Fano terbangun dari tidurnya dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuh serta napas yang terengah, dilihatnya sekeliling yang ternyata itu adalah kamarnya sendiri.
Sambil berusaha mengatur detak jantung dan pernapasannya Fano mengambil handphone yang terletak tak jauh dari tempat ia duduk. Sekali lagi ia menghela saat sadar bahwa dirinya tertidur saat tadi sedang memikirkan beberapa hal. Suara pintu yang dibuka membuat ia mengalihkan perhatian, dilihatnya Nida yang menatap khawatir.
"Kamu gak papa, kan, Sayang?" tanyanya dengan tangan yang terulur untuk menyeka keringat di kening.
Fano menggeleng pelan. "Fano takut, mimpi itu datang lagi, Ma."
Nida mengangguk mengerti, ia memang akan ke kamar ini untuk melihat putranya. Namun, saat di depan pintu dirinya mendengar rintihan membuatnya kalang kabut, ditambah dengan kondisi kamar yang terkunci. Jadi, Nida lebih dulu kembali ke bawah untuk mengambil kunci cadangan.
"Gak papa, semuanya baik-baik aja. Kamu sama Mama sama papa di sini." Dengan rasa penuh kasih sayang Nida membawa Fano kepelukkannya.
Fano tak membantah sedikit pun, ia justru menenggelamkan wajahnya pada hangat tubuh sang ibu. "Jangan tinggalin Fano, Ma. Jangan biarin Fano kembali ke sana Fano gak mau."
"Kamu gak akan kemana-mana, Nak. Tempat kamu di sini."
Dengan berat hati Fano melepaskan diri dari pelukan itu, matanya yang sedikit berair menatap Nida sendu.
"Sekarang jadwal kamu ketemu dokter Tian, kan? Kita ke sana bareng, ya? Tapi hari ini Mama juga harus ke rumah itu karena arisan keluarga. Kamu mau, kan, anterin Mama? Kalau emang kamu gak mau ketemu mereka, kamu cukup diam di mobil. Pulang lagi juga gak papa."
Sejenak Fano terdiam namun akhirnya mengangguk juga. "Kalau gitu Fano siap-siap dulu."
Senyuman manis terukir di wajah cantik itu meski sudah berumur. "Mama tunggu di bawah," kata Nida sembari mengusap pelan rambut sang anak.
Setelah kepergian mamanya, Fano bersandar sebentar pada sandaran ranjang. Meski napasnya sudah mulai teratur tetap saja ketakutan itu tetap ia rasakan. Inilah alasan kenapa saat itu dirinya bersikukuh untuk menjadi teman Andra. Karena jika dilihat lagi mereka tidak ada bedanya walaupun belum tau secara nyata apa yang dilewati oleh pemuda itu sebelumnya.
"Apa lo juga ngerasain sakitnya dicambuk pakai ikat pinggang, Ndra ...." lirih Fano. Detik berikutnya ia tersadar, tangannya mengusap wajah kasar lalu beranjak untuk mandi.
Sekitar dua puluh menit barulah Fano keluar dari kamar menuju ruang keluarga. Di sana sudah ada papa dan mamanya yang sedang menonton film.
"Udah siap, Sayang?" Nida bersuara ketika mendengar langkah kaki mendekat.
"Eum," gumamnya mendudukkan tubuhnya di dekat sang Papa.
"Kamu apa kabar, Fan?" tanya Ridwan yang memang baru pulang ke rumah tadi pagi.
"Fano baik-baik aja kok, Pa."
Ridwan mengangguk mengerti. "Ya sudah, kalian mau ke tempat dokter Tian, kan? Hati-hati di jalan dan jangan ngebut. Maaf hari ini Papa gak bisa nganter."
"It's oke, Papa istirahat aja di rumah," kata Fano dengan senyuman tipis.
"Ya udah, ayo berangkat." Nida bersuara.
Keduanya bangkit dari tempat duduk, setelah saling berpamitan barulah mereka benar-benar meninggalkan rumah.
°°°°°°°°°
Selama perjalan menuju rumah sakit, ibu dan anak itu hanya saling diam sampai akhirnya Nida menanyakan sesuatu yang membuat kening Fano berkerut heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMICOLON (COMPLETED)
Teen FictionDua tokoh utama yang dipertemukan tanpa sengaja dengan membawa luka hidup masing-masing. Berusaha menjadi kuat di hadapan satu sama lain meskipun salah satu dari mereka selalu gagal dalam menunjukkannya. Hal-hal sederhana yang dilakukan Bulan selal...