PART16

51.1K 4.1K 30
                                    

#SUAMI_KECIL
#PART16

**

~Hanya ingin berhenti sejenak, aku terlalu lelah untuk kembali beranjak. Bukan karena kakiku berpijak, tetapi karena perasaanku yang terhenyak.~

***

Rasa nyeri di perut Arleta membuat gadis itu meringis. Mengapa harus selalu perempuan yang merasakan semuanya. Sakit saat menstruasi, sakit saat melahirkan, belum lagi mengandung 9 bulan 10 harinya dan ngidam.

"Laki-laki cuma tahunya nyakitin, nggak mikir perempuan itu menderita," gerutu Arleta. Gadis itu mendudukan dirinya di kursi meja makan. Hanya ada 4 bersaudara dan dirinya. Arumi dan Dewa sedang ada urusan di luar kota.

"Lo kenapa? Kayak kesakitan gitu," Arel menatap Arleta khawatir. Begitupun Wira dan Koko.

"Lo nggak pa-pa Ta, muka Lo pucat."

"Kalau sakit nggak usah ke mana-mana, Lo istirahat aja."

Koko dan Wira bangkit dari duduknya dan berlalu pergi. Menyisak 3 orang dengan keadaan hening.

"Kamu beneran nggak pa-pa? atau kita ke rumah sakit?" tanya Arel. Arleta menggeleng lalu tersenyum.

"Nggak Bang, ini udah biasa."

"Ya udah, kalau ada apa-apa telpon gue." Arel mengusap rambut panjang Arleta.

Perlakuan Arel itu tidak lepas dari pandangan Agra yang masih memakan sarapannya.

"Kalau mau makan, pacarannya ditunda dulu," sindir Agra dengan lirikan sinis pada Arleta dan Arel.

Arleta tertawa, lalu mencibir dengan tenang. "Yang kemarin ngebucin di meja makan siapa?"

Agra menggepalkan tangannya erat, menatap Arel yang tersenyum miring. Dapat ia lihat pergerakan bibir Arel yang mengucapkan kata 'Mam*us!'.

"Kenapa rasanya sesak?"

***

Hari menjelang siang, rasa nyeri di perut Arleta belum juga membaik. Tidak seperti biasanya. Arleta hanya bisa meringis diiringi isakan kecil.

Brakh

Prang

Suara barang-barang dibanting dan suara pecahan beling menggema di rumah Dewana. Sang empu rumah berteriak kesetanan memanggil satu nama. Arleta.

"ARLETA?!"

"TURUN KAMU!"

Arleta yang masih meringkuk di bawah selimut beranjak, gadis itu berjalan menuju lantai bawah dengan wajah pucatnya.

"Papah?" Arleta menatap Dewa dengan heran, pria paruh baya itu menatapnya dengan tatapan tajam.

"Jangan panggil saya Papah. Kamu bukan anak saya!" sentak Dewa dengan intonasi membentak. Arleta yang mendengar itu tersentak, ada rasa takut dan sakit di hatinya.

"Maksudnya apa ... Leta salah apa?" Arleta menunduk, menahan agar isakannya tidak terdengar. Gadis itu beralih menatap Arumi, mencoba meminta penjelasan dan perlindungan. Namun wanita paruh baya itu mengalihkan tatapannya dari Arleta, membuat gadis itu tersenyum getir.

"Kemasi barang-barang  Kamu dan pergi dari rumah saya!" usir Dewa, pria paruh baya itu menatap Arleta nyalang.

"Kanapa Pah?"

"Jangan pura-pura b*doh! Anak saya celaka gara-gara Kamu. Dia lupa ingatan gara-gara Kamu!" bentak Dewa. "Pacar kamu yang membuat Agra celaka! Dan saya tahu, kamu sudah mengetahui masalah ini tapi tidak buka suara karena dia pacar kamu, iya?!"

Arleta menggeleng lemah, gadis itu tidak sedikitpun tahu masalah ini. Bahkan baru tahu jika kecelakaan Agra disebabkan oleh seseorang. Yaitu Runa -mantan pacarnya.

"Pah, dengerin penjelasan Leta dul-"

"Saya tindak butuh penjelasan dari gadis seperti kamu! Keluar dari rumah saya!"

"Secepatnya saya akan mengurus perpisahanmu dengan anakku."

Arleta menangis sesegukan mendengar itu, belum selesai masalah hidupnya yang satu, datang satu masalah lagi.

"Aga ... Kamu di mana?"

***

Arleta menatap rumah besar di depannya. Mengumpulkan segenap keberanian dan amarahnya. Saat ini ia sedang berada tepat di depan rumah Runa.

Setelah memencet bel beberapa kali, akhirnya pintu ruma itu dibuka juga. Menampakkan wajah datar Taruna Arkasya.

"Mau apa Lo ke sini?" Pertanyaan itu diselingi tatapan sinis Runa. Pemuda itu menatap Arleta dengan datar.

Plak

Satu tamparan tepat mengenai pipi Runa. "Apa yang Lo lakuin ke Agra?"

"Apa?" Runa seolah tidak peduli dengan pertanyaan Arleta.

"Gue bilang, apa yang Lo lakuin ke Agra?!" sentak Arleta. Wajahnya memerah menahan amarah. Gadis itu menatap wajah datar Runa dengan mata memeah menahan tangis.                           
                                                                                                               "Kenapa Lo lakuin ini ke gue Una?" tanya Arleta dengan suara. "Salah dia apa sampai Lo buat celaka?"

"Berhenti manggil gue dengan nama itu! Gue muak!" desis Runa.

"Lo pikir, gue bakalan biarin kalian bahagia, setelah hancurin perasaan gue?" Runa tertawa jahat. "Lo nggak tahu sakitnya gue Ta," lirihnya.

"Lo yang nggak tahu apa-apa Runa! Lo nggak tahu kalau gue bukan dijodohin sama Agra, tapi udah suami-istri! Lo nggak tahu gimana beratnya gue nerima semuanya, gue mutusin Lo karena nggak mau salah satu dari kita terluka lebih dalam. Lo nggak tahu, Lo nggak tahu apa-apa Runa!"

Runa membeku mendengar penuturan Arleta. Pikirannya semua ini seperti drama, tidak mungkin seperti ini.

Arleta memukuli dad*nya yang terasa sakit. "Lo nggak tahu ... sakitnya gue saat Lo bilangin cewek mu*aha*." Arleta menangis.

"Ta, gu-"

"Dia amnesia, dia lupa sama gue Run! Bahkan dia selingkuh." Arleta tertawa, "ini'kan yang Lo mau?"

"Gue bakal pergi Runa. Gue nggak akan jadi alasan, Lo ataupun Agra sakit lagi."

***

Di depan gerbang bangunan besar  dua orang remaja sedang bercengkrama. Entah apa yang dibicarakannya. Arleta tersenyum melihatnya, namun berbeda dengan hatinya.

Arleta mendekati dua remaja itu, lalu tersenyum manis saat Agra melihatnya.

"Kakak ngapain di sini?" Bukan Agra, melainkan Rena.

"Gue mau ketemu Agra," jawab Arleta.

"Ken-" belum sempat Agra menyelesaikan perkataannya, Arleta sudah memeluk remaja itu.  Tidak ada penolakan, bahkan ingin membalas pelukan nyaman itu.

Suatu kilas balik berputar-putar di otak Agra.

Arleta mengecup pipi Agra, membuat sebagian murid-murid yang melihatnya terkejut. Tidak ada yang bisa menyentuh Agra, pemuda itu bisa berubah jadi singa kalau diusik.

"Jaga diri, yah. Nggak boleh bandel, Tata nggak suka su- kalau kamu bandel." Arleta kembali mendekap tubuh Agra, membisikkan sesuatu di telinga Pemuda itu.

"Jangan cari aku. I love you Kiano Agra Dewana."

Agra mengusap pipinya yang entah sejak kapan banjir air mata. Pemuda itu melihat punggung Arleta yang sudah menjauh. Perasaan sesak itu lebih menyakitkan sekarang. Entah kenapa ia merasa ada yang aneh dengan wajah itu.

"Jangan pergi."

BERSAMBUNG

Note: EHEHE, LOP-LOPNYA 😂😂😂😘

Suami Kecil | Completed |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang