CHAPTER 1

128 25 27
                                    

Aku bertahan bukan karena dunia, tapi aku bertahan karena kedua orang tua. Beliau lah yang mendidik dan membesarkan ku, kalau aku lemah aku ingin menyerah yang ku pikirkan yaitu kedua orang tua ku. Karena aku belum bisa membalas jasa-jasa nya.”

@KhanzaZafeeraAzzhra.

**

“Assalamualaikum, Khanza.” Ucap sang ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar Khanza. Wanita paruh baya itu membawa sebuah makanan cemilan yang baru saja di beli saat di supermarket dekat dengan rumah nya. Khanza, wanita itu sedang mengerjakan tugas sekolah untuk besok, hari ini memang hari minggu. Biasanya kalau remaja-remaja seperti sekarang ini di hari Minggu weekend, refreshing otak, date bersama pacar. Namun berbeda dengan Khanza yang liburan nya hanya mengerjakan tugas sekolah dan tugas dari pondok pesantren nya.

Khanza ini seorang santri namun bukan santri tetap tapi ia santri pulang balik, walaupun berat namun harus seperti itu. Karena setiap pagi ia harus berangkat sekolah, siang setelah pulang sekolah di lanjut mengaji namun sore nya balik untuk membantu ibu nya membuat adonan kue untuk di bawa jualan pagi hari. Malam nya kembali mengaji lagi sampai jam 21:30 WIB. Pesantren nya memang sangat dekat dari rumah nya, jadi tak kejauhan menurut Khanza.

“Ibu, bawa apa ini? Repot-repot banget, padahal Khanza nggak minta loh, Bu.” Kata Khanza pada ibu nya. Ibu Khanza bernama Tyas pun terkekeh kecil. “Ini spesial untuk kamu loh, kamu ‘kan minggu kerjaan nya sibuk banget, ya? Jadi ibu bawa cemilan supaya semangat!” 

Khanza mendekati Bu Tyas lalu memeluk nya dengan erat. “Ibu, Khanza beruntung punya ibu, ibu selalu baik pada Khanza. Makasih ibu sudah besar kan Khanza.
Khanza sayang ibu!” Khanza menciumi pipi Bu Tyas. Tyas ini memang sangat dekat dengan Khanza karena Khanza putri satu-satunya di keluarga.

“Khanza sayang, ibu yang beruntung punya kamu, Nak. Khanza, wanita yang membuat ibu semangat walaupun ibu ini penyakitan terus, dan kamu satu-satunya yang membuat ibu semangat. Papa kamu itu bahkan nggak peduli sama kita, membahas soal Papa, Khanza anak terlahir yang jauh dari seorang Papa di saat usia nya masih satu tahun. Saat itu Papa Khanza telah berselingkuh dengan seorang perempuan yang di temui di tempat kerja nya. Saat Khanza berulang tahun bertepatan di usia nya satu tahun, Papa Khanza membawa wanita dari tempat kerja nya yang ternyata sudah hamil. Anak itu terlahir dari darah Papa Khanza. Sampai sekarang Khanza belum mengetahui Papa nya.

“Ibu jangan sedih, Khanza nggak suka ibu sedih.” Khanza mengusap air mata ibu nya. “Nak, ibu selalu mendoakan kamu supaya kamu nanti saat punya calon suami jangan seperti Papa kamu, cukup ibu saja yang merasakan ini semua. Kamu mah jangan, ya?”

“Iya, Bu. Walaupun Khanza tidak tahu Papa Khanza, dan Khanza sempat lupa sama wajah Papa, tapi walaupun cinta pertama seorang anak perempuan yaitu Ayah kandung nya tapi aku tidak mau mendapatkan calon suami seperti Papa.” Ucap Khanza lembut. Cinta seorang anak perempuan memang Papa nya, dan jodoh seorang anak perempuan seperti Papa nya. Namun, tidak dengan Papa nya Khanza yang tiba-tiba membawa istri kedua tengah hamil.

“Ya Allah, aku ingin memberi tahu tentang perjodohan ini. Namun putri ku seperti nya takut dengan seorang laki-laki, tolong bantu kami, ya Allah.” Batin ibu Tyas.

“Khanza, kamu mengerjakan tugas dulu gapapa ‘kan, nak? Ibu mau masak dulu, kamu kalau sudah selesai bantu ibu juga gapapa. Tapi nanti jam 12:00 WIB, jangan lupa ngaji.” Khanza pun mengangguk kepala nya. “Asiap, bos!” Tangan Khanza hormat kepada ibu nya. Bu Tyas melihat putri nya terkekeh pelan.

**

12:00 WIB

Khanza mengganti pakaian nya dengan pakaian gamis berwarna hitam serta kerudung pashmina berwarna hitam tak lupa juga kerudung pashmina itu menutupi dada Khanza. Karena Khanza tak bisa memakai kerudung tanpa menutupi dada bukan tidak bisa namun risih.

Khanza mengambil kitab-kitab nya karena ngaji siang yaitu ngaji kitab, biasanya sih di hari minggu ini ngaji kitab di lanjut dengan hafalan Alquran. Karena hari ini Khanza sedang berhalangan jadi tak bisa mengikuti hafalan Alquran mungkin di tunda sampai dengan selesai dan saat halangan selesai pun harus benar-benar hafal.

Khanza menyamperin ibu nya yang berada di ruang tamu tak lupa juga mencium pucuk tangan beliau. “Assalamualaikum, Ibu. Khanza pamit ngaji, ya?”

“Iya sudah, nak. Hati-hati ya? Kalau selesai ngaji langsung pulang, jangan main. Nggak baik seorang anak perempuan main jauh-jauh tanpa izin dengan ibu.” Khanza mengangguk kepala nya.

Ia berjalan menuju pondok pesantren Daarul Jannah, pondok pesantren itu di isi dengan santri putri dan santri putra. Pesantren itu memang bebas namun bukan berarti santri-santri nya bebas untuk keluar dengan seenak nya.

Khanza pun jalan kaki menuju pondok pesantren kurang lebih 5 menit jalan menuju pondok pesantren. Di sana Khanza memiliki teman yang baik dan tidak pernah bermuka dua pada Khanza. Khanza juga beruntung memiliki teman yang baik.

Setiba sampai nya di pondok pesantren Daarul Jannah, di sana sudah sangat ramai sekali santri-santri yang sedang piket. Karena Khanza tak ada jadwal piket jadi ia langsung menuju teman-teman yang lain untuk ke majlis bareng. Hanya Khanza yang pesantren tapi tidak tetap.

Di asrama ke dua Khanza memiliki teman bernama Zara, Farhah, Vina, dan juga Syamillah. Mereka seusia dengan Khanza yaitu 17 tahun.

“Assalamualaikum,” ucap Khanza membuka pintu asrama ke dua dengan sopan.

Mereka yang sedang merapikan buku-buku atau kitab-kitab pun menoleh ke arah sumber suara tersebut. “Waalaikumsalam, Khanza!” jawab mereka bersama.

“Nggak weekend, nih? Tumben sekali..,” tanya Zara pada Khanza. Nama aslinya Zaramita yang biasa di panggil Zara usia nya 17 tahun 3 bulan yang sedang duduk di bangku SMA kelas 12 namun berbeda sekolah dengan Khanza.

“Nggak nih, aku lagi malas untuk weekend. Soalnya tadi pagi sampai ke menjelang Zuhur aku mengerjakan tugas sekolah. Hufffttt..., Sangat capek namun aku nggak boleh lemah,” jawab Khanza pada mereka.

“Kalian kok tumben bersih-bersih kitab dan buku? Biasanya tuh, nggak.” Khanza melihat teman-teman nya merapikan buku-buku dan juga kitab-kitab merasa terheran tak biasanya mereka seperti itu. “Kitab ku hilang, Khanza. Kamu lihat, nggak?” tanya Farhah.

“Kitab safinatun najah?” Farhah pun mengangguk kepala nya. “Kan, di aku. Kamu lupa?”

“ASTAGHFIRULLAH, KHANZA! Aku dan yang lain cari-cari loh, kenapa bisa ada di kamu? Kalau seperti ini aku ngapain juga rapi kan buku-buku dan kitab-kitab yang lain,”

“Kamu kebiasaan, Far. Harusnya tanya dulu ke aku, jangan asal berantakan seperti ini. Hayoloh aku nggak mau tanggung jawab,” kekeh Khanza pada mereka. Mereka pun menatap tajam pada Khanza yang tiba-tiba terkekeh tak jelas.

Khanza menyodorkan kitab milik Farhah. “Terimakasih, Farhah. Jangan marah, ya? Hehehehe..., Maaf kan aku.”

**

Saat ini mereka berada di majlis pondok pesantren Daarul Jannah. Khanza dan yang lain mengaji dengan santri-santri yang di ajarkan oleh ustadz muda yaitu ustadz Yusuf dengan ketampanan wajah nya yang membuat santri putri terkagum-kagum pada nya. Siapa yang tak menaksir dengan ustadz Yusuf? Bahkan ibu-ibu yang sudah mempunyai seorang suami saja hampir kagum pada ustadz Yusuf.

“Ustadz Yusuf, Masya Allah kalau ngajar tuh bikin hati aku tenang, Za.” Celetuk Vina yang sedikit agak keras suara nya. Khanza pun mencubit perut Vina mengkode agar Vina tak mengucapkan seperti itu. Seorang murid tidak boleh mengobrol bila guru sedang menjelaskan karena itu termasuk ke tidak sopan.

Vina pun diam saja sambil memandang ustadz Yusuf. Ustadz Yusuf pun tersenyum pada Khanza, tapi Khanza tak peduli itu karena menurut nya mungkin ustadz Yusuf membalas respons untuk Vina tapi itu salah.

“Baik, mungkin sampai di sini dulu. Sebelum saya akhiri, ada yang ingin bertanya?” tanya ustadz Yusuf pada santri-santri nya.

Vina pun mengangkat tangan nya. “Ustadz, saya mau tanya. Kok bisa ustadz setampan itu? Masya Allah, memang benar bahwa nikmat Allah itu nggak pernah mengecewakan, sama hal nya seperti nikmat yang sedang mengajar ini.”

“Vina, istighfar kamu!” geram Khanza yang berada di samping Vina. Vina hanya cengengesan tak jelas. Ustadz Yusuf pun hanya membalas senyuman saja.

“Mau di jawab pertanyaan dari Vina?”

“Mau dong, ustadz!”

“Sebenarnya tak ada nikmat Allah yang mengecewakan, semua nikmat Allah yang berikan itu benar-benar nikmat Masya Allah. Allah pun sudah menerangkan dalam Alquran surah Ar Rahman. Fabi ayyi aalaa iirabbikumaa tukadzibaan. Yang artinya. ‘Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dusta kan?’ jadi sebagai umat muslim kita tidak boleh menyia-nyiakan nikmat yang di berikan oleh Allah. Ketampanan seorang pria, kecantikan seorang wanita, itu adalah pemberian dari Allah. Hendak nya kamu jangan iri dengan orang lain karena paras nya lebih cantik dan tampan dari mu. Kebanyakan sekali remaja-remaja seperti zaman sekarang selalu insecure, benar atau tidak?”

“Benar banget, ustadz!” sahut santri-santri yang lain.

“Kenapa kalian insecure soal wajah? Soal fisik? Kalian tidak perlu insecure dengan kecantikan atau ketampanan mereka, harus nya kalian bersyukur dengan cara berucap. ‘Oh, Masya Allah, hari ini aku sangat cantik. Bahkan aku bersyukur memiliki paras yang di berikan oleh Allah seperti ini, terimakasih ya Allah atas nikmat nya.’ Kira-kira seperti itu. Sampai sini janji jangan insecure soal fisik lagi, ya?”

“Karena waktu nya sudah selesai, saya akhiri dulu. Semoga apa yang saya ucapkan semoga bermanfaat bagi kalian semua, jika ada perkataan saya yang buruk buang lah jauh-jauh, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

**
semoga sukaa(◕ᴗ◕✿)

Tangerang, 8 Desember 2022

HIJRAH, CINTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang