Di pagi yang bersalju ini keluarga Na tengah berada di ruang makan. Sebenarnya bukan satu keluarga, lebih tepatnya hanya tiga. Sedangkan si bungsu masih belum. keluar dari kamarnya."Dimana Jaemin?"
Yoora melirik Ayahnya yang memakan sarapannya dalam diam. "Aku tidak tahu, eomma. Mungkin sebentar lagi ia akan turun."
Nyonya Na menghela napas sedih.
"Kita harus membatalkan pertunangannya dengan rekan kerjamu, yeobo."
"Aku bisa saja melakukan itu, tapi apa semuanya akan berubah? Aku berjanji pada seseorang untuk menjaga harta mereka yang paling berharga dan aku tak bisa untuk mengingkarinya." jelas Tuan Na
"Tapi aku tidak setuju." Yoora menimpali. "Aku tidak ingin punya adik ipar selain Jeno."
"Restumu tidak diperlukan." sahut tuan Na. "Makanlah saja, tak perlu untuk-"
"Jaemin, ayo kesini mari makan bersama."
Tuan Na dan Yoora menoleh pada Jaemin yang berjalan tanpa pancaran seperti biasa. Tidak ada ekspresi yang berarti di wajahnya yang tampan itu.
"Jaemin-"
"Aku tidak lapar. Aku pergi dulu, aku harus menjemput Jeno."
Setelah mengatakan itu, Jaemin melangkah keluar rumahnya tanpa menoleh sedikitpun pada keluarganya yang sedang duduk di meja makan.
"Aku selesai." Tuan Na meletakkan alat makannya, mengecup kening istrinya sebelum berlalu. Meninggalkan kedua ibu dan anak perempuan itu dengan helaan napas pasrah.
•••••
Jaemin turun dari motor sport nya serta melepas helm yang berada di kepalanya. Untuk kali ini pemuda jangkung itu tak mengendarai mobilnya, ia tidak mau. Tepatnya sedang tidak dalam keadaan perasaan yang baik, pikirannya sedang kacau. Dan menggunakan motor besarnya dengan kecepatan tinggi, setidaknya bisa melepaskan sedikit masalah yang berputar di kepalanya. Bahkan ia tak masalah dengan dinginnya udara yang bisa saja membuatnya membeku atau ia tak memikirkan masalah bagaimana jika saja ia kecelakaan karena licinnya jalanan.
"Mom."
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu menoleh pada sosok jangkung yang membungkuk sopan padanya. Mengeratkan mantel yang ia pakai sebelum menghampiri dan memeluk tubuh besar itu.
"Jaemin-ah." sapanya lembut. Membuat Jaemin mengeratkan pelukan mereka, tiba-tiba saja dadanya begitu sesak. Ibu Jeno itu hampir sama perangai dengan anaknya, membuat Jaemin tak sabar untuk segera bertemu dengan anak itu. Dan menjelaskan semuanya.
"Kapan Mom sampai? Jeno bilang kalian pergi keluar negeri."
Nyonya Lee itu mengangguk. "Baru saja tiba semalam." lalu mata sipitnya yang sama seperti Jeno melirik ke arah motor besar Jaemin. "Dimusim dingin seperti ini, kau mengendarai motor? Apa kau tidak kedinginan?"
Jaemin menggeleng sembari tersenyum tipis. "Jeno mana, Mom?"
"Oh!" ibu Jeno itu terkejut. "Jeno sudah pergi diantar oleh kakaknya, kau tidak tahu Jaem? Atau Jeno tidak memberitahumu?" tanyanya bingung. Sebab biasanya kedua anak ini pasti saling memberi tahu kabar, entah apakah salah satu dari mereka sudah makan atau belum.
"Mungkin saja Jeno lupa mengabariku, Mom." Jaemin berusaha untuk tersenyum, tapi yang terlihat malah senyum getirnya. Pemuda jangkung itu berusaha untuk menekan segala sesak yang berkumpul didadanya. "Kalau begitu Jaemin berangkat ke sekolah dulu Mom." pamit Jaemin kembali memeluk tubuh ramping yang sudah tak lagi muda itu.
"Hati-hati sayang."
Pemuda jangkung itu mengangguk, lalu dengan cepat menaiki motornya. Mengklakson dua kali sebelum melajukan motor besarnya pergi dari rumah sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
-ˋˏ 𝐣𝐮𝐬𝐭 𝐟𝐫𝐢𝐞𝐧𝐝 ˎˊ
Short StoryJaemin dan Jeno berteman layaknya sepasang kekasih. Dimana ada Jeno, disitu ada Jaemin.Bagaimana posesif Jaemin terhadap Jeno. Dan bagaimana Jeno sangat tergantung pada Jaemin. Tapi jika ditanya, Jaemin menjawab mereka hanya berteman. Sebenarnya bag...