Dix-huit

1.4K 250 55
                                    

Sedu pilu meruak, mencatuk indra yang mengatup suara. Hyungseok meringis, menutup daun telinganya dengan kedua tangan. Maniknya memirsa air muka sahabatnya yang tak kunjung berubah.

Berderai air mata dengan hidung memerah tomat. Tak lupa sudut bibirnya yang melengkung ke bawah. Hyungseok menghela napas, sudah sejam Taehoon meruak tangis.

Telinganya pegal jikalau Taehoon tak kunjung mereda hujan di matanya. Ia heran, mengapa sahabatnya serupa dengan anak kecil. Menangis selama ini lantaran ditinggal oleh seseorang yang tak disukainya.

"Sudahlah, kamu menangis seperti ini juga tak ada gunanya. Gyeoul tak mungkin muncul tiba-tiba."

Tangis Taehoon semakin pecah. Darah seakan mengalir dari telinga Hyungseok jika dirinya tak segera menyumpal gendangnya dengan jari. Ucapannya barusan seolah bagai duri yang merunjamkan hati pemuda itu.

Taehoon memungkiri fakta bahwa Gyeoul tak mungkin kembali hanya karena tangisnya. Dia tidak tahu harus berbuat apa selain menyesali segala tindak tanduknya selama ini. Bodoh, kata yang pantas baginya.

Hyungseok menepuk jidat. Sahabat cantiknya tak lihai berpikir jikalau hujan melanda hati. Ia pun terpaksa, mengutarakan mosi yang harusnya timbul di benak pemuda itu.

"Kenapa kau tak coba ke rumahnya saja? Mungkin dia ada di sana."

Taehoon membisu. Ia mengadah, menatap Hyungseok dengan bulir air mata. Dia menggigit bibir bawahnya, pusang pada mosi sahabatnya.

Sementara Hyungseok memasok udara. Napasnya sempat tersendat tatkala kedua maniknya menangkap rupa menggemaskan Taehoon yang jarang dilihatnya. Gemuruh solak pun menggoncang hati.

Kendati tak payah berharap. Hati Taehoon tak mungkin jadi miliknya. Biarlah ia menjadi pelipur lara, asalkan bisa bersama sahabatnya sepanjang masa.

"Hiks.. aku t-takut."

Hyungseok mengernyit. Lantas bertanya, "Kenapa?"

"Di sana banyak a-alpha, um.. kau tahu, kan? Heat-ku, hiks.. tinggal sebentar lagi. A-aku t-takut nan—"

"Takut nanti heat di sana terus diserang para alpha?" Hyungseok memotong ucapan sahabatnya.

Taehoon mengangguk. Dia memang takut jika sampai heat di tengah kerumunan alpha di sana. Apalagi kalau ia digangbang di tempat itu. Bulu kuduknya meremang seketika, tak kuat membayangkan bagaimana nasibnya jikalau terjadi.

Hyungseok menghela napas pendek. Lantas menyandingkan biritnya dengan sofa. Ia duduk di samping Taehoon, mengusap pelan rambut coklat muda sahabatnya sebelum berucap lembut.

"Aku akan menemanimu ke sana. Lagi pula aku penasaran dengan rumahnya."

Netra coklat Taehoon mengerjap. "Sungguh kau ingin menemaniku?" Dia memastikan, sangsi jikalau ucapan Hyungseok tadi hanyalah candaan belaka.

Hyungseok mengangguk kemudian mencubit pipi putih Taehoon gemas. Dia tak kuat disuguhkan paras imut pemuda itu. Ingin rasanya ia menerkam. Namun sadar dirinya tak lebih sekedar sahabat.

"Tapi.. aku t-takut.."

"Mau ketemu Gyeoul nggak?"

Hyungseok bertanya tegas. Enggan mendengar kegundahan Taehoon saat ini. Ia sudah sukarela mendampingi, jangan sampai sahabatnya labil ketika tiba di tujuan.

"Eum, hiks.. m-mau.."

Taehoon menjawab. Dia menghapus jejak liquid di matanya dengan lengan seragam. Membuat Hyungseok mengerang jijik. Ia pun buru-buru merogoh saku celananya, menggapai sapu tangan yang bersarang di dalam.

Mon Alpha {Fem!Dom}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang