Selena memandangi pintu kamar Edbert sambil berupaya mengendalikan nafasnya. Terlalu banyak kejadian tak mengenakkan yang terjadi, membuat tenaga Selena terkuras habis. Ingin rasanya ia merebahkan tubuhnya diatas ranjang, hanya saja Selena tak bisa menyia-nyiakan momen yang sudah Anastasia dan Carlos ciptakan. Karena itu Selena rela menguras keringat hanya untuk memasak demi orang-orang yang berada dalam targetnya.
"Ash... kepala gue pusing banget,"
Sejenak Selena mulai merendahkan wajah dengan kelopak mata terpejam erat, berharap rasa peningnya sedikit meluntur.
"Mau sampe kapan gue kena tampol? Gila aja, kalo kaya gini terus yang ada gue bisa mati dua kali!"
"Mana badan gue panas dingin gini, ash... kenapa sekarang gue lemah banget sih," gerutunya.
Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Selama beberapa waktu Selena mengolah nafas berharap rasa letihnya mampu berkurang, dan saat dirasa sudah lebih baik, barulah Selena mulai mengetuk pintu kayu didepannya.
"Siapa?"
"Ini saya tuan, Selena."
Tak ada jawaban lagi dan itu cukup membuat Selena sedikit was-was.
"Apa gue ketuk lagi aja?"
Tanpa sadar Selena mulai menggigit bibir bawahnya sendiri tatkala banyak ketakutan mulai menghantui pikirannya. Terlebih ketika ia sadar bahwa alur novel makin melenceng jauh, membuatnya tak bisa menebak akan jadi seperti apa novel ini akhirnya. Ditangan siapa, kapan dan di situasi apa Selena akan meregang nyawa. Mungkin hingga detik ini ia masih bisa bernafas, namun besok. Memikirkannya saja membuat bulu kuduk Selena meremang.
"Bibirmu bisa terluka," Edbert berujar dengan suaranya yang dalam, sementara ibu jarinya sibuk memisahkan antara bibir dan gigi Selena.
Sontak saja aksi Edbert membuat Selena terperanjat kaget, hanya saja kali ini mulut Selena tak bisa berteriak maupun melempar sumpah serapah. Sentuhan lembut yang Edbert sapukan entah kenapa membawa gelanyar aneh dalam diri Selena, bahkan sejenak otaknya dibuat blank.
"Lagi-lagi kau datang dalam keadaan terluka, apa hobimu memang membuat masalah, Selena?"
Selena menatap lawannya cengo "Hah?"
"Masuklah."
"Ah ba... baik,"
Selena baru berani melangkahkan kaki ketika Edbert bersedia membukakan pintu untuknya, dan setelah itu ia mulai mengekor dibelakang pria yang kini genap 33 tahun itu.
"Duduklah."
Tanpa banyak kata Edbert segera mengambil kotak P3K yang ada didalam laci nakas dekat sofa.
"Berikan,"
Selena menurut, ia menyerahkan nampan yang dibawanya pada Edbert untuk selanjutnya diamankan diatas meja. Setelahnya Selena diminta untuk duduk tenang sementara Edbert sibuk mengoleskan sesuatu diatas kapas.
"Kau diam."
"I... ARGH!"
Plak
Refleks Selena menampar kuat pipi Edbert tatkala pria itu menyapukan kapas yang sudah dilumuri obat ke atas sudut bibirnya yang terluka. Entah kenapa kali ini Selena merasakan perih yang amat luar biasa, padahal sebelumnya ia tak merasakan apapun. Mungkin ini adalah efek dari obat pemberian Edbert, atau mungkin karena sudut bibir Selena yang sudah terlalu sering terluka, jadi kali ini rasanya jauh lebih sakit dari sebelumnya.
"Gila, kenapa bisa sesakit in..."
Selena membelalak sadar dengan rahang menganga lebar "Tu... tuan Edbert!"
KAMU SEDANG MEMBACA
PROLOG (TERBIT)
RandomHidup sebagai salah satu tokoh protagonis dalam cerita? Alisha, perempuan yang pergi untuk mencari pekerjaan justru harus terjebak dalam sebuah novel dewasa. Masalahnya didalam novel yang ia tempati, Alisha berperan sebagai protagonis yang selalu di...