#SUAMI_KECIL
#PART19***
~Terkadang kita terbuai dengan kehadiran, sampai tidak mempersiapkan ketika kita kehilangan.
Terkadang kita tidak merasa cukup dengan yang ada, dan sadar saat dia sudah tiada.
Hargai selagi ada, karena yang hilang tidak mudah untuk kembali ditemukan. ~
●●●
"Ag- ra, lepasin! Kamu gila, ya?!" Rena berusaha melepaskan cekalan tangan Agra di lengannya.
Plak! Agra menampar pipi gadis itu kencang, sehingga menimbulkan suara dan bekas memerah di pipi Rena. Gadis itu menangis ketakutan, tubuhnya bergetar melihat Agra yang sudah te**njang dad*.
"Agra, please lepasin gue. Jangan kayak gini," mohon Rena.
"Bukannya lo yang ngejar-ngejar gue duluan? Trus kenapa, ini'kan yang lo mau?" Agra memiringkan wajahnya, senyumnya merekah beberapa saat sampai senyum itu hilang digantikan tatapan tajam dan rahang yang mengeras.
"Akh!" Pekikan Rena terdengar nyaring saat Agra menjambak rambutnya lalu membenturkannya di tembok. Dar*h segar keluar dari pelipis gadis itu.
"Tadinya mau kasih hadiah, tapi gue nggak sudi. Satu hal itu cuma buat Tata, cewek mur**an kaya lo nggak pantes!"
Agra kembali menampar pipi Rena beberapa kali, sampai hidung dan bibir gadis remaja itu mengeluarkan dar*h.
"Agra, sakit! Salah gue apa?!" teriak Rena histeris saat Agra menyeretnya, dengan menarik rambutnya. Seperti psikopat, Agra membenturkan kepala Rena di tembok beberapa kali sampai terkulai lemah.
"Lo nanya salah apa?! Salah lo fatal Rena, saking fatalnya sampai gue ingin bun*h lo!"
Merasa tidak puas, Agra menginjak tangan Rena sampai terdengar bunyi tulang patah. Ia tersenyum puas, melihat wajah Rena penuh lebam membuatnya tertawa bahagia. Semenyenangkan itu. Sedang Rena, gadis itu sudah tidak sadarkan diri.
"Mampus!" desis Agra. "Kalau tau semenyenangkan ini, kenapa nggak dari dulu lo lakuin Agra? Bego!"
Agra terkekeh geli, dia ingin melakukannya lagi. Gila memang, tapi sensasi menyakiti seseorang memang seperti itu.
Setelah memakai bajunya kembali, Agra beranjak dari tempat itu dan meninggalkan Rena yang dalam keadaan mengenaskan.
Baru beberapa langkah ia berjalan, suara seseorang menghentikan langkahnya. "Ternyata lo brutal juga kalau udah marah, serem lihatlah."
Agra mengernyit, menatap orang itu datar. "Siapa lo?"
"Gue?" Pemuda itu menunjuk dirinya, "gue Regana Disyaka. Panggil aja Gana," jawabnya.
"Hm." Tidak peduli, Agra meninggalkan pemuda berperawakan acak-acakan itu.
"Kalau lo mau, Ikut gue! Emosi lo bisa terlampiaskan!" Meskipun sudah jauh, Agra masih bisa mendengar teriakan itu.
Kedua tangan dimasukan ke dalam saku. Jika melihat wajah tampan Agra, semua bisa tertipu hanya karena tatapan polosnya. Remaja itu seakan bermain-main dengan emosinya.
"Gue ikut."
***
Di sebuah ruangan luas, beberapa orang duduk dan berargumen dengan sengit. Dewa dan Arumi dipanggil ke sekolah karena apa yang dilakukan Agra pagi tadi, terekam CCTV di dalam gudang.
Rena dilarikan ke rumah sakit dan keadaannya kritis. Keluarga gadis itu tidak terima dan akan menuntut Agra atas kasus kekerasan dan pelecehan.
"Kita tunggu sampai Agra datang ke sini!" lerai Kepala sekolah, karena atmosfer di ruangan itu menyesakkan.
Brakh! Pintu dibuka dengan kasar, menampakkan wajah datar Agra yang penuh dengan lebam. "Apa?" tanyanya. Saat semua orang menatapnya.
"Yang sopan kamu Agra!" peringat Dewa, wajah pria paruh baya itu memerah menahan emosi. Ia berdiri dengan stelan jas, terlihat berwibawa.
"Nggak penting," cetus Agra, membuat Dewa naik pitam.
Bugh!
"Kenapa kamu jadi seperti ini Agra! Papah nggak pernah ajarin kamu hal liar seperti itu. Kamu hampir memb*nuh anak orang!"
"Hampir? Dia belum mat*?" tanya Agra dengan wajah pongah. Pemuda itu tersenyum melihat Arumi yang menangis sembari menunduk di hadapan dua orang tua Rena.
"Mamah ... kenapa nangis?" Pertanyaan bodoh itu seperti belati bagi Arumi. Wanita itu menghampiri putra bungsunya lalu memeluknya.
"Kenapa kamu lakuin ini Nak?" tanya Arumi parau. Wanita itu marah, kecewa dan merasa gagal kepada dirinya sendiri.
"Aga gabut," jawabnya. Pemuda itu tersenyum, lalu terkekeh geli melihat wajah Arumi. "Mamah nggak cocok nangis, jelek. Maskara Mamah luntur."
"Jaga sikap kamu Agra! Kamu bisa dikeluarkan dari sekolah ini dan Papah-Mamah yang malu!" bentak Dewa yang sudah hilang kesabaran. "Kamu bisa dipenjara karena ini!"
"Papah pikir Agra peduli? Bahkan penjara lebih nyaman di bandingkan rumah besar Papah itu."
"Kalau begitu pergi kamu dari rumah saya!" sentak Dewa, Arumi yang sedari tadi hanya diam dan menangis menggeleng.
"Pah," tegur Arumi.
"Tanpa Papah minta, Agra juga udah sesak tinggal di rumah itu."
Agra keluar dari ruang kepala sekolah. Berjalan di koridor menjadikannya objek perhatian. Ia meninggalkan pekarangan sekolah dengan sepeda motor yang melesat cepat.
Langit yang semula cerah tiba-tiba menampakkan awan hitam. Rintik hujan yang semula gerimis, menjelma menjadi rinai deras. Agra berteriak kencang, menyuarakan rasa sakit dan rindunya pada hujan.
"Argh ...!"
"Tata aku rindu. Please, pulang. Aku hampir gila di sini," gumam Agra, suaranya serak karena tangis. "Kamu lihat, aku hancur di sini."
***
Termenung menatap keluar jendela, hujan turun dengan derasnya. Seorang gadis cantik menatap lurus hamparan kota Jogjakarta.
"Masih mikirin dia?"
Arleta menatap pria jangkung di depannya, Abyan. Sepupu dari saudara Arjuna- Papah-nya. Selama ini, yang selama ini menyembunyikan keberadaan Arleta adalah pria itu. Abyan Ditya Wiguna.
Pria yang berusia 23 tahun itu menyembunyikan keberadaan Arleta bukan karena ingin memisahkannya dengan Agra, melainkan untuk membuat semua orang yang menyakiti adiknya menyesal.
Abyan marah besar saat menemukan Arleta terbaring di bed rumah sakit satu bulan yang lalu. Gadis itu pingsan karena sakit perut dan kekurangan dara akibat menstruasi. Lebih parahnya saat mendengar cerita Arleta, ingin rasanya Abyan menghancurkan kepala Agra dan keluarganya.
"Gue cuma kangen dia, ini hari ulang tahunnya. Dia pasti bahagia dengan keluarga dan pacarnya," jawab Arleta dengan menunduk dalam.
"Lo mau pulang?" tanya Abyan, pria itu mengelus surai Arleta dengan sayang.
"Ngebayangin aja gue takut Bang. Gue takut pas pulang, mertua gue nyerahin surat pisah. Gue rasanya mau gila kalau ingat semuanya, kenapa hidup gue serumit ini."
"Hey ... jangan nangis," ucap Abyan. Pria itu membawa Arleta ke dekapannya. "Di sini ada gue, ada Serlin. Kita berdua sayang sama lo." Arleta mengangguk lalu mengusap air matanya.
"Makasih Bang," lirih Arleta dengan senyumnya. "Sampein ke tunangan lo juga Bang."
Abyan mengangguk, mengacak rambut hitam panjang Arleta gemas.
Beberapa saat setelah Abyan keluar dari kamarnya, Arleta kembali terisak. Gadis itu menekuk kakinya, menyembunyikan wajah di lipatan tangan. Mencoba meredam suara isakannya.
"Kamu bahagia'kan? Nggak sakit'kan Ga? Jangan sakit, aku nggak ada untuk ngerawat kamu."
"I miss you, Aga."
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Kecil | Completed |
Teen Fiction"Pak, Bapak ini salah paham! Saya sama anak ini tidak berbuat aneh-aneh. Lagian mana mau saya sama anak SMP." Seorang gadis cantik berseragam SMA sedang meronta, saat itu ia sedang diseret para warga karena tidur di pos ronda bersama seorang cowok...