Alun-Alun Kota

22 5 0
                                    

Andra baru saja keluar dari kamar mandi dengan tangan yang sibuk mengeringkan badan, sudah empat hari semenjak Dimas menghukumnya dan selama itu pula ia hanya membersihkan diri dengan mengelap badannya menggunakan handuk basah. Luka yang memanjang itu masih terasa cukup perih jika harus terkena air secara langsung.

Berjalan perlahan ke arah ranjang dengan bertelanjang dada, ia mendudukan tubuhnya di sana dan setelahnya terdengar ketukan dari pintu. Andra tebak itu adalah Ima yang memang selalu membantunya mengganti perban.

Setelah mengentuk pintu dan tanpa menunggu jawaban dari si pemilik kamar, pintu itu pun terbuka. Dan, ya. Tebakan Andra tidak meleset sama sekali.

Ima mendekat ke arah ranjang dengan tangan yang sebelumnya menyimpan nampan berisi susu dingin di atas nakas.

"Bibi ganti lagi perbannya, ya, Den?" Ima meminta persetujuan dari tuan mudanya sebelum melakukan pengobatan, karena bagaimana pun ia sangat menghormati Andra. Ah, dada dan tenggorokannya seketika terasa sesak mengingat hal-hal yang di dapat oleh pemuda itu.

Andra hanya mengangguk sebagai jawaban lalu menggeser duduknya sedikit menyamping, memberikan ruang pada Ima agar lebih mudah ketika mengganti perbannya.

Ima duduk di belakang Andra, perlahan ia melepas perban yang sedikit basah mungkin karena terkena cipratan air saat pemuda itu membersihkan diri.

Terdengar ringisan ketika perban itu dibuka yang membuat Ima juga meringis seolah merasakan ngilu.

Semuanya terlepas, dengan telaten Ima memberikan alkohol pada garis memanjang itu. "Lukanya sudah mulai kering, Den. Mungkin dua hari lagi sudah bisa terkena air."

Andra hanya diam merasakan sensasi dingin di kulitnya.

Beberapa menit berlalu, Ima sudah selesai dengan aktivitasnya.

"Apa Den Andra butuh sesuatu yang lain? Biar Bibi ambilkan," tanya Ima di sela-sela kegiatannya yang sedang membereskan kotak P3K.

Andra menghela napas pelan. "Mmm ... kalau Andra keluar sebentar gak papa, Bi?"

Ima mendongak menatap Andra yang juga menatapnya dengan tatapan penuh harap.

Kini berganti, Ima yang menghela napas. Ia cukup tau bagaimana seramnya tuan besar ketika marah, tapi ia juga tau kalau majikan mudanya ini juga tidak bisa terus-terusan dikekang seperti sekarang. Menurutnya Andra sudah cukup dewasa untuk bisa memilih jalannya sendiri tapi ia tidak ada hal sama sekali untuk mencampuri tentang itu.

"Bi ..."

Lirihan Andra kembali menyadarkan wanita paruh baya itu. Ia sedikit melirik ke arah jam yang ada di kamar ini menunjukkan pukul 14.45 masih cukup siang untuk keluar sekedar jalan-jalan.

"Tapi Aden harus janji sama Bibi jangan berbuat sesuatu yang nantinya malah mancing kemarahan tuan besar, ya?" Ima berbicara dengan serius.

Andra tersenyum tipis. "Andra janji."

"Tuan malam ini tidak pulang, tapi Den Andra harus pulang ke rumah sebelum jam delapan malam. Bibi cuma gak mau Aden kena marah lagi."

Kini senyum Andra lebih lebar. "Iya, Bi. Terima kasih, kalau gitu Andra siap-siap dulu."

Ima balas tersenyum. "Bibi keluar, jangan lupa minum susunya, ya?"

Setelah mengucapkan itu Ima benar-benar keluar dari kamar menyisakan Andra yang masih menatap kepergiannya.

Saat hendak berjalan ke arah lemari netranya menangkap dus besar yang sedari awal memang tidak dipindahkan posisinya. Arah langkahnya kini berubah, Andra mendekat ke arah dus itu dan membukanya hati-hati.

SEMICOLON (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang