"Saya membenci mereka karena mereka membuang saya, bahkan sebelum saya bisa melihat seperti apa wajah mereka!"
Senyap. Harry tak berkomentar apapun ketika Selena melempar tatapan amarah bercampur duka, meski saat ini hanya perasaan marah yang lebih mendominasi air muka perempuan itu.
"Apa nona pernah mencaritau dimana orang tua nona?" tanya Harry ragu.
"Tidak!"
Iya. Entah dikehidupan sebelumnya maupun kehidupan saat ini, Selena enggan mencaritau dimana keberadaan kedua orang tuanya. Alasannya mudah saja, ego Selena yang terlampau tinggi yang melarangnya merendahkan martabat didepan orang yang telah menyia-nyiakannya.
"Apa nona tau alasan kenapa mereka..."
Harry berdeham kecil, sesekali ia membuang nafas agar perasaan tak nyaman yang bercokol dalam dadanya bisa sedikit lenyap. Sayangnya apa yang Harry lakukan sia-sia, mulutnya tak bisa berkata-kata karena saat ini tatapan sendu Selena mulai mendominasi. Bahkan meski samar namun Harry yakin kalau kedua pelupuk mata Selena mulai terisi oleh kristal bening.
"Meskipun saya bilang saya membenci mereka, tapi terkadang saya merasa iri saat orang-orang seusia saya bisa memeluk orang tua mereka sambil tetawa bebas."
Selena tertawa renyah "Kemudian rasa iri itu akan menghilang ketika saya berpikir tentang alasan kenapa mereka melahirkan saya ke dunia ini, jika pada akhirnya mereka malah meninggalkan saya dipanti asuhan!"
"Jika sejak awal mereka memang tidak menginginkan saya, seharusnya mereka membunuh saya sebelum saya lahir. Tapi kenapa mereka..."
Kalimat Selena terjeda saat sadar Harry mulai menitihkan air mata, bahkan sejujurnya tanpa ia sadari sedari tadi kristal bening miliknya juga ikut meleleh. Dalam keheningan kedua manusia itu sama-sama menyelami manik masing-masing. Antara Selena yang menyelami manik abu-abu penuh penyesalan milik Harry, serta Harry yang menggali berbagai perasaan dendam yang terkubur dalam iris selembut lautan didepannya.
"Apa sesakit itu?" tanya Harry, air matanya kembali berjatuhan.
Selena tak lantas menjawab, namun tak lama suara tangisnya mulai pecah. Perasaan sesak dan amarah yang terkumpul dalam jiwanya selama bertahun-tahun akhirnya tumpah, semua ia lakukan tanpa sadar dan didepan orang yang sama sekali tidak ia kenali. Selena tak paham kenapa dadanya terasa sangat sakit saat berada didepan Harry, padahal selama ini ia tak merasakan apapun ketika orang-orang dari masa lalunya mencoba membuat Selena berbicara tentang kesedihannya.
"Aku merindukan mereka, hiks."
"Kenapa harus aku yang dibuang? Hiks, sebenarnya apa salahku sampai mereka tega melakukan ini?"
"Hiks, hiks."
Perlahan tangan Harry bergerak, tak lama jemari kokohnya sudah berada diatas pipi Selena.
"Nona pantas membenci mereka, tapi jangan menangis!" Harry bertutur lembut.
Didetik berikutnya tangan kokoh Harry bergerak turun, kemudian diggenggamnya tangan mungil Selena hingga semua jarinya tenggelam dalam genggaman hangat itu.
"Saya tidak akan membela orang tua nona, tapi mungkin di suatu tempat diluar sana orang tua nona sedang berusaha menjalin hubungan diantara kalian. Dan jika saat itu tiba, nona harus mendengarkan penjelasan mereka terlebih dahulu,"
"Saya tidak bisa menyalahkan nona jika nona tetap bersikeras untuk membenci orang tua nona, tapi saran saya dengarkan dulu penjelasan mereka. Setelah itu nona bisa mengambil keputusan yang nona anggap paling baik untuk diri nona,"
Masih dengan mata berkaca, Selena memperhatikan lawannya lekat.
"Apa saya boleh membenci mereka?"
Harry tersenyum teduh "Ini kehidupan nona, semua keputusan ada ditangan nona. Tapi saran saya coba lupakan perasaan itu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
PROLOG (TERBIT)
RandomHidup sebagai salah satu tokoh protagonis dalam cerita? Alisha, perempuan yang pergi untuk mencari pekerjaan justru harus terjebak dalam sebuah novel dewasa. Masalahnya didalam novel yang ia tempati, Alisha berperan sebagai protagonis yang selalu di...