"Minumlah, agar tubuhmu hangat." Aku menyodorkan segelas air rebusan jahe yang baru saja aku buat. Niat hati ingin membuatkannya susu cokelat, akan tetapi aku teringat jika ia tidak suka itu.
"Tapi hati-hati, itu masih panas," imbuhku sembari mendaratkan pantatku di kursi. Aku menatap Aaron yang masih diam.
Setelah menyuruh Carmen untuk mengurus Aaron, akhirnya pemuda ini tampak lebih baik daripada tadi, dalam aspek penampilan. Dan untungnya ia meninggalkan beberapa pakaiannya di sini, jadi kami tidak perlu mencari.
Hening.
Aaron tidak membuka mulutnya sejak tadi, bahkan saat bersama Carmen pun ia hanya menggeleng atau mengangguk.
Aku mengembuskan napas panjang. Iris kuningku meneliti setiap inchi wajah Aaron. Matanya sembab, seperti orang yang lama menangis. Aura suram pun benar-benar keluar dari dirinya.
"Maaf, sudah mengganggu malam-malam," lirih Aaron. Kepalanya tertunduk, menunjukkan betapa dirinya menyesal.
"Tidak apa, tidak akan ada yang marah akan kehadiranmu. Yang lainnya justru akan senang karena kamu akhirnya ke sini lagi." Aku tersenyum tulus.
Aku senang jika ia datang kemari. Namun aku akan lebih bahagia jika dia datang dengan dirinya yang selalu protes akan hal kecil. Tidak seperti saa ini.
"Ini rumahmu juga, Aaron."
Aaron menyesap minuman di tangannya sedikit dan meletakkan gelas tersebut di meja kecil sebelahnya. Iris birunya menatap dalam diriku beberapa detik dan kembali menunduk.
"Sejujurnya aku tidak tahu mengapa melakukan ini. Aku pergi tanpa arah dan malah berakhir di rumah ini."
"..."
"Pikiranku kacau. Perasaan ini tidak bisa aku kendalikan. Aku merasa ingin menghilang. Aku--"
Grepp
Aku segera memeluk Aaron yang mulai meracau. Jantungku rasanya mencelos melihatnya menangis di hadapanku. Ini bukan Aaron yang aku kenal.
"Tenanglah ... tenanglah."
Aku mengusap belakang kepalanya, berusaha menenangkan dirinya yang kehilangan kendali atas dirinya.
Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Kenapa ... kenapa orang sekuat dirinya jadi seperti ini? Siapa yang membuatnya seperti ini?
Dekapan antara kami berdua berlangsung cukup lama. Aaron berhasil mengendalikan dirinya setelah sepuluh menit lebih menangis. Kini aku duduk di tepi kasur. Aku memijat pelan jemari milik Aaron, berharap dapat membuatnya tenang.
"Kamu boleh bercerita jika kamu menginginkannya."
Aaron menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya.
"Apa kau ingat ... saat aku mengatakan bahwa-- aku membenci bangsawan?"
Aku mengangguk. Dia mengungkapkan hal itu di bukit belakang rumah ini. Sore itu, di saat kami berdua memutuskan untuk berteman secara resmi.
"Aku benci bangsawan, walau diriku juga termasuk golongan mereka. Aku benci bangsawan, kekuasaan, dan kekayaan."
"Aku benci semua yang berkaitan dengan bangsawan. Karena mereka-- aku harus membuang semua yang aku sayang. Karenanya ... aku membenci hidupku."
Aaron kembali meneteskan air matanya, seperti air botol yang akhirnya pecah dan mengeluarkan isinya. Aku hanya diam mendengarkan ceritanya.
Awalnya Aaron tidak pernah membenci golongan aristokrat. Kehidupannya begitu bahagia dulu. Ibu dan ayah yang menyayanginya. Sang kakak yang selalu membantu saat dirinya terluka. Ditambah lagi orang-orang memuji Aaron kecil yang mahir dengan pedangnya. Benar-benar kehidupan yang indah, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Actually, I'm Not The Villainess
Fantasy[Bukan Novel Terjemahan] Letta yakin bahwa dirinya sudah meregang nyawa setelah merosot ke dalam jurang. Tapi saat ia membuka mata, ia malah memiliki tubuh baru! Awalnya dia berpikir hal ini keren karena seperti manhwa yang ia baca. Tapi Letta malah...