertemukan tanpa sengaja dengan membawa luka hidup masing-masing. Berusaha menjadi kuat di hadapan satu sama lain meskipun salah satu dari mereka selalu gagal dalam menunjukkannya. Hal-hal sederhana yang dilakukan Bulan selal...