Gundukan tanah yang masih basah kini terlihat di pelupuk mata pertanda pemakaman sudah selesai dilaksanakan. Setelah penutupan do'a, orang-orang yang ikut mengantarkan jenazah Manda pun kini sudah mulai berjalan menjauhi area pemakaman yang sekarang hanya menyisakan sang anak kandung, Andra, Dimas dan juga ART di rumah Andra.
Kedua remaja itu masih setia pada posisinya, perlahan salah satu dari mereka berdiri terlebih dahulu dengan keadaan mata yang memerah bahkan masih menyisakan air mata di setiap sudutnya.
Perlahan, Andra merasakan bahunya disentuh lembut oleh seseorang. Ia menoleh dan mendapati Sri yang kini tengah menatapnya dalam, dengan anggukan kepala yang seolah meyakinkan, Andra dibantu untuk berdiri. Ia masih menangis meski tidak mengeluarkan suara. Rasanya hidup Andra benar-benar hancur sekarang.
"Kembali ke rumah sebelum Papa pulang dari kantor."
Setelah mengucapkan itu Dimas langsung berlalu begitu saja tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Bahkan untuk sekedar melirik Andra saja tidak ia lakukan.
Andra sendiri hanya diam tak menanggapi, tapi ia cukup paham untuk menuruti pesan itu.
"D-den?" Suara Ima kini menyapa dengan ragu.
Andra menoleh pada ART itu. "Andra masih mau di sini sama ibu," jawabnya yang sontak membuat Sri dan Ima saling menatap sampai akhirnya mereka berdua mengangguk.
"Baiklah, Aden hati-hati. Nak, Bibi titip Den Andra, ya?" Sri mengalihkan perhatiannya pada sosok yang sedari tadi diam sambil menatap kosong gundukan tanah di depannya.
Sosok itu menoleh dan mengangguk pelan.
"Bibi pulang, Den."
Setelah beberapa saat tetap tidak ada jawaban, Sri dan Ima pun undur diri meninggalkan mereka berdua.
Andra kembali terduduk, kedua kakinya seolah sudah tak mampu menopang berat badannya sendiri.
"B-bu …" Andra bergumam lirih. Air matanya kembali merembes keluar.
"Nanti yang lindungin Andra dari pukulan papa siapa?"
"Sekarang Andra takut, Bu …."
Sosok tegap yang masih setia berdiri di samping Andra juga kembali meneteskan air matanya, ia juga sama hancurnya dengan Andra, apalagi posisinya ia adalah anak kandung. Namun ia merasa tidak harus menunjukkannya karena tidak akan ada yang menguatkan selain dirinya sendiri. Ia hanya bisa menangis dalam diam. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, sekarang ia tidak punya seorang pun untuk memenuhi kebutuhan dan biaya pendidikan. Isi otaknya terus memikirkan semua hal.
"Bu …."
Lamunannya buyar ketika ia mendengar lagi suara Andra, dengan pelan ia memberikan remasan pada bahu pemuda itu yang sontak membuatnya mendongak.
Andra berdiri, menatap orang di depannya dengan air mata yang masih membasahi pipi.
Entah siapa yang memulai, keduanya kini saling memeluk dengan erat seolah menguatkan satu sama lain.
Hanya beberapa menit sebelum akhirnya melepas pelukan.
"Masih mau di sini?"
Andra menggeleng, kepalanya sedikit merasakan pening dan pandangannya pun seolah berkunang-kunang.
"Boleh gue ikut ke rumah ibu?"
Tanpa ragu orang di depannya mengangguk. "Ayo."
°°°°°°°
Musim penghujan sepertinya sudah mulai tiba terbukti sudah dua hari ini semesta menumpahkan tangisannya. Tak jauh berbeda dengan Andra, pemuda itu juga masih dengan lukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMICOLON (COMPLETED)
أدب المراهقينDua tokoh utama yang dipertemukan tanpa sengaja dengan membawa luka hidup masing-masing. Berusaha menjadi kuat di hadapan satu sama lain meskipun salah satu dari mereka selalu gagal dalam menunjukkannya. Hal-hal sederhana yang dilakukan Bulan selal...