PART15

53.1K 3.9K 68
                                    

#SUAMI_KECIL
#PART15

~Hatiku juga berhak merasakan sakit, mengapa harus ditahan jika bisa diluapkan. Apa salahnya mempelihatkan emosi, siapapun berhak marah karena benci.~

●●●

Agra mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah, entah kenapa ia merasa sudah sangat lama ia meninggalkan rumahnya. Sampai-sampai, terlalu banyak perubahan yang terjadi.

Kadang kala remaja itu merasa bahwa orang-orang hanya sedang mengerjainya. Tetapi fakta yang ia temui satu-persatu meyakinkannya.

"Agra?"

Agra menoleh saat mendengar namanya dipanggil. Arleta, Agra menatap aneh gadis itu. Mengapa dia selalu ada di dekatnya. Bahkan sampai ia pulang dari rumah sakit.

"Kenapa?" tanya Agra dingin.

"Nggak usah jutek gitu sama cewek!" peringat seseorang dari arah pintu kamar Agra. Dia Arel, pemuda itu menatap tajam adiknya.

"Dia ke sini cuma mau manggil Lo buat makan," ketus Arel. "Lo nggak usah kasar, Lo lupa semuanya. Dia itu Is-"

"Bang!" Arleta menarik tangan Arel untuk keluar dari kamar Agra. Entahlah, ia takut terjadi hal yang buruk saat Agra memaksa untuk mengingat tentangnya. Meskipun ingin, namun rasanya ia tidak akan tega melihat Agra kesakitan.

"Lo kenapa sih, huh?!" Arel menghempaskan tangan Arleta saat mereka sudah sampai di taman belakang rumah.

"Ba-"

"Sampai kapan Lo diem aja? Kenapa? Karena Papah-Mamah nggak mgizinin?" Arleta menunduk saat melihat kilat amarah dari mata Arel.

Gadis itu menunduk dalam. Merasa tertekan dengan keadaan ini. Sudah hampir sebulan, namun keadaan tidak kunjung membaik. Keluarganya acuh, seakan lepas tanggung jawab. Arumi dan Dewa membatasinya untuk dekat dengan Agra. Bahkan kamar mereka dipisah. Arleta merasa ini tidaklah adil untuknya.

"Gue muak Ta! Kalau gue yang digituin udah biasa. Tapi ini, mereka ngelakuin hal yang sama ke Lo. Mereka egois Ta. Lo lemah, mereka makin jadi." Arleta mendongak menatap Arel tidak mengerti.

"Asal Lo tahu Ta, gue dari kecil selalu ngerasain ketidak adilan di rumah ini. Papah-Mamah cuma mentingin Wira, dan Koko. Sedangkan gue? Gue selalu nurut apa yang Papah-Mamah mau, tapi nggak sekalipun mereka notice gue. Malah mereka makin ngekang, karena nganggap gue lemah," papar Arel. Arleta memandang pemuda itu iba. 

"Lo nggak tahu rasanya, gimana dibandingkan dengan saudara sendiri. Nggak Wira, nggak Koko, dan Agra. Mereka selalu bisa banggain Papah-Mamah dengan prestasi. Gue yang nggak bisa apa-apa, selalu dituntut biar sama kayak mereka."

Arleta membeku. Apa ini, selama ini yang ia tahu keluarga Dewana itu, adalah keluarga yang harmonis. Ternyata itu hanyalah topeng untuk menjaga reputasi.

"Bang?"

"Please Ta, sadar. Sampai kapan Lo diem, nunggu Agra ingat semuanya. Gimana bisa Agra inget, kalau kalian dipisahin?" Arel memegang bahu Arleta dan menatap Arleta. 

"Tapi gue nggak bisa buat Agra kesakitan," ujar Arleta. Gadis itu menunduk pasrah.

"Mereka mau misahin kalian Ta. Mereka nggak sebaik yang Lo kira," batin Agra.

Arleta meninggalkan Arel yang masih berkutat dengan pikirannya.

"Jangan banyak ikut campur."

Arel yang mendengar itu mengalihkan Atensinya. Menatap Wira yang berjalan ke arahnya dengan tatapan datar.

"Gue nggak mau Agra dijadiin aset perusahaan. Gue nggak mau adek gue menderita nanti."

***

Beberapa hari berlalu.

Arleta menatap datar dua remaja SMA yang sedang duduk bersebelahan di meja makan. Satu keluarga tidak ada yang perduli, terkecuali Arel.

Agra dan Rena. Satu objek pemandangan yang membuat hati Arleta berdenyut nyeri. Sedari pulang sekolah, Agra membawa serta gadis centil itu.

"Agra ... aku mau ayam," pinta Rena dengan nada manja yang dibuat-buat.

Arleta  meremat ujung rok selutut yang ia kenakan. Menyalurkan rasa sesak dan sakit hatinya di sana.

"Hm ... ambil aja," ucap Agra acuh tak acuh.

Sedangkan Arumi dan Dewa, memilih diam dan menikmati makan siangnya. Wira dan Koko tidak ada yang mengalihkan tatapannya dari piring masing-masing.

Arel menggepalkan tangannya erat, ia melirik adik iparnya kasihan. Pemuda itu geram dengan tingkah kedua remaja di samping Arleta.

Brakh

"Leta? Gue males makan di sini. Kita makan di luar aja, yah!" Arel menarik tangan Arleta yang masih berusaha sekuat tenaga agar tidak terisak. Istri mana yang rela jika suaminya, selingkuh di depan matanya.

Tanpa kata Arleta mengikuti langkah kaki Arel. Meninggalkan meja makan yang terkesan dingin itu.

Ada satu hati yang tidak rela mereka pergi, dan entah karena apa. Ada perasaan sesak ketika jemari Arleta digenggam oleh orang lain. Agra, remaja itu memandang sendu punggung Arleta. Ia ingin mengingat segalanya, namun kepalanya selalu terasa sakit.

"Kamu siapa? Maafin aku, aku benar-benar lupa."

***

Isakan kecil terdengar menyesakkan. Arleta sudah menangis dari sejam yang lalu. Namun seperti gadis itu enggan untuk berhenti. Ia melampiaskan rasa sakit hatinya dengan menangis.

"Udah," ucap Arel yang setia menemani gadis itu. Bahkan sedari tadi pemuda itu mengusap punggung Arleta, bersikap menenangkan.

"Nggak bisa ...." Arleta sesegukan karena terlalu lama menangis. Untung saja Arel membawanya ke taman yang sedikit sepi. Hanya beberapa orang yang bersantai di sini.

"Udah, ntar gue beliin bronis, jus taro sama permen lolipop." Arel tidak putus asa membujuk Arleta. Pemuda itu bahkan memesan Gofood.

"Bang?"

"Mm," gumam Arel, pemuda itu dengan telaten membersihkan air mata Arleta menggunakan tisu.

"Abang pernah putus cinta, nggak?"

"Nggak, gue di larang pacaran sama Papah-Mamah. Lo'kan tahu itu," jawab Arel dengan jujur.

"Abang nurut banget, gue aja di larang tetap ngelakuin."

Arel terkekeh, "jadi, di mana pacar Lo sekarang?"

Arleta menghela nafas lelah, lalu mendongak menatap Arel. "Percaya nggak kalau gue ninggalin dia, yang udah dua tahun sama gue?"

Arel yang mendengar itu menatap Arleta tidak percaya, mana mungkin. "Lo serius?"

"Hm."

"Nyesel nggak?"

"Nggak sama sekali, karena gue lakuin itu demi suami." Arleta terkekeh geli saat mengatakan itu.

"Abang nggak pernah kepikiran buat bandel sama Papah-Mamah?"

"Gue nggak pernah nurut lagi sama mereka Ta. Cuma kalau untuk pacaran  gue nggak mau," ucap Arel. Pemuda itu menggigit potongan pizza yang ia pesan tadi.

"Kenapa?" tanya Arleta heran. Bagaimana tidak, Arel itu tampan dan 95% sempurna.

"Gue nggak mau pacaran, kalau nggak bisa buat pacar gue bahagia. Jangankan bahagiain anak orang, bahagiain diri sendiri aja gue nggak sanggup."

Arleta tertawa kecil, rasa sedihnya mengalir dengan curhatan keduanya.

"Gue mau tanya Ta," ujar Arel yang menatap hamparan langit biru.

"Hm."

"Salah nggak, kalau gue ambil milik orang yang dibuang gitu aja?"

BERSAMBUNG

Suami Kecil | Completed |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang