Chapter [ 6 ]

4.1K 507 62
                                    

"Nggak biasanya kamu kayak gini, Sunghoon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nggak biasanya kamu kayak gini, Sunghoon. Ada apa?" Sang pelatih bertanya dengan sorot khawatir.

Sunghoon sedikit meringis saat merasa luka di telapak tangannya, yang tengah diobati—bereaksi nyeri.

"Maaf kochi-nim, Sunghoon bisa berusaha lebih keras lagi." Raut wajah pemuda itu terlihat penuh rasa bersalah.

Hari ini sesi latihannya tidak berjalan lancar seperti biasanya—yang akan selalu menerima pujian dari sang pelatih selama hampir sepuluh tahun ini.

Lelaki yang berusia 40 tahun ke atas itu sangat cepat dalam memahami situasi anak-anak didikannya. Terlebih lagi, sejak tadi beliau dapat melihat ke mana arah pandang Sunghoon—salah satu atlet kembanggaannya.

Pemuda Park itu selalu melirik ke arah salah satu bangku gedung, di mana tempat biasanya ibunya berada ketika menemani Sunghoon berlatih dan wanita itu tidak ada hentinya memberi semangat kepada sang putra—hingga sampai di titik saat ini.

Semua terasa jauh berbeda. Sunghoon mulai kehilangan jati dirinya, tempat yang menjadi teman untuknya berlatih untuk meraih prestasi—kini terasa asing. Dia hampir tidak merasakan lagi detak jantung itu; yang selalu berdetak lebih cepat saat datang ke tempat ini—karena rasa semangat yang membara.

"Mungkin saya nggak begitu mengerti, tapi saya tahu Sunghoon. Kamu lagi nggak baik-baik aja, baru beberapa minggu kamu berduka." Lelaki paruh baya itu tersenyum tipis, penuh rasa pengertian.

Melihat itu, rasa bersalah Sunghoon semakin menggerogoti jiwanya. "Sekali lagi Sunghoon minta maaf." Dia membungkukan kepalanya sopan, dan salah satu anggota tim medis itu segera pergi setelah selesai dengan tugasnya.

"Oke, latihan kita hari ini cukup. Kamu bisa pulang lebih awal." Sang pelatih beranjak setelah sebelumnya menyempatkan untuk menepuk pelan pundak Sunghoon.

Sunghoon menghela nafas panjang. Hari-harinya jauh terasa lebih berat.

Lama termenung menatap langit-langit gedung, Sunghoon menghidupkan layar ponselnya yang baru saja dikembalikan oleh Sunoo beberapa jam lalu, untung sahabatnya itu menyimpan ponselnya di malam dia tidak sadarkan diri akibat pengaruh alkohol.

18.00 pm.

Biasanya latihan skatingnya akan berakhir sejam lagi.

Pemuda itu mulai membereskan peralatannya, lalu beranjak sambil menenteng tas punggungnya.

Lagi-lagi dia merasa asing dengan situasi baru ini. Biasanya saat dia menenteng tas untuk pulang, akan ada tangan ibu nya yang lembut memeluk punggung sampai ke pundaknya menuntun keluar gedung sambil berbincang hangat.

Membahas, tentang menu makan malam saat pulang ke rumah. Itu salah satu dari moment favorit Sunghoon.

Tapi, kini semua itu hanya menjadi memori ingatan terpedih baginya. Semakin dia mengingat hal-hal manis itu, semakin Sunghoon ingin menghilang dari bumi.

Dia, baik? [ JayHoon ]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang