40

105 10 0
                                    


Udara musim dingin yang belum sepenuhnya berakhir masih begitu terasa, tanpa sadar Rain mengusap lengannya yang hanya di baluti gaun tipis.

Azkier berjalan mendekat, lalu melepaskan jas yang ia kenakan untuk menyelimuti tubuh Rain.
Rain tertegun. Lagi-lagi pria ini membuatnya tidak bisa berkutik.

Entah apa yang ia pikirkan dan inginkan sebenarnya? Berbagai prasangka selalu muncul di kepalanya. Apakah pria itu sengaja tidak menolak pertunangan ini karena kekuasaan ayahnya yang meliputi bagian timur benua?

Dan apakah hal itu juga yang mempengaruhinya untuk bersikap baik kepada dirinya? Karena jika benar, maka hal itu benar-benar memuakkan.

Orang-orang selalu baik tanpa alasan itu tidak benar-benar ada, Rain tersenyum miring saat memikirkannya.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Azkier.

“Hm, hanya beberapa hal yang kurang menarik,” Rain menyahut.

“Tuan, bolehkah saya bertanya sesuatu?”

Alis Azkier terangkat, “apa itu?” Azkier menatap wajah Rain yang terlihat begitu serius dari samping.

“Apa alasan Anda menerima pertunangan ini, apa itu karena kekuasaan ayah saya yang menguasai benua bagian timur?” tanya Rain datar.

“Ataukah, karena pertambangan yang ayah saya miliki? dari kedua hal itu, mana yang benar tuan? Bisakah Anda memberitahu saya?”

Rahang Azkier mengeras. Tangannya terkepal erat.
Namun sebisa mungkin ia tidak menunjukkan bahwa ia sedang menekan emosinya.

“Apa maksud dari pertanyaan Anda itu sebenarnya, Lady?” tanya Azkier dengan kalimat formal yang tiba-tiba.

Rain mendesah, “tuan, bukankah Anda tahu bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis? Saya hanya menanyakan hal yang menurut saya bisa saja menjadi alasan pertunangan kita,”

‘Jadi maksudmu aku menginginkan sesuatu dari pertunangan ini? Sebegitu tidak bisa di percayanya aku di matamu setelah semua yang aku lakukan agar bisa melihatmu tersenyum?’ batin Azkier berdesir.

Sangat menyesakkan. Seolah-olah seluruh oksigen tiba-tiba menghilang dan ia tidak dapat bernapas.
“Tuan?” suara Rain yang memanggil membuyarkan lamunan Azkier.

“Apa Anda baik-baik saja?”

Azkier menggeleng, ia memijat dahinya lalu menatap Rain sebentar. “Aku baik-baik saja, jangan khawatir, sebaiknya Lady segera masuk, udaranya akan semakin dingin jika Anda tetap berada di luar,”

“Lalu bagaimana dengan Anda?”

“Aku akan menyusul nanti, sebaiknya Lady segera pergi,”

Rain menatap gusar Azkier yang mendadak mengubah cara bicaranya menjadi formal.
Ia mendadak tidak terbiasa akan hal itu.

“Apa Anda sungguh baik-baik saja? Atau haruskah aku memanggilkan seseorang? ”

“Tidak perlu mengkhawatirkan saya, Lady, sebaiknya Anda segera kembali,” tutur Azkier yang menjaga agar suaranya tetap lancar.

Dengan berat hati Rain berbalik dan berjalan kembali menuju tempat pesta yang berisik. Walaupun ia mengkhawatirkan keadaan Azkier, namun ia juga tidak bisa mengabaikan tugasnya.

Jika bukan karena hal itu, sudah sejak tadi ia meninggalkan pesta ini. Azkier menatap dingin punggung Rain yang menjauh, ia lalu berjalan pergi meninggalkan tempat itu.

Setelah hari itu, Azkier sering menghindarinya. Bahkan di akademi pun ia hampir tidak pernah berbicara dengan Rain walaupun hanya sepatah dua kata.

“Setidaknya katakan alasanmu menghindariku!” Rain mengayunkan pedangnya ke udara dengan sekuat tenaga.

Ia mengabaikan para ksatria yang memintanya agar tidak memaksakan diri.

Rain membuang pedangnya ketanah lalu mendudukkan diri pada rerumputan.
Ia menegadah menatap langit musim dingin yang lumayan cerah, Rain tersenyum miris saat menyadari sesuatu yang mengusik pikirannya.

‘Ah, sepertinya aku tahu alasan orang itu tiba-tiba menghindariku, ternyata benar orang itu hanya menginginkan kekuatan keluargaku. Bahkan dia dengan sengaja menempatkan dirinya di sekitarku agar bisa terlibat dengan diriku.’

“Apa mempermainkan perasaan seseorang itu benar-benar menyenangkan?” Rain tertawa hambar, ia lalu bangkit dan berjalan kembali dengan memasang wajah dingin dan datarnya.

***

Azkier memasang wajah datar dan dingin memasuki ruang kerja ayahnya, Michael, Duke Havelen.

“Ayah,” panggil Azkier datar.

Michael mengangkat wajahnya dari berkas yang sedang ia baca dan menatap lurus wajah Azkier yang terlihat lelah.

“Ada apa, Az?” tanya Duke Havelen dengan nada lembut.

Azkier menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya perlahan. Di tatapnya wajah sang ayah yang tengah menunggunya berbicara dengan serius.

“Aku ingin meminta surat pembatalan pertunangan,”
ucap Azkier tanpa rasa ragu.
Duke Havelen menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. Ia tidak menyangka bahwa putranya akan mengatakan hal seperti itu.

Memang sejak awal ia tidak pernah memaksakan Azkier untuk segera bertunangan, ia hanya bisa menghargai keputusan sang putra.

“Begitu tiba-tiba?” ujar Duke Havelen tanpa rasa terkejut.

“Apa yang terjadi, Az?” tanya Duke Havelen.

“Bukan apa-apa, aku hanya tidak lagi menginginkan adanya pertunangan ini,” papar Azkier.

“Apa kau yakin tidak akan menyesalinya?”
Azkier mengangguk dengan ragu, ia tidak yakin apakah ia ingin pembatalan pertunangan ini terjadi atau tidak. Ia benar-benar bingung.

Duke Havelen mendesah pelan, “sebaiknya kau pikirkan lagi, aku tidak ingin kau  menyesali keputusanmu kemudian. Datanglah padaku saat kau sudah benar-benar memutuskannya,”

Azkier mengangguk pasrah, “baik, ayah.” Azkier membungkuk lalu berjalan keluar dari ruang kerja itu.

“Aku harap Azkier dapat membuat keputusan yang tepat,” ujar Duke Havelen.

Antagonis Lady [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang