17| Mendadak Pindah

152 6 2
                                    


PAT atau Penilaian Akhir Tahun selama seminggu telah selesai. Sehari setelahnya Kavindra diajak quallity time oleh kedua orang tuanya secara tiba-tiba. Seharian itu keluarga Bramantyo mengunjungi beberapa tempat yang Kavindra mau, makan di restoran yang Kavindra minta. Pokoknya apapun yang Kavindra inginkan, mereka langsung mengabulkannya. Awalnya Kavindra Kavindra tidak mencurigai apa pun, hingga ketika mereka telah sampai di rumah dan berkumpul di ruang keluarga.

"Kalau Mama sama Papa pisah, kamu mau ikut siapa?" tanya Abian dengan penuh hati-hati.

Kavindra membelalak, atensinya berfokus pada sosok papanya. "Maksud Papa apa? Kalian mau cerai?" panik Kavindra. Seketika dadanya langsung berdebar dan terasa sesak. Kavindra berharap ini hanya mimpi, namun rasa sakitnya begitu nyata terasa. Selama ini ia tidak pernah mendengar orang tuanya ribut atau berdebat, mereka selalu terlihat harmonis dan baik-baik saja.

Ambar dan Abian nampak menundukkan pandangannya ketika satu per satu dari mereka di tatap oleh anaknya. 

"Maafkan kami, Sayang!" ucap Ambar, kini air matanya telah luruh bersamaan dengan hujan deras yang tiba-tiba turun mengguyur Bandung.

"Siapa yang salah?" tanya Kavindra penuh penekanan, napasny memburu begitu cepat.

"Tak ada yang salah, Vin! Ini kesepakan kami berdua," jawab Ambar dengan tangisnya.

"Gak mungkin!" pekik Kavindra tak percaya. "Jawab aku, siapa yang salah!" teriaknya kesal.

"Papa yang salah," lirih Abian akhirnya. Ia tidak bisa menyembunyikan kesalahannya pada anak semata wayangnya itu. "Papa telah berkhianat di belakang kalian."

Kavindra tercengang, ia tidak menyangka dengan apa yang diucapkan papanya itu. Papa yang selalu ia idolakan dan ia banggakan. "Papa selingkuh?!" teriak Kavindra, ia menghampiri papanya dan menatap tajam mata itu.

"Maafkan Papa! Papa melakukan ini dengan penuh kesadaran," ujarnya.

Kavindra beralih menatap mamanya yang masih menunduk dengan tangis yang belum mereda. "Ma," panggil Kavindra, ia berlutut dihadapan mamanya dan menangkup kedua pipinya. "Jujur sama aku, sejak kapan Mama tau hal ini?" tanya Kavindra, suaranya sengaja ia pelankan. Ia mengerti saat ini Mamanya pasti sangat terpukul.

"Sejak lima bulan yang lalu saat Papa menikah dengan dia," lirih Ambar.

"Apa?!" pekik Kavindra, lalu ia bangkit dan kembali menghampiri papanya. "Jadi kalian udah menikah?" tanya Kavindra memojokkan papanya.

Abian mengangguk, lalu ia balik menatap Kavindra. "Iya, kami menikah lima bulan yang lalu dan sekarang dia telah hamil tiga bulan," jawab Abian dengan penuh kejujuran. "Sebentar lagi kamu akan punya adik."

"Persetan!" jerit Kavindra. Dengan penuh amarah ia segera mengambil kunci motornya dan memutuskan untuk meninggalkan mereka.


***

"Lho, kamu belum berangkat, Sayang?" tanya Sherly ketika ia mendapati anaknya tengah melamun di jendela menatap ke arah kamar Kavindra.

"Eh, Mama... Aku berangkatnya nanti aja, di sekolah juga gak ada kegiatan lain selain perbaikan nilai bagi yang nilainya di bawah rata-rata," jawab Aluna.

"Oh ya udah kalo begitu," ucap Sherly. "Kamu kenapa, Lun? Sedih ya Kavin pindah?" tanya Sherly.

Aluna mendongak, menatap mata mamanya. "Apa, Ma? Kavin pindah?" kagetnya.

Janji Untuk AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang